Minggu, 03 November 2013

CERPEN - ANAK KAMPUNG ITU.. PACAR GUE!!


Di pagi hari yang cerah, Vega pergi mengendarai mobil Jazz hitam miliknya menuju rumah Marwan, kekasihnya yang sudah menjalin hubungan selama 4 tahun. Sambil asyik dengan lagu yang ia nyalakan di dalam mobil, tiba-tiba “Bruuuk!” sepertinya Vega menabrak sesuatu. Ia segera turun dari mobilnya.
“Mas, aduh kok tiduran disini sih. Heh... Hellow...”
“Mbak, aduh.” Seorang cowok itu mulai tak sadarkan diri.
“Aduh, heh.. jangan pingsan dong.” Vega mulai melihat-lihat lokasi sekitar, bermaksud ingin meminta bantuan. Bapak-bapak yang melihat kejadian itu segera menghampiri Vega yang panik.
“Ada apa, Teh’?” Tanyanya.
“Bapak, tolong angkatin dia dong ke dalam mobil..” Perintah Vega.
Bapak itu pun membawa cowok yang pingsan ke dalam mobil Vega. Setelah Vega mengucapkan terima kasih padanya, ia pergi berlalu.
“Aduh, nih orang.. ngapain sih pake pingsan segala, emang tadi ketabrak, apa? Gimana nih gue. Ke rumah sakit aja kali, ya? Ah, jangan jangan.. nanti gue disuruh tanggung jawab. Ehgg, ke rumah aja deh.”  Kata Vega gusar.
***
“Ya ampun, Mama kan pergi, Bi Sari ke pasar, Pak Udin pasti ikut Mama, gimana ini?” Katanya. Ia memutuskan untuk mengangkatnya seorang diri. Dan ia letakan cowok itu di sofa rumahnya.
“Hah ! Berat banget nih orang. Orang apa karung beras sih?
***
            Sudah 1 jam cowok itu tertidur pingsan di sofa milik keluarga Vega, saat asyik menonton tv, Vega teringat film action yang ia tonton minggu lalu, bahwa orang dapat berubah menjadi rampok ketika penghuni seorang diri. Vega tatap sosok cowok yang tertidur di sofa, dari atas sampai bawah ia perhatikan.         
“Nggak jelek-jelek amat nih cowok, ganteng kok.. dan  gue bisa taksir umurnya masih 18 tahunan kayak gue.”
Saat Vega sedang serius menatapnya, tiba-tiba cowok itu terbangun. Vega segera bersigap.
“Saya dimana? Mbak ngapain disini?” Cowok itu duduk bersandar di sofa.
Ih? Ngapain,..  Ini rumah gue..”
“Lalu, saya kenapa di rumah Mbak?”
“Gak tau ya. Udah sehat kan mending pulang!”
“Mbak, kalau saya boleh tanya, jalan kenari no.15 rumahnya Ibu Sarah dimana ya? Saya mau ketemu sama Ibu saya..
“Hah? Ibu? Ibu yang mana? Ini siapa? Apa jangan-jangan dia anaknya Mama. Oh my God. Mama selingkuh? Nggak mungkin..” Katanya dalam hati.
 “Assalamualaikum..”
Vega dan cowok itu menoleh.
 “Ibu..?” Cowok itu pun menghampiri dan mencium tangan Bi Sari.
“Hah? Ibu?” Vega tercengang.
“Joni... Kamu tau rumah ini?” Bi Sari memeluk Joni dengan erat.
“Gak tau Bu, tadi Joni..” Joni melirik Vega. Vega segera menempelkan jari telunjuk di bibirnya, menandakan ia jangan bicara. “Ehgg, tadi Joni nanya sama Mbak ini, eh ternyata rumahnya disini, jadi bareng deh..”
Vega hanya mengernyitkan dahi, lalu pergi menuju kamarnya.
***
            Malam harinya, Mama dan Papa Vega telah pulang dan mengajak Vega berkumpul bersama di ruang keluarga, tak  ia sangka cowok yang  ia kenal adalah anak dari Bi Sari yang bernama Joni ikut berkumpul beserta dengan Bi Sari. Vega hanya bersandar di sofa tak memperhatikan obrolan keluarganya.
“Joni, sekarang berapa umurmu?” Tanya Papa Vega pada Joni.
“19 tahun, Tuan..”
“Ah, gak usah panggil Tuan panggil Pak Burhan saja..” Kata Burhan menerangkan.
“Ehg, baik Pak..”
 “Oh iya, apa yang membuatmu datang kemari?” Tanya Burhan.
“Di kampung, saya baru saja mengalami gagal panen Pak, lalu saya memutuskan untuk minta tolong sama Ibu, siapa tahu disini ada pekerjaan untuk saya, saya bisa mengerjakan apa saja kok, Pak..”
 “Anak seumuran kamu mau kerja seperti apa? Kamu itu harusnya sekolah lagi. Apa kamu tidak berencana untuk kuliah?”
“Kami tidak mempunyai uang, Tuan..” Sahut Bi Sari.
“Ehm.. Bagaimana kalau kamu kuliah di kampusnya Vega?”
“Hah? Pa.. yang bener aja dong, Pa.. Jangan satu kampus sama aku lah.”
“Justru itu, biar kamu tuh pulangnya on time gak telat kelayapan pacaran terus. Jadi Joni bisa mengawasi kamu..”
“Sudah Pak, tidak perlu. Biar saya bekerja saja.” Ujar Joni.
“Tidak.. Tidak.. Mau jadi apa kamu nanti kalau tidak bekerja? Lulusan perguruan tinggi saja masih susah mencari pekerjaan. Bagaimana kamu yang memutuskan tidak kuliah? Pokoknya mulai besok, kamu bersiap untuk pergi kuliah dengan Vega.”
“Papa.. Ih..” Vega pergi ke kamarnya.
“Terima kasih Pak, saya senang sekali..” Kata Joni sambil mencium tangan Pak Burhan.
***
Pagi harinya, Vega bersiap-siap untuk pergi ke kampus.
“Vegaaaa, ini sarapannya sayang..” Panggil Mamanya.
“Ya, Ma..” Vega menuruni anak tangga dan segera duduk di kursi makan.
“Joni, ayo sarapan dulu.” Ajak Pak Burhan.
“Papa, bikin nafsu makan ilang aja deh. Di dapur masih lega kan Pa, disana aja dia!” Jawab Vega.
“Vega, kamu itu kalau ngomong di jaga. Apa Papa kurang mendidik kamu, makanya kamu jadi tidak sopan seperti ini?  Ayo duduk  Joni, jangan dengarkan Vega..”
“Terima kasih, Pak..” Jawab Joni.
“Maklumin aja Vega begitu, dia kan putri saya satu-satunya, mungkin saya yang terlalu memanjakan Vega, jadi kurang sopan sama orang.” Ucap Burhan.
***
Pak Udin mengantar Vega dan Joni ke kampus. Saat sampai di kampus, Vega dan Joni turun. Vega segera berlalu meninggalkan Joni. Mobil yang mengantar mereka sudah pergi melaju.
            “Non... kelas saya dimana?” Teriaknya.
Vega tak memperdulikannya, ia segera menuju kelasnya.
***
            Joni mengerjakan tugas kuliah pertama di kamarnya. Tiba-tiba Vega datang lalu menggebrak pintu kamarnya.
“Lo pintar, kan? Kerjain nih..” Vega meletakan bukunya di atas meja belajar Joni.
“Jangan sampai salah! Awas lo..” Tambahnya. Saat Vega melangkah keluar kamar Joni, Joni mencegah tangan Vega.
“Non..” Joni menatap Vega. Joni maju perlahan mendekati Vega. Lalu tanpa sengaja Joni menginjak kaki Vega.
“Aww... Ih.. Jangan pegang-pegang gue!” Singkir Vega.
“Maaf, Non.. Non, saya mau tanya.. Apa, Non dan Marwan pacaran?”
“Kenapa emang? Lo naksir sama Marwan?”
“Hah? Nggak Non, nggak.. Nggak mungkin kan, Non..”
“Siapa tahu..”
“Ehm.. Gini, Non.. Waktu saya pertama kali datang ke Jakarta. Saya sempat di serempet mobil, lalu yang punya mobil turun, dan memaki saya. Pacarnya juga turun memaki saya, Non.. Dia itu.. Marwan, Non..”
“Serempet? Yang nyerempet lo kan gue.. Lagi juga, gue bawa mobil sendirian, gak sama Marwan. Ngigo kali lo..”
“Nggak Non, sebelumnya saya di serempet mobilnya Marwan, Marwan turun bersama pacarnya, dia bilang sayang kok ke Marwannya. Terus, setelah Marwan pergi, baru saya di serempet mobilnya Non Vega..”
“HAH? Hahahaha... Kasian banget sih lo, sudah jatuh tertimpa tangga. Dengar ya, Joni.. Lo itu gak kenal sama gue ataupun Marwan. Dan gue sama Marwan udah pacaran lebih dari 4 tahun.. Jadi gak usah sok tahu, deh.. Okay..” Vega pergi keluar dari kamar Joni.
***
Ibunya Joni tersenyum bahagia melihat Joni belajar dengan sungguh-sungguh di kamarnya. Joni adalah putra kedua Bi Sari. Kakaknya telah meninggal karena kecelakaan kerja di Pabrik Tekstil, sedangkan Ayahnya telah meninggal saat Joni berusia 5 tahun. Kini tinggal lah Joni yang harus mengurus Ibunya.
***

“Iya sayang.. dia freak banget tau.. Masa dia bilang pernah di serempet sama kamu, terus katanya kamu satu mobil sama pacar selain aku. Nggak mungkin banget kan?” Kata Vega sambil menyindir Joni yang tiba-tiba lewat.
“Ya... Nggak lah.. sayang. Pacar aku kan cuma kamu.. Masa kamu percaya sama anak kampung kayak gitu.”
“Ya makanya aku nggak percaya. Tapi aku sebel banget sama dia...”
“Udah lah, gak usah di pikirin. Oke..” Marwan mengelus rambut Vega.
***
 “Kriiing.. Kriing..”
Ponsel Vega berdering. Vega menjawab panggilan.
“Halo.. Oh Nadia. Tumben lo nelpon, ada apa? Reuni? SMA kita? Kapan? Acaranya pake bawa pasangan? Ada-ada aja.. Masih kok.. Iya, sama Marwan.. Dimana? Oh Hotel Santika? Siapa yang ngusulin? Oke oke.. Jam 7 malam kan? Oke.. Dah..” Vega mengakhiri panggilannya.
“Mesti kasih tau Marwan nih..”
***
“Liat Marwan gak?” Tanya Vega pada teman kampusnya.
“Nggak..”
“Vega.. Cepet ikut gue..” Ajak Miftha sahabatnya.
“Mau kemana, Tha?”
Vega mengikuti Miftha menuju perpustakaan. Di lorong menuju perpustakaan, banyak mahasiswa yang sedang berkumpul sambil keheranan. Vega semakin penasaran apa yang terjadi di perpustakaan.
“Pokoknya kalau sampai lo bilang sama Vega, abis lo!” Bentak Marwan sambil menarik kerah baju Joni.
“Saya nggak takut. Saya cuma takut sama Allah. Allah itu melindungi saya.” Ujar Joni, yang wajahnya sudah babak belur karena habis-habisan di pukuli Marwan.
“MARWAN!” Teriak Vega. Lalu pergi menghampiri Marwan dan Joni.
“Kamu apa-apaan sih? Lepasin dia. Kalian kenapa berantem sih?”
Marwan melepaskan genggaman pada kerah baju Joni. Joni terdiam lalu terduduk di pojok samping rak buku.
“Apa sih yang terjadi? Kalian semua! Kalian tahu pertengkaran ini, kenapa kalian gak melerai?” Tanya Vega pada mahasiswa yang berada di lokasi.
“Heh Vega! Harusnya lo ngaca. Semua orang disini tuh gak care lagi sama lo. Siapa yang bisa peduli sama orang yang manja dan bisanya cuma menghina orang-orang yang gak sederajat sama lo?” Sahut sahabatnya Marwan.
“Iya. Dan harusnya lo sadar, lo itu gak pantes dibela sama Marwan. Marwan mungkin masih bertahan, karena dia kasian doang sama lo..” Sahut yang lain.
“Apaan sih.. Marwan, itu gak benar kan?” Tanya Vega.
“Vega. Kamu tahu kan.. berapa tahun kita pacaran? 4 tahun. Selama itu aku merasa bosan sama sikap kamu, kayak anak kecil, manja, dan posesif. Selama ini aku sabar hadapi kamu, tapi nyatanya, kamu gak layak aku pertahanin. Kamu tahu aku pukul dia kenapa, karena hari ini.. di tempat ini, sekitar 20 menit yang lalu sebelum perkelahian di mulai, aku kepergok sama pembantu kamu lagi mencium Adela. Tadinya... Aku gak mau kamu tahu, makanya aku mengancam dia. Jadi... Kamu tahu itu artinya apa kan..” Ujar Marwan santai.
“Nggak.. Nggak.. Kamu bercanda kan, kita gak mungkin putus kan? Marwan kamu tau aku sayang sama kamu. Kamu gak boleh kayak gini..”
“Apa sih, Ga? Apa yang lo harapkan dari cowok yang tukang selingkuh kayak gue? Selama 4 tahun kita pacaran, selama 4 tahun itu juga gue selingkuh. Kalau lo gak percaya, lo bisa tanya sama Miftha, dia mantan gue. Mantan pertama gue setelah satu bulan gue jadian sama lo. Kita putus, Ga..” Marwan pergi meninggalkan Vega yang masih terperangah tak percaya akibat penjelasannya.
Miftha menunduk menyesal, mendengar pernyataan Marwan.
“Apa? Tha, itu gak benar kan, Tha? Tha, jawab Tha...” Vega terisak.
“Maafin gue, Ga.. Gue nyesel. Maafin gue, Vega..” Sesal Miftha.
“Lo gila ya, Tha. Lo itu sahabat gue dari SMP. Lo tega khianati gue?”
“Maafin gue.. Gue emang salah, Ga.”
“Joni.. Ya ampun..” teman perempuan Joni datang tiba-tiba lalu menghampiri Joni. “Vega! Lo kok diem aja sih, Joni pingsan karena nolong lo. Tega banget sih lo jadi orang.” Bentaknya.
“Gue gak butuh bantuan dia. Siapa yang nyuruh dia bela gue?” Vega berlari keluar dari perpustakaan.
“VEGAAA!!” Miftha mengejar Vega.
“BANTUIN DONG! Gak punya nurani banget kalian..” Ujarnya. Semua mahasiswa yang berada di lokasi perpustakaan membantu Joni.
***
“Marwan... Kamu tega banget sama aku.. Aku kurang apa di mata kamu? Bahkan aku bisa dan aku mau maafin kamu, Wan...” Isak Vega di kamarnya.
***
Tepat satu minggu Vega tidak pergi kuliah. Ia terlalu malu telah di hujat oleh sahabat-sahabat Marwan yang jengah dengan sikap manja Vega. Vega pun enggan bertemu Miftha. Ia mengurung dirinya di kamar, tanpa mau di ganggu siapapun. Hatinya kini telah hancur, karena berpisah dengan Marwan yang sudah menjadi kekasihnya selama 4 tahun. Terlintas di pikiran Vega sosok Joni yang rela di hantam oleh Marwan karena membelanya. Ia merasa bersalah pada Joni yang telah baik padanya. Joni banyak membantu dirinya.
“Permisi.. Non.. Makan dulu nih.. Non dari pagi belum makan.” Ujar Joni sambil membawa makanan. “Non Vega.. Ini juga ada catatan kuliah, seminggu ini kan, Non jarang masuk. Saya sudah mencatatkan untuk Non Vega.” Joni meletakan buku di atas meja.
 “Non.. Saya suapin ya, Non..” Joni membawa makanan lalu duduk di samping ranjang Vega. Vega duduk bersandar.
“Lo kok baik sih sama gue? Gue kan jahat sama lo.”
“Non kan juga baik sama saya, manusia itu wajib berbuat baik, Non.. Non Vega juga harus bangkit. Jangan sedih-sedih mulu. Kalau kata anak sekarang mah, harus Move On. Kata pepatah kan, mati satu tumbuh seribu. Nah, kalau Non Vega. Putus satu, dapat seribu..”
Vega tersenyum mendengar guyonan Joni.
--Bunyi pengingat di handphone Vega--
Vega membacanya. Pengingat untuk mengingatkan acara reunian SMA-nya.
“Ya ampun.. Reuni besok. Mana gue gak punya pasangan.” Keluh Vega.
“Ayo Non, di makan. Aa..” Joni menyuapi Vega.
“Apa Joni aja, ya? Dia keren. Kalau dandan, pasti mirip banget sama Egi John.” Ujar Vega dalam hati. “Jon.. Besok malam, lo ada acara gak?”
“Nggak, Non. Ada apa?”
“Besok.. gue ada acara reuni SMA, dan harus bawa pasangan. Lo mau kan jadi pasangan bohongan.. gue?” Ujarnya ragu-ragu.
“Emangnya.. Non gak malu bawa saya? Saya kan orang kampung..”
“Emangnya teman SMA gue tahu kalau lo orang kampung? Ikut gak?”
Joni tersenyum.
***
“Pokoknya. Nama lo Jhon.. Ehm.. Jhon Prawira. Bukan Joni Pakusan, jangan sampai lupa. Oke..” Ujar Vega.
“Kenapa harus ganti nama, Non?”
“Aduh Joni.. Dandanan lo udah keren, masa namanya kampungan. Sekali ini aja.. Dan, kalau lo di tanyain. Bilang aja bokap lo pengusaha tambang. Oke.”
“Tapi Bapak saya kan sudah meninggal, Non..”
“Jon.. Pura-pura. Gimana sih, lo? Ayo masuk..” Ajak Vega sambil menggandeng tangan Joni dan memasuki aula Hotel.
“Hai...Vega..” Sapa Nadia. Lalu menyambar pipi Vega.
“Hai..”
“Siapa nih, Ga? Pacar baru?”
“Iya.. Kenalin.. Jhon Prawira. Sayang, ini Nadia teman SMA aku.”
“Nadia.” Ujar Nadia sambil tersenyum.
“Jhon..”
“Ga, lo putus sama Marwan?”
“Iya gue putus. Tapi.. ngapain juga gue masih sama dia. Mending sama Jhon. Dia anaknya pengusaha tambang, Bo..” Bisik Vega.
“Hahaha.. emang bisa deh lo nyari cowok. Udah ganteng, tajir lagi.. ”
***
Vega datang dengan gaun warna merah berpadu dengan kemeja yang Joni kenakan. Mereka terlihat sangat serasi dan romantis.
“Eh.. ada anak kampung. Ngapain lo disini?” Tanya Marwan yang tiba-tiba datang menghampiri Vega dan Joni.
“Marwan. Kamu ngapain disini?” Tanya Vega terkejut.
“Ini reuni anak SMA 38 kan? Harus bawa pasangan kan? Ya.. gue kesini sama pasangan gue lah.”
“Pasangan? Siapa?”
“Miftha. Gue balikan sama Miftha. Kenapa?”
“Hah?”
“Marwan.. Lo datang? Sama siapa?” Sapa Nadia.
“Sama Miftha.”
“Oh.. Oh ya, lo udah kenal kan sama pacar barunya Vega?”
“Dia?” Tunjuk Marwan pada Joni.
“Udah. Anak pembantunya dia kan? Bukannya cewek ini tipe pemilih? Oh.. atau.. Lo cuma jadi mainannya dia doang?” Tambah Marwan lalu pergi.
“Anak pembantunya Vega?” Tanya Nadia terkejut. Vega terdiam.
“Teman-teman sekalian. Selamat datang di acara Reuni SMA 38. Walaupun gue bukan alumni SMA kalian. Setidaknya, gue pernah jadi murid di SMA 38 sebelum gue pindah ke SMA Kasih. Gue disini cuma mau menjelaskan. Gue datang kesini bukan sama Vega.. Vega itu udah jadi mantan gue. Jadi jangan ada yang mengkaitkan gue dengan cewek manja kayak Vega lagi. Dan lo tahu, Vega hari ini datang dengan pacar barunya bernama Jhon Prawira. Oh, atau Joni Pakusan? What ever. Si Joni ini, adalah anak pembantunya Vega, yang dibilang Vega sih anak pengusaha tambang. Iya tambang, tambang cucian. Hahaha..”
Semua teman-teman Vega tertawa. Vega berlari meninggalkan area reuni. Joni menghampiri Marwan.
“Apa itu merugikan anda? Atau anda cemburu melihat Vega punya kekasih yang baru? Sebenarnya, anda tidak berhak berbicara menggunakan microphone itu. Anda dan saya hanya diajak pasangan kita untuk datang memenuhi undangan reuni SMA 38. Walaupun anda pernah menjadi murid SMA 38, tapi bukan berarti anda bisa berkoar di depan teman-teman lama anda. Anda harusnya malu, dan berpikir. Bahwa betapa beruntungnya anda pernah memiliki kekasih seperti Vega. Walaupun dia manja, tapi dia punya hati yang tulus dan setia. Dimana pun anda berada, jika sikap dan sifat anda masih sepeti ini, anda gak akan pernah mendapatkan cinta yang tulus. Camkan itu. Marwan Soehendra!” Joni meninggalkan Marwan.
***
 “Kenapa, Jon? Kenapa kamu mau pulang ke kampung?” Tanya Burhan.
“Iya, Pak. Saya mau ambil hasil panen. Setengah milik tetangga saya, itu ada milik saya. Jadi saya harus membantu mengurus, Pak.”
“Lalu bagaimana kuliah kamu?”
“Saya minta cuti, Pak. Karena, hasil panen itu akan saya tabung untuk masa depan saya, Pak.”
“Ya.. ya.. Ya sudah. Semoga berhasil. Ingat, kalau urusan di kampung sudah selesai, segera kembali meneruskan kuliahmu.”
“Iya, Pak..”
***
Hari-hari Vega kini terasa sepi. Tanpa Joni di sisinya. Ia sadar. Ia begitu banyak membuat salah pada Joni. Di dalam relung hatinya kini, mulai terisi hadirnya Joni. Begitu banyak kenangan yang ia lalui bersama Joni. Vega mulai merasa kehilangan Joni.
“Jangan-jangan.. Gue suka sama Joni? Aaah.. Kenapa gue bisa suka sama dia sih? Ih.... Tapi... Gue harus bawa Joni kesini lagi.. Iya harus!”
***
Vega memutuskan untuk pergi menemui Joni. Ia pergi membawa mobil pribadinya menuju Garut. Jalan yang di laluinya cukup parah. Banyak lubang dan becek. Namun hatinya tetap kokoh untuk menemui Joni.
“JONI...!” Vega menghampiri lalu memeluk Joni dengan erat.
“Non.. Jangan begini Non. Gak enak dilihat orang. Non, ngapain disini?”
Vega melepaskan pelukannya.
“Itu rumah lo, kan?” Vega segera menuju rumah Joni. Lalu masuk ke dalam. Terlihat diwajahnya ada rasa jijik melihat rumah Joni yang kumuh.
“Maaf ya Non, rumahnya jelek. Oh, ya.. Non, ada apa datang kesini?”
“Gue kesini.. mau jadi pacar lo!” Ujar Vega yakin, lalu mengambil tisu dari tasnya dan meletakkan beberapa tisu untuk alas duduk di bangku.
“Pacar? Non mau jadi pacar saya?” Joni duduk di sebelah Vega.
“Iya.. Emang kenapa? Gak boleh?”
“Ehm... Non kan majikan saya. Lagi pula, saya ini orang miskin, Non..”
“Emangnya orang kaya gak boleh pacaran sama orang miskin? Lo kan di biayain kuliah sama bokap gue, lo manfaatin biar benar. Lo kuliah yang rajin. Nanti kan kalo lo kerja gajinya gede, lo bisa nikahin gue.. Ya, kan?”
Vega menghampiri Joni, dan duduk menyamping di pangkuan Joni.
 “Non.. Jangan gini Non..”
“Gue tulus kok sama lo. Gue... Cinta sama lo.” Vega tersenyum manis.
“Ini bukan bualan Non semata kan? Non beneran kan?”
Vega menggeleng tegas lalu mengangguk yakin.
“Lo mau kan jadi pacar gue?” Tangan Vega  mulai merangkul bahu Joni.
“Aduh Non, saya.....”
“Eeeeeemmuaaaah...” Vega mengecup bibir Joni. Joni yang terkejut membulatkan matanya.
“Harus jadi pacar gue. Oke..”
Joni tersenyum bahagia.
 “I love you Vega Maharani.” Ujar Joni jelas.
Vega memeluknya.
***
“Vega! Siapa tuh? Kampungan banget gayanya.”
“Anak kampung itu............ Ehm. Pacar Gue...” Ujar Vega sambil menggandeng mesra tangan Joni.
TAMAT

            

Sabtu, 28 September 2013

CERPEN ~ CINTA CEWEK BAYARAN



Maghfira Sabrina Carissa itulah nama lengkapku. Selalu dipanggil Fira. Seorang perempuan yang akan lulus Ujian Nasional tahun ini dan akan masuk Perguruan Tinggi Negeri di salah satu kampus ternama di Jakarta. Karena zaman sudah makin canggih, sampai mendaftar kampus pun kini mulai menggunakan sistem online. Aku sendiri sudah mendaftar SNMPTN online dan memilih 2 kampus ternama untuk melanjutkan studiku dan berharap akan diterima disalah satu PTN yang kupilih tersebut.
Setelah menyelesaikan Ujian Nasional, kami diperbolehkan untuk bebas. Ingin masuk ke sekolah atau tidak, tidak akan mempengaruhi absen seperti biasanya. Karena aku ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi, maka tak terbersit pun untuk mencari pekerjaan. Sedangkan teman-temanku sibuk mencari pekerjaan, baik yang akan melanjutkan maupun tidak. Aku sendiri sebenarnya ingin, tetapi apa bisa seorang lulusan SMK Kesehatan bisa mencari pekerjaan diluar dari Kesehatan? Karena, aku sendiri telah memutuskan untuk meninggalkan dunia kesehatan yang sangat aku banggakan untuk menjadi seorang Accountant. Ya, mungkin keputusanku ini membuat sebagian orang terdekatku tidak menyangka. Tapi, dilihat dari sisi ketertarikan, aku lebih menyukai pekerjaan di kantor. Oke, tanpa ragu aku tekad bulatkan keinginanku.
***
“Ayah, kayaknya Fira mau cari pekerjaan deh.”
“Mau cari kerja apa?” Jawab ayahku sambil membalik korannya.
“Ya, apa aja. Yang penting ngisi kesenggangan. Daripada bete dirumah. Boleh gak Yah?”
“Ya, boleh aja. Tapi ingat, kalau nanti udah mau masuk kuliah, kamu harus Resign. Nanti malah gak bisa fokus sama kuliah kamu. Terus carinya yang daerah sini aja, kan banyak tuh Market-market didepan jalan.”
“Ah, tapi gak mau nyari daerah sini ah. Ntar kalau ketemu sama temen-temen dari SD sama SMP gimana? Masa anak kesehatan lari jadi kasir market?”
“Kamu itu.. Fir, dengerin Ayah yah. Cari kerja itu apa aja. Gak boleh membandingkan yang satu dengan lainnya. Yang penting halal. Lagi pula, kamu cari kerja kan cuma mengisi waktu kosong kamu kan?”
“Iya sih Yah, yaudah aku sama Putri  besok mau ke DC marketnya deh. Mau ngelamar.”
“Yang benar jawabnya kalau ditanya. Jangan tegang. Terus, jangan jauh-jauh, nanti kalau pulang malam kan bingung siapa yang mau jemput. Kalau Ayah ada dirumah, kalau nggak?”
“Coba di izinin punya pacar, pasti ada yang jemput. Hehehe..” Kataku sambil berlalu.
“Belajar dulu yang bener.” Teriak ayah.
***
Keesokan harinya, aku, Putri, dan Nayla teman rumahku, datang ke pusat Market yang berada di daerah Bogor. Kami pergi menuju Market yang sedang membuka lowongan pekerjaan sebagai kasir dan pramuniaga.
            “Permisi Mbak, saya mau tanya. Disini kalau melamar pekerjaan, boleh gak yang tanpa ijazah, soalnya belum turun ijazahnya?” Sapaku.
            “Boleh kok, dicoba aja dulu. Banyak yang kemarin melamar tapi baru lulus. Yang penting ada surat keterangan bekerja dari sekolah.”
            “Kalau itu ada Mbak.”
            “Ya sudah, besok hari Rabu kalian datang aja jam 8 pagi.”
            “Oh yaudah, makasih ya Mbak.”
***
            Hari ini, aku akan memastikan bahwa aku akan menjadi salah satu pegawai di Market yang sering aku kunjungi itu. Sebelumnya, aku sudah latihan tanya jawab interview agar tidak canggung dalam menjawab pertanyaan sang Personalia.
            “Selamat Pagi.”
“Pagi.....” Jawab kami.
“Baik, terima kasih telah bergabung bersama dengan perusahaan kami. Saya ucapkan selamat datang kepada calon pekerja di Perusahaan ini.” Sapanya membuka percakapan.
Bagian Personalia itu ada tiga orang. Yang satu, berperawakan tinggi dan agak sedikit gemuk. Yang kedua berperawakan sedang dan agak tua, mungkin senior. Dan yang ketiga, berperawakan sedang, putih dan sangat enak dipandang. Kuketahui namanya Wahyu Fajar dari tanda pengenal yang ia kalungkan.
Berbagai penjelasan Wahyu katakan untuk menjelaskan profil dari perusahaannya. Sesaat aku perhatikan, ia sepertinya sedang memandang orang dibarisanku, atau mungkin... Aku? Karena dibelakangku hanya ada cowok, dan didepanku memang perempuan, tapi aku yakin ia memperhatikan atau sedikit mencuri pandang ke arahku. Awalnya aku biasa saja. Tapi makin lama makin diperhatikan, ada rasa penasaranku juga rupanya. Aku juga mencoba melirik ke arahnya, dan benar, dia memperhatikan aku. Astaga, aku gugup. Aku mencoba duduk dengan tenang sambil mendengarkan penjelasannya.
Tes dimulai dengan tes psikotest, menggabungkan beberapa gambar menjadi satu, lalu diikuti dengan berhitung soal matematika dan penghitungan koran mulai dari bawah keatas. Ya ampun, harus seribet ini kah untuk mendapat posisi sebagai kasir? Tapi gak apa-apa sih, ini juga untuk melatihku ketika aku akan bekerja di Perusahaan besar kelak.
Semua bagian Personalia melihat cara kerja kami, termasuk Wahyu juga berkeliling melihat pekerjaanku. Aku sudah mengerti semua instruksinya, tapi Wahyu terlihat tetap mengajarkanku seakan aku memang tidak mengerti apapun. Lumayan sedikit terhirup aroma parfumnya yang melekat dihidungku. Masuk ke tahapan body check. Kali ini, tanpa kuduga, dia yang memintaku untuk terlebih dahulu di cek olehnya. Oh my God. Hari apa ini???
Sampailah pengumuman siapa yang lolos seleksi dari psikotest dan body check. Syukur Alhamdulillah aku, Putri dan Nayla lolos dalam ujian seleksi pertama. Kami pun disuruh beristirahat, dan kembali pukul setengah 1 siang.
“Alhamdulillah, akhirnya lolos juga.” Kataku.
“Iya, seneng banget.” Jawab Putri.
“Ada seleksi lagi gak ya? Jangan-jangan ntar disaring lagi.” Kata Nayla.
“Ya, berdoa aja semoga diterima.”
“Amin..”
Masuklah ke tahap interview. Semua pelamar namanya mulai disebutkan satu persatu untuk di wawancara oleh personalia. Dari serangkaian tes, aku selalu dihadapkan dan diuji oleh Wahyu, kalau sampai interview juga sama Wahyu, kayaknya jodoh nih. Hahaha.
Benar. Aku di wawancara oleh Wahyu. Wah, ini kebetulan atau memang berjodoh?
“Namanya siapa Mbak?” Tanyanya.
“Maghfira.”
“Umurnya?”
“18 tahun.”
“Oh 18, kirain masih 15 tahun.”
Aku tersenyum sekenanya.
“Ada rencana mau melanjutkan kuliah?” Aku mengangguk. “Mau ambil jurusan apa?”
“InsyaAllah S1 akuntansi.”
“Ehm.. Sudah mendaftar?”
“Belum.”
“Kalau tahun ini bersedia tidak kuliah bagaimana?”
“Maaf, Pak. Jika saya tidak bersedia atau tidak, saya katakan tidak. Tetapi, jika bapak berkenan mengizinkan saya untuk bekerja sambil kuliah, saya sangat berterima kasih. Karena saya yakin saya bisa membagi waktu antara kuliah saya deng pekerjaan saya.”
“Oh begitu. Terus, ada rencana menikah tahun ini?”
“Nggak.”
“Oh, bagus.”
Bagus? Apanya yang bagus? Kan gak mungkin aku nikah tahun ini? Baru lulus SMK? Aneh.
“Bersedia menanggung Nota Barang Hilang” sambungnya.
“Bersedia.”
“Masalahnya, saya penanggung jawab NBH lho.”
“Iya.”
“Bersedia dikontrak? Dan menitipkan ijazah asli disini?”
“Bersedia.”
“Oh, yaudah terimakasih.” Katanya sambil menjabat tanganku.
Sudah? Segitu aja interviewnya? Rasanya aku di interview paling singkat dari yang lain. Aneh. Apa aku salah ngomong ya? Aduh..
“Yang tidak lolos.. 54, 52, 50, 48, 46...” Kata Personalia.
Pengumuman lolos seleksi akan diumumkan. Disebutkan beberapa yang tidak lolos. 54? Putri.. Hah? Dia tidak lolos? Aku?
“45, 41, 40, 38, 35, 33, 24, dan 1.”
Tidaaaaaak. Nomor absen 33 disebutkan. Itu tandanya aku tidak lolos dan pulang dengan sia-sia? Ya Allah.
“Gimana Nay? Lulus?”
“Lulus.”
Ya. Aku memang harus pulang berdua dengan sahabatku Putri. Teman rumah yang aku ajak, malah dia yang diterima. Mungkin karena ia tidak melanjutkan untuk kuliah, maka dari itu ia diperkenankan.
Kulirik Wahyu sejenak, sepertinya ada yang salah. Dia seakan tidak ingin melihatku untuk terakhir kali bertemu dan lebih menyibukkan diri dengan beberapa file di mejanya. Aku pulang dengan berat hati. Kecewa mungkin, tapi aku anggap sebagai suatu pelajaran saja. Mungkin pelamar yang lolos seleksi memang sangat beruntung, dan lebih membutuhkan pekerjaan itu dibanding aku dan Putri yang hanya sekadar mencari kesibukkan.
***
            Sudah kulupakan peristiwa Rabu kemarin. Berat memang, tapi aku harus menerimanya. Tak kucoba mencari lagi, dan memfokuskan diri untuk belajar sedikit mengenai pelajaran Ekonomi Akuntansi. Walaupun aku masih berharap dapat bertemu Wahyu lagi. Hehehehe.
            Besok, adalah hari pengumuman kelulusan se-Indonesia. Aku berharap dan berdoa, aku dan teman-teman satu sekolah dapat lulus Ujian Nasional. Kubuka perlahan pengumuman tersebut. Alhamdulillah, Aku lulus. Dan nilainya? Wow. Sungguh membuatku bergidik terkejut. Nilai yang cukup memuaskan. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih telah mendengar doaku selama ini. Dan yang lebih mengejutkan lagi, semua teman-temanku lulus 100 %. Terima kasih ya Allah..
***
3 bulan kemudian....
            Tanpa terasa, besok aku akan memasuki dunia perkuliahan. Dengan semangat, usaha dan doa, akhirnya aku diterima di Perguruan Tinggi Swasta yang aku dambakan dan menurut beberapa penilaian, kampusku adalah kampus swasta terbaik di Indonesia. Walaupun aku tidak di terima di PTN, aku tetap semangat. Aku sadar, lulusan SMK mungkin di nomor duakan di banding SMA lain, bahkan SMA negeri. Tapi, aku sangat bersyukur, negeri maupun swasta, aku pikir sama saja. Sungguh lega rasanya kali ini aku akan belajar tanpa seragam, tanpa PR. Bebas rasanya. Aku segera menutup mataku dan berdoa lalu tidur.
***
            “Hati-hati ya Fir. Kalau udah pulang.” Kata Ibu.
            Aku segera mencium tangannya. Dan berpamitan.
            “Assalamualaikum”
            “Waalaikum salam”
            Aku memang masuk di PTS seorang diri, Putri melanjutkan kuliahnya di salah satu Poltekkes negeri di daerah Jakarta dengan jurusan D3 Keperawatan. Ya, sesuai memang. Karena sudah mempunyai basic kesehatan di SMK dahulu.
“Aww....” Kataku saat tertabrak cowok dan telah menjatuhkan beberapa bukuku.
“Sorry..” membantu mengambilkan buku.
“Sakit tau..” Kataku. Aku menoleh ke arahnya.
“Ya maaf. Gak sengaja. Gue buru-buru.”
Kupandangi wajahnya dalam-dalam. Rasanya aku kenal dengan orang ini. Dia juga mulai memperhatikanku.
“Oh kamu..” Kataku mengenalinya.
“Lo..” Katanya mengenaliku.
“Ih.. Misi..” Aku mencoba pergi, namun ia menahanku.
“Lo yang waktu ngelamar di perusahaan itu kan?”
“Iya. Dan lo, adalah orang yang nolak gue mentah-mentah.” Jawabku acuh.
“Oh, bukannya gitu. Perusahaan itu emang gak izinin karyawannya kuliah sambil kerja.”
“Emang pelit.”
“Tapi tenang aja, gue juga udah Resign kok.”
“Terus masalah buat gue?”
“Ya nggak, cuma ngasih tau kalau emang begitu syaratnya. Yang kuliah gak boleh kerja disana. Adil dong? Lagi juga gue gak tega lo kerja disana.”
Aku mendengus kesal mendengar ucapannya.
“Lebih tega mana sama nolak gue? Kalau emang mau nolak, bisa nolak gue dari awal kan? Jadi gak buang-buang waktu sampai sore.
“Hei.. lo itu cantik. Ya pasti lolos seleksi awal lah. Udah lah gak usah dibahas. Lagipula lo gak bakal betah. Tapi lo udah dapet kerja ditempat lain kan?”
“Belom. Dan gak akan gue cari sampai gue lulus kuliah. Puas lo?”
“Ck! Banyak kok kerjaan yang lebih banyak menghasilkan uang. Udah lupain yang kemarin.”
“Lo ngapain disini?” Tanyaku.
“Ambil S1 disini.”
“Kemarin lo SMA dong?”
“Udah D3. Ya sekarang S1 lah. Gak sangka ketemu lo. jodoh kali ya? Ehm, beberapa materi, kayaknya bakal sekelas nih.”
“Oh.” Kataku acuh.
“Oh doang? Masih marah?”
Aku terdiam.
“Oke, gue bisa kasih lo satu pekerjaan. Pekerjaannya gampang, mudah, dan gak capek. Mau gak?”
“Gak mau ntar ditolak lagi!”
“Ini kan gue yang nawarin. Mau nggak?? Gajinya 100 ribu.”
“Hah???? 100 ribu? Lo ngeledek gue? Mentang-mentang kemaren nolak gue, sekarang mau ngasih gaji 100 ribu. Gak mau!”
“200 ribu.”
“Rese ya lo?”
“300 ribu?”
“Freak!”
“400 ribu”
“Apaan sih? Nggak!” Aku memutuskan pergi. Wahyu mengejarku. Dan memegang tanganku.
“Oke terakhir. 500 ribu.”
“NGGAK! Hello.. zaman sekarang tuh semuanya serba mahal. Seenak jidat hargain 500 ribu. Gak mau. Gue gak mau ya dihina sama lo, Cuma gara-gara...” Ucapanku terputus.
“Perhari.” Katanya.
“Hah?” Aku terkejut mendengarnya.
“500 ribu perhari. Gimana?”
 “Kerja apaan 500 ribu perhari?”
“Deal!” Ia mengayunkan tangan kiriku sebagai bentuk persetujuanku.
“Heh! Kerjanya apaan?”
Mendekatkan badanku ke arahnya. “Jadi pacar bohongan gue.”
“Hah? Tapi..”
“Gak ada tapi-tapian. Ikut gue. Kita temuin temen lama gue. Dan ingat. Lo harus jadi pacar bohongan gue. Kalau lo nurut, ada bonus 100 ribu buat lo.” Wahyu menggandeng tanganku dan membawaku pergi.
Gila. Cuma itu yang aku bisa katakan. Bertemu Wahyu, orang yang pernah menolakku di perusahaan market waktu itu, dan sekarang mempekerjakanku dengan gaji 500 ribu perhari hanya dengan menjadi pacar bohongannya? Wow.
***
“Hei..” Sapa Wahyu, pada beberapa temannya di taman kampus.
“Siapa tuh?” Tanya temannya.
“Kenalin, Fira. Pacar baru gue.”
“Cantik banget. Hei, gue Rizal..” Katanya mengenalkan diri padaku.
“Fira.”
“Beneran apa bohongan nih pacarannya?” Tanya Rizal.
“Udah tobat gue, Sob..” Sahut Wahyu.
“Masa? Kemarin gue lihat lo sama cewek seksi di Mall.”
“Oh iya? Ih.. siapa lagi sih?” Kataku. Sambil mencubit pinggang Wahyu, dan  bersikap manja ke Wahyu.
“Gue doain semoga lo berdua langgeng.”
“Amin.....” Sahut Wahyu.
“Heh, Sob.. Bispak atau Cebar nih?” Kata temannya yang lain.
“Maksudnya? Eh dengernya, gue itu cewek baik-baik. Sembarangan!”
“Sst.. sabar.. sabar..” Kata Wahyu. “Asli cewek gue, Sob. Parah lo.”
“Ya kan dulu lo sukanya sama yang begitu.”
Aku terkejut mendengarnya.
“Ikut gue!” aku menarik tangannya. Dan kubawa sedikit jauh dari teman-temannya.
“Apaan sih?” Kata Wahyu.
“Maksud teman-teman lo apa? Lo dulu suka cari cewek bispak? Ya ampun Omes banget sih lo.”
“Udah lah, gak usah didengerin. Tugas lo cuma jadi pacar bohongan gue. Selesai. Gitu aja repot.” Katanya sambil duduk di bangku taman.
“Tapi mereka ngiranya, gue bisa di apa-apain.” Aku duduk disebelahnya.
“Emang siapa yang mau ngapa-ngapain lo? Hah? Emang gue cowok apaan?”
“Lho itu tadi, temen lo bilang. Lo suka cari cewek bispak yang seksi-seksi.”
“Iya, buat jadi pacar bohongan gue. PUAS? Gue juga bukan cowok gampangan kali.”
“Oh.. kirain... Tapi... lo kan lumayan. Kok gak cari pacar beneran aja?”
“Ah, busuk semuanya. Palsu. Gue belom temuin yang serius.”
“Terus, lo mau bayar gue pake apa? Kan lo udah gak kerja lagi?”
“Hahaha.. perusahaan mana yang mau nolak gue?”
“Maksud lo?”
“Dimana pun, pasti terima gue. Gue kerja di market kemarin, karena ada cewek cantiknya.”
“Kok lo bisa pede semua bakal terima lo?”
“Gue gak kerja pun, duit gue ngalir. Tenang aja. Perusahaan bokap gue banyak. Makanya lo kerja yang bener. Kalau lo ngelakuin hal yang gue suka, gue kasih 1 poin. 1 poin sama dengan 100 ribu. Tapi, kalau lo nolak permintaan gue, berkurang juga 100 ribu. fair kan?”
“Masa?”
“Iya. Mau bukti? Coba lo cium gue..”
“Hah? Ih, nggak.”
“Berkurang 100 ribu.”
“Ih kok gitu.”
“Perjanjian?”
“Ya, kalau lo mintanya yang semacam itu, terus gue tolak, abis doang gaji gue?”
“Cium..” Menunjukan pipinya.
Aku menggeleng tegas.
“Tinggal 300 ribu.”
“Ih curang!”
“Cium..”
“NGGAK!”
“200 ribu.”
“Ih, abis..”
“Cium...” Menunjukkan pipinya sambil memejamkan matanya.
Aku ragu. Namun memberanikan diri menciumnya. Setelah menciumnya, aku pergi berlari.
“Nah, gitu dong. Mantap. Hahaha....”
***
“Ih, gila. Hari pertama udah ketemu cowok kayak gitu. Tapi sebenarnya lumayan gajinya. Tapi ih.. kalau minta cium lagi, gue tampar mukanya.” Kataku sambil mengusap bibirku.
Saat melewati kantin, aku terkejut. Aku melihat sosok cowok yang sepertinya tidak asing juga. Kutegaskan sekali lagi. Wah, dia kan anaknya dokter yang punya rumah sakit besar, dan buka klinik didekat rumahku. Dia kuliah disini juga toh?
Aku mengamatinya dari jauh, aku memang suka meliriknya saat bertemunya di jalan. Dan suka mengikutinya hingga ia sampai ke rumahnya. Ternyata, kuliah dikampus ini juga? Wah, senangnya...
Aku memandangnya dari kejauhan, ia sedang duduk sambil membaca buku dan disamping tangan kanannya, ada jus jeruk segar favoritku. Wah... Sedang asyik mengamati orang yang belum kukenal namanya, handphone ku berbunyi. Terlihat di layar ibu memanggilku.
“Hallo.. Assalamualaikum”
“Waalaikum salam, Fir. Kamu masih dikampus?”
“Iya Bu, kenapa?”
“Kalau nanti kamu pulang, mampir ke rumahnya Bu Anita ya, katanya dia mau nitipin makanan.”
“Oh yaudah bu, nanti aku kesana. Assalamualaikum.”
“Waalakum salam”
Aku mematikan panggilan. Saat melihat ke arah cowok yang tadi kuperhatikan, dia kemana? Kok udah hilang? Ck.  Setelah kulihat sekitar, tak terlihat sosok cowok tadi. Akhirnya, aku berbalik badan, dan...
“Ahhhh..” Aku terkejut, dibelakangku sudah ada Wahyu.
“Ngapain lo disini?”
“Gak tau.” Aku pergi meninggalkan Wahyu.
“Makan yuk..”
Aku dan Wahyu menuju kantin dan duduk ditempat cowok tadi tempati.
“Lo apa?” Tanya Wahyu.
“Siomay.”
Wahyu memesan siomay untukku. Setelah memesan makanannya, ia kembali dan duduk berhadapan denganku.
“Kenapa lo dulu ngelamar di market itu?” Tanya Wahyu.
“Ya.. mau bantu orangtua gue lah. Walaupun orangtua gue masih kasih keperluan gue, tetep aja gue ngerasa udah saatnya gue harus bantu orangtua. Kalau kemaren gue diterima, kan sampai sekarang gue bisa cukupi kebutuhan gue sendiri. Lo sih pelit.”
“Masih aja dibahas. Kerja lo sekarang tuh lebih enak. Udah nikmatin aja. Jarang-jarang kan lo kerja sama cowok keren dan ganteng kayak gue.”
“Ih.. Oh iya, kok lo berubah sih sekarang? Dulu lo bijaksana banget sekarang? Urakan dan nyebelin banget..”
“Kurang ajar. Gue kasih tau ya, dalam dunia kerja itu, semuanya mesti diatur. Dari mulai penampilan, cara bicara dan sikap. Ya professional lah.. Tapi walaupun gue urakan, gue ganteng kan???”
“Ih, pede banget lo..”
“Buktinya, lo mau cium gue tadi.”
Tiba-tiba seorang laki-laki menghampiri kami.
“Permisi. Ada yang lihat kertas selembar dimeja ini?” Tanyanya.
Aku menoleh. Ternyata cowok yang tadi duduk ditempat ini. Aku segera mencari yang ia maksud. Kulihat sekitar, dan terlihat kertas jatuh di dekat kakiku.
“Yang ini..” Kataku sambil memberikan kertasnya.
“Iya. Thanks ya.”
Aku mengangguk. Ia mulai pergi meninggalkan kami. Aku masih tersenyum cara dia menyapa dan meminta kertasnya. Akhirnya, terdengar juga suaranya, selama ini aku hanya melihatnya dari kejauhan.
“Heh! Kenapa senyum-senyum? Lo naksir dia?” Tanya Wahyu.
Aku mengangguk tersipu.
***
Kelasku telah berakhir. Aku memutuskan untuk pulang sendiri. Hari ini aku cukup banyak mengenal teman baru. Tak sulit bagiku mengenal satu sama lain, karena mereka juga sangat ramah dan bersahabat. Saat melewati parkiran motor. Aku melihat cowok manis yang sampai saat ini belum kukenal namanya. Aku memberanikan diri menghampirinya.
“Hai..” Kataku menyapa.
Ia menoleh ke arahku. “Hai..”
“Masih inget gue?”
“Inget lah, lo kan yang tinggal didekat rumah gue dan selalu ikutin gue dari belakang kan?”
Oh my God. Dia tahu. Aku tersipu malu mendengarnya.
“Kok tahu?”
“Kenapa sih suka ngikutin?” Tambahnya.
“Penasaran aja sama lo.” Jawabku ragu.
“Sekadar penasaran atau suka diam-diam?”
Aku makin terkejut.
“Ih, apaan sih.. Cuma iseng doang kok..”
Dia tersenyum. Uh.. Senyumnya manis banget. Baru pertama kali aku melihatnya sedekat ini.
“Mau pulang ya?” Tanyaku.
Dia mengangguk.
“Boleh bareng gak? Kan rumah kita dekat tuh..” Kataku.
“Bukannya lo punya motor ya?”
“Hari ini lagi dibawa adik gue.”
“Oh. Motor lo Blade hitam orens kan?”
“Iya, kok tau.” Kataku dengan ceria.
“Kan suka ngeliat dari kaca spion.”
Oh my God. Ternyata dia memperhatikan aku juga.
“Jadi.. gimana boleh bareng gak?” Kataku menegaskan.
“Ayo..” Katanya sambil bersiap.
“Firaaa...!” Seseorang berteriak dari kejauhan. Saat aku menoleh, ya ampun. Wahyu! Mau ngapain lagi sih dia. Ia semakin mendekatiku.
“Ayo ikut gue!”
“Mau ngapain lagi?” Kataku ketus.
“Makan.”
“Hah? Makan? Kayaknya baru tadi kita makan.”
“Ayoooo..” Katanya sambil menarik tanganku.
“Eh tunggu. Ehm.. sorry, gue gak jadi pulang bareng sama lo.”
“Oh yaudah, gak apa-apa. Oh ya, kita belum kenalan. Wildan.” Sambil menjulurkan tangannya.
“Maghfira.” Aku mengamit tangannya.
“Wahyu. Pacarnya Fira.” Kata Wahyu sambil melepaskan tanganku dan menjabat tangan Wildan.”
“Wildan.” Katanya. “Oh.. Yaudah, gue pulang ya Fir.” Ia menyalahkan motor Blade hitam putihnya.
“Iya. Dah.. Hati-hati.” Kataku sambil melambaikan tangan.
“Yaudah sana cepet pulang, hati-hati..” Wahyu menggandeng tanganku. “Ayo.”
***
“Fira..” Sapa Inez.
Aku menoleh. Inez menghampiriku.
“Gue mau tanya. Kak Wahyu pacar lo?”
“Kenapa emangnya, Nez?”
“Gue denger pembicaraan Kak Tiwi, dia itu mantannya Kak Wahyu.”
“Mantan pacar?” Aku sedikit terkejut. Karena yang aku tahu dia Wahyu belum pernah pacaran. Mungkin sudah. Gak tau.
“Bukan, tapi mantan cewek bayarannya Kak Wahyu. Tapi kalau lo nggak kan, Fir?
“Ah? Nggak kok. Gue sama dia udah kenal lama. Gue juga gak mau lah jadi cewek begitu.”
“Masalahnya, Kak Tiwi itu nyari lo, Fir. Dia tuh mau bikin perhitungan sama lo. karena semenjak lo disini, Kak Wahyu jadi perhatiin lo dan ninggalin Kak Tiwi.”
“Masa? Gue gak kenal sama Kak Tiwi itu. Kok dia kenal gue?”
“Ya iyalah Fir, waktu kita di ospek mungkin.”
***
Setelah kelas selesai, aku menuju kantin, sambil melihat-lihat daerah kampus. Hari ini aku tak melihat dimana Wahyu. Mungkin tidak masuk kampus. Atau?? Entahlah. Tapi, lucu juga ketika mengingat dulu kami saling pandang saat aku melamar pekerjaan di market itu. Sekarang, aku malah menjadi pacar bayarannya. Yang masih aku tidak habis pikir, dulu dia sangat bijaksana, kenapa sekarang dia urakan dan terkesan kasar?
“Kelas lo udah selesai?” Tanya Wildan. Membuyarkan lamunanku. Aku menoleh.
“Eh, lo. Udah kok, baru aja selesai. Mau makan?” Kataku menyilakan.
“Boleh. Lo makan apa?” Ia duduk di sampingku.
“Mie ayam.”
“Enak gak?”
Aku mengernyitkan dahi. “Kayaknya lo yang lebih tau deh?”
“Gue gak pernah makan beginian.”
“Oh iya? Berarti lo harus coba.”
“Boleh. Bu, mie ayam satu ya..” Katanya memesan.
“Ya..” Jawab Ibu penjual mie ayam”
“Lo anak Ekonomi juga kan?” Kataku membuka pembicaraan.
“Iya.”
“Kenapa gak jadi dokter kayak bokap lo aja? Kan rumah sakit lo banyak.”
“Ehm.. Gak. Gue gak tertarik. Kayaknya bosen lihat tiap hari kerjaan nyokap sama bokap samaan. Nah, lo kenapa jadi pindah jurusan ke Ekonomi? Bukannya lo dulu sekolah di SMK Kesehatan?”
Aku tersenyum.
“Ya, kayaknya. Gue lebih tertarik sama bidang ini. Kok lo tau juga? Lo kepo ya??”
Mie ayam pesanan Wildan datang.
“Makasih bu.” Kata Wildan.
“Hei, lo kepoin gue ya?”
“Huh, panas.” Wildan mengacuhkan pertanyaanku. Ia mulai mengaduk mie ayamnya dan menuangkan beberapa saus ke mangkuk mie ayamnya.
“Wildan! Gue dicuekin. Lo kok tau?”
“Emang gue gak boleh tau siapa orang yang suka ikutin gue dari belakang?”
Aku tertunduk malu.
“Kenapa gak langsung kenalan aja coba, ngapain pake ikutin gue terus?” Tambahnya. Wildan mulai meniup mie ayam yang masih panas, dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Malu kali. Emang gue cewek apaan.” Aku juga menyuap mie ayamku. “Gimana rasanya?”
“Enak ternyata. Wah, cuma sama lo nih gue nyobain mie ayam.”
“Masa sih lo gak pernah makan mie ayam?”
“Ya. Lo tau orangtua gue dua-duanya orang kesehatan. Makanya dilarang makan inilah itulah. Jadi gue gak pernah nyobain.” Wildan terlihat menyukai makanannya.
“Eh, lo bener pacaran sama Wahyu?” Sambungnya.
“Ya begitulah.”
“Maaf nih, Fir. Pacar beneran atau bohongan?”
“Semacam bayaran gitu?” Kataku menegaskan. Wildan mengangguk. “Kok mahasiswa disini kayaknya tahu semua tentang Wahyu suka cari cewek bayaran? Apa dia setenar itu di kampus ini?”
“Dia kan pernah ambil D3 juga disini, dan baru kemarin lulus. Dan waktu gue jadi anak baru disini gue juga baru ngerti dia kayak gitu.”
“Maksudnya? Suka cari cewek yang mau dibayar, gitu?”
Wildan mengangguk.
“Lo gimana? Dibayar juga?”
“Ehm.... ini cuma lo sih yang tahu. Sebenernya iya.”
“Kenapa lo mau?”
“Ya. Gini awalnya. Waktu gue ngelamar di market dekat rumah, dia yang jadi bagian personalianya. Ya waktu itu, dia orangnya tuh bijaksana banget, dan kayaknya gue suka sama dia. Tapi, gue malah ditolak di market itu. Dan sekarang, gue malah ketemu sama dia, dan dia nawarin kerjaan kayak gitu ke gue, ya gue terima. Karena kan cuma jadi pacar bohongan dan gajinya lumayan.”
“Berapa?”
“500 ribu perhari.”
“Apa lo butuh uang segitu banyak?”
“Ya nggak sih. Orangtua gue sebenernya masih mampu biayain gue. Tapi kan, kebutuhan gue semakin banyak. Biaya kuliah gue juga kan lumayan menyiksa. Kalau gue cari kerja kan lumayan bantuin bokap gue. Seenggaknya, gue gak terlalu menyusahkan bokap.”
Tiba-tiba handphone ku berdering. Nomor tak dikenal memanggilku. Aku mengangkatnya.
“Hallo Assalamualaikum.. ini siapa?”
“Waalaikum salam. Ini gue Wahyu. Lo lagi ngapain?”
“Oh. Wahyu. Gue lagi makan mie ayam.”
“Makan? Kita kan biasanya makan bareng, kok lo gak ajak gue?”
“Oh yaudah, ke kantin aja, gue tungguin.”
“Lo makan sama siapa?”
“Sama Wildan?”
“Hah?!” Suaranya yang keras membuatku menjauhkan ponselku dari telingaku. “Sama Wildan? Berkurang 100 ribu.”
“Ya emang salah?”
“Ya salah lah. Sekarang, bawain mie ayam ke kelas gue. SEKARANG!”
“Iya, setengah jam lagi gue kesana.”
“Setengah jam? Lo mau biarin gue mati kelaparan?”
“Lebay. Yaudah iya.”
“Cepet!”
Aku segera mematikan ponselku.
“Bu, mie ayam satu dibungkus ya.”
“Wahyu kenapa?”
“Minta gue bawain mie ayam ke kelasnya.”
“Tuh kan, lo jadi disuruh-suruh begitu.”
***
“Sini gue bawain.” Kata Wildan sambil mengambil mie ayam dari tanganku.”
“Makasih.”
Aku dan Wildan menuju kelasnya. Tapi, dimana Wahyu? Kok gak ada dia dikelasnya. Aku segera menelponnya.
“Lo dimana?” Tanyaku kesal.
“Dikelas pasca sarjana.”
“Hah? Paling atas dong?”
“Iya. Cepetan gue laper.” Wahyu mematikan telponnya.
“Emang dasar nyebelin.”
“Dia dimana?” Tanya Wildan.
“Di kelas pasca sarjana.”
“Yaudah yuk. Naik lift aja biar cepet.”
Saat aku menuju lift. Tertera di depan lift. “LIFT RUSAK!” berarti aku harus naik tangga? Sedangkan kelas pasca sarjana paling berada di paling atas. Ya ampun. Benar-benar menyebalkan. Aku dan Wildan naik tangga dengan sabar. Saat ditengah tangga, aku memutuskan untuk beristirahat. Karena kakiku mulai terasa sakit.
“Capek ya?” Tanya Wildan.
“Capek banget. kaki gue sakit.”
“Ayo, pelan-pelan. Mie nya keburu lebar ntar gajinya lo dipotong lho.”
“Ah bodo ah. Sakit banget.” Sambil melepaskan sepatu wedges ku.
Wildan segera menunduk dan menyuruhku naik ke atas punggungnya.
“Ayo naik”
“Hah? Nggak ah. Gue berat. Nanti jatuh gimana?”
“Tenang aja gue kuat kok. Ayo..”
Aku mulai naik ke atas punggungnya, Wildan menggendongku. Dan berusaha menaiki anak tangga. Dengan berpegangan di pegangan tangga, akhirnya kami sampai di kelas pasca sarjana. Wildan menuruniku.
“Makasih ya. tenang aja, kalau gue gajian hari ini. Gue bawa lo ke tukang urut. Nanti osteoporosis muda lagi..” kataku sambil memakai sepatuku.
“Sok tau.. ayo.” Ia menggandeng tanganku.
Aku mengetuk pintu kelas. Sesaat terbuka sedikit, aku melihat kelas itu kosong. Lalu aku membuka pintu dengan lebar. Terlihat Wahyu sedang memainkan ponselnya dengan kaki diatas meja.
“Nih..” Aku meletakkan mie ayam di mejanya. “Nyusahin lo.”
“Kok lo bawa orang?”
“Lo gak mikirin gue? Lewatin kelas ini tuh sepi, lift rusak. Kalo gue naik tangga sendirian, terus ada yang nyulik gue, gimana?”
“Yaudah, sekarang dia suruh pergi.”
“Hah? Gila! Kelas ini jauh banget lho. Dia sama gue baru sampe ke atas, udah disuruh balik. Gak waras lo.”
“Heh! Sekarang lo cepet keluar. Gue mau makan.” Wahyu menyuruh Wildan pergi.
“Gue tetep tunggu sini.” Jawab Wildan.
“Mau ngapain? Mau lihat gue sama dia makan?”
“Makan.. makan aja, gue gak akan minta kok. Lagi pula, siapa yang bakal tau apa yang terjadi di kelas ini, kalau isinya cuma ada kalian berdua?”
“Yaudah. Terserah.” Kata Wahyu. “Lo duduk sini.” Wahyu menarik tanganku. Aku mengikutinya. “Suapin gue dong.”
“Suapin? Emang lo gak punya tangan?”
“Nolak?”
“Ck!” Aku mulai membuka bungkus sterofoam dan membuka bungkus plastik sumpitnya. Dengan membubuhkan saus dan sambalnya, aku mengaduk mie ayamnya. Lalu memutar mie di sumpitnya.
“Nih..” Aku memberikan mie, dan Wahyu membuka mulutnya.
“Minumnya mana?”
“Telen aja liur lo.” Kataku ketus.
“Beliin dong.” Pinta Wahyu.
“Gue punya.” Wildan melemparkan air mineral ke arahku. Dengan sigap aku menangkapnya.
“Ck ah. Bukannya pergi aja sanah.” Kata Wahyu, lalu membuka segel air dan menengguknya. “Lagi dong!”
Aku menyuapinya kembali.
“Udah ah kenyang. Gue sekarang ngantuk.”
“Terus?” Aku menutup kembali bungkus mie.
Wahyu mendekatkan tubuhnya ke dekatku. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Kulirik Wildan, sepertinya dia marah melihat Wahyu semaunya padaku.
“Wahyu. Berat ih..” Aku mengangkat kepalanya.
“Ehmmm... ngantuk..” Ia menahan kepalanya.
“Wahyu.. Ih...”
“Apa sih...”
“Wahyu.. gak enak di liatin..”
“Cium... Muaaah...” Wahyu mencium pipiku. Aku tersentak terkejut. Aku segera menjauh darinya.
“Wahyu..!”
“Kenapa? Kita kan pacaran.”
Wildan menghampiri meja kami, lalu menggebrak meja dengan keras.
“Jangan mentang-mentang Fira itu pacar lo, lo jadi seenaknya sama dia.”
“Makanya lo keluar sana. Ganggu aja orang pacaran.”
“Gue tunggu diluar, Fir. Kalau dia macem-macem teriak aja.” Wildan pergi keluar kelas. Menyisakan aku yang masih terkejut perlakuan Wahyu.
“Sorry.” Kata Wahyu sambil mengusap pipiku yang tadi diciumnya.
“Kenapa.. lo cium gue?” Tanyaku ragu.
“Terpaksa. Lagi pula ini salah lo juga. Siapa suruh bawa dia kesini dan make parfume yang bikin gue jadi betah nyender di bahu lo. Jadi gue cium kan.” Kata Wahyu sambil pergi meninggalkanku.
***
“Mana Fira?” Seorang perempuan berambut panjang yang menggunakan kemeja putih dan rok orens datang ke kelasku. Teman-temanku segera menunjukan aku kepadanya. Perlahan, ia menghampiriku.“Lo Fira?” Tanyanya. Aku mengangguk. “Ada hubungan apa lo sama Wahyu?”
“Gue pacarnya.” Jawabku sekenanya.
“Alah. Pacar. Pacar bayaran maksudnya? Denger ya anak baru. Lo itu udah ngancurin hubungan gue sama Wahyu. Pergi jauh-jauh deh lo dari Wahyu. Atau gue yang akan membuat pergi dari dia.”
“Heh! Yang ada tuh lo yang ngerusak hubungan gue sama Wahyu. Sebelum gue jadi Mahasiswi disini, lo kan yang jadi pacar bayarannya Wahyu. Sekarang, gue. Pacar aslinya Wahyu menentang siapapun yang mencoba menganggu atau merusak hubungan gue sama Wahyu, kalau lo masih nekat lo bakal berhadapan sama gue!” kataku menghardik.
“Tau apa lo anak bawang? Lihat ya, sekali lagi gue lihat lo jalan berdua sama Wahyu. Abis lo!” Katanya sambil menggebrak mejaku, lalu pergi.
“GUE TUNGGU!” Kataku berteriak.
***
“Wildan..” Aku memanggilnya. Ia menoleh.
“Mau kemana?”
 “Mau pulang, gue udah gak ada kelas. Lo?”
“Mau makan laper.. makan dulu yuk. Gue bawa ini..” Aku menyodorkan tempat makan berwarna biru muda kepada Wildan.
“Ini ada Sushi buatan gue. Cobain ya..”
“Di taman aja yuk.” Aku mengikutinya.
“Wahyu lucu ya..” Kata Wildan.
“Kenapa?”
“Iya, dia kayaknya cemburu kalau lihat kita berduaan.”
“Dia emang begitu. Aneh. Padahal kan kita berdua temenan.” Aku duduk di samping Wildan. “Ayo dimakan.” Wildan menyuap sushi buatanku. Dan mengunyahnya perlahan sambil menikmati rasanya. “Gimana rasanya?”
“Ehm.. enak.. Lo jago masak ya.” Aku tersenyum.
“Fir. Ikut gue.” Wahyu datang tiba-tiba dan segera menarik tanganku.
“Ih, lo kayak setan ya, nongol tiba-tiba.”
“Ayo ikut gue kerumah gue.”
“Hah? Mau ngapain?” Aku ditariknya, dan mengikutinya. Meninggalkan Wildan yang masih terheran-heran.
***
“Pokoknya, lo harus terlihat manis di depan nyokap gue.” Katanya sambil mengemudikan mobilnya.
Aku terdiam.
“Tenang aja.. nanti gaji lo, gue transfer kok ke rekening lo.” Wahyu mengusap rambutku. “Tadi lo bikin apa?”
“Sushi.”
“Kok gue gak dikasih? Malah ngasih ke dia?”
His name is WILDAN! Bukan dia.”
“Yah.. whatever. Lo suka ya sama dia?”
“Iya gue suka. Masalah buat lo?”
“Ya masalah lah. Lo kan pacar gue.”
“BOHONGAN! Kita cuma pacar bohongan. Dan gue cuma pacar bayaran lo.”
“Ada saatnya nanti juga kita jadi pacar beneran. Tuh rumah gue.”
Apa? Pacar benaran? Berarti Wahyu ingin mempunyai perasaan yang nyata juga? Dan aku? Perasaanku seketika berdesir mendengar penyataannya. Aku memang pernah mengangguminya, dan mungkin kini mulai menyukainya. Tapi Wildan? Aku juga mulai menyukainya.
***
“Oh.. kamu yang namanya Fira. Pantes setiap hari Wahyu ceritain tentang kamu terus ke Tante. Ternyata anaknya cantik dan manis.” Tante Nita memujiku.   
“Ah, Tante bisa aja.”
“Ma, temenin Fira dulu ya. Aku mau mandi dulu. Fir, bentar ya.” Wahyu pergi menuju kamar mandi.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Fira, Tante tuh khawatir sama Wahyu. Dari dulu dia selalu mencari perempuan yang mau dibayar untuk menjadi pacarnya. Setiap minggu, pasti ada banyak tagihan rekening. Tante tuh sampai pusing mau bagaimana lagi menghadapi Wahyu. Kadang satu minggu bisa hilang sepuluh juta. Memang uang tinggal metik terus dijemur, Tante tuh bingung, Fir.”
“Emang, udah berapa orang yang Wahyu bayar untuk menjadi pacarnya, Tante?”
“Gak tau deh, Fir. Banyaklah pokoknya.”
“Kenapa sih, Tan. Wahyu selalu mencari perempuan untuk dijadikan pacar bohongan? Dia keren, pintar, kenapa gak cari pacar sungguhan aja?”
“Tante sebenarnya juga tidak mengerti, Fir. Tapi yang Tante tau di pernah pacaran, tapi sakit hati karena tahu pacarnya hanya memanfaatkannya saja. Mungkin semenjak itu ia membuktikan, bahwa semua perempuan itu hanya gila materi. Dan ia akan terus seperti itu sampai ia menemukan wanita yang memang ia cari sesuai dengan keinginannya. Maka dari itu, Fir. Tante sangat berharap banyak sama kamu. Cuma kamu yang mampu membuatnya terus menceritakan kisah kamu sama Tante. Kamu yang kayaknya Wahyu pilih untuk menjadi tambatan hatinya.” Jelas Tante Nita.
Sesaat aku terdiam mendengarnya. Ada rasa menyesal dihatiku menyia-nyiakannya, padahal ia hanya mencari sosok wanita yang mampu mengisi hatinya dengan tulus tanpa materi semata.
***
“Fir, uang dari mana kamu membelikan makanan banyak begini?” Tanya Ibu.
“Aku ikut lomba kecantikan, Bu. Aku menang, yaudah. Uangnya buat ditabung sama beli ini deh.” Kataku berbohong. Padahal ini uang gaji pertamaku dari Wahyu.
***
“Kenapa lo gak berhenti kerja aja sih dari Wahyu, daripada lo terus-terusan disuruh-suruh?”
“Kalau ada pekerjaan yang lebih menguntungkan dan semudah ini terus gajinya lebih besar, gue juga mau, Dan.”
“Yaudah lo kerja aja sama gue.”
“Kerja? Kerja apaan?” Tanyaku.
“Jadi pacar bohongan gue juga.”
“Hah???! Pacar bohongan?” Tanyaku terkejut.
“Iya, gue bisa kok gajinya lo diatas Wahyu gaji lo. Wahyu 500 ribu? Gue tambah 300 ribu. Gimana? Tenang aja, sama gue gak susah kok, lo cuma harus temani gue makan mie ayam, belajar, jalan, udah.”
“Hah? Serius?”
“Iya. Gak percaya banget sih. Makanya resign aja pekerjaan lo jadi pacarnya Wahyu.”
“Tapi gue gak bisa.”
“Kenapa?”
“Ada sesuatu hal yang membuat gue gak bisa meninggalkan Wahyu.”
“Oh, yaudah. Gimana, kalau dari jam 8 sampai jam 12 lo jadi pacar Wahyu dan dari jam 12 sampai jam 5 sore lo jadi pacar bohongan gue?” kata Wildan menyarankan.
“Hah? Gue digilir?”
***
Setelah kelas berakhir, aku segera keluar dan mencari Wahyu. Kulihat Wahyu sedang duduk di taman.
“Lama banget sih.” Wahyu membentakku.
“Ya maaf.”
“Ayo jalan.”
“Kemana?”
“Ya kemana kek. Kita kan pacaran.”
Aku liat jam ditanganku, pukul 14.08. berarti waktu aku bersama Wahyu sudah selesai. Aku melihat Wildan yang sepertinya juga sedang mencariku. Aku melambaikan tangan padanya dan ia menghampiri kami.
“Sekarang, kerja gue double. Jam 8 sampai jam 12 siang gue jadi pacar bohongan lo. dan dari jam 12 siang sampai jam 5 sore, gue jadi pacarnya Wildan.” Kataku menjelaskan pada Wahyu.
“Aturan dari mana itu. Nggak! Kenapa jadi double job, gitu? Masih kurang gaji dari gue?”
“Karena gaji dari lo Cuma 500 ribu, dan dari Wildan 800 ribu. Ya gue ambil double job lah.”
“Hah? 800 ribu?” Aku mengangguk. Wildan tersenyum geli.
“Oke, gue tambah gaji lo jadi 900 ribu, dan seharian penuh lo jadi pacar gue.”
“Gue tambah jadi 1 juta, dan biarin Fira seharian sama gue.” Wildan menambahkan.
“1,2 juta.” Sahut Wahyu tak mau kalah.
“1, 8 juta.” Wildan menambahkan.
“2,5 juta.” Wahyu menambahkan.
“Hah?! Demi seharian sama gue Wahyu rela mengeluarkan uang 2,5 juta?” Kataku dalam hati.
“3,8 juta. Fira, jadi pacar gue.” Wildan menarikku ke sisinya.
“3,9 juta.” Wahyu menarikku ke sisinya.
“3,950 ribu.” Wildan menarikku.
“4 juta.” Wahyu menarikku juga.
“STOP! STOOP! Heh. Gue bukan kambing seenaknya ditarik. Biarin gue yang tentukan siapa yang menjadi pacar bohongan kalian. Gue buka dengan harga 5 juta. Gimana?” Kataku melerai.
“Hahaha. Dengan 5 juta perhari. gue bisa kaya mendadak. Ayo siapa yang berani?” Kataku dalam hati.
“Tuh buat lo.” Wahyu memberikan aku kepada Wildan. “Kemahalan 5 juta. Gak bisa di apa-apain aja minta 5 juta.” Kata Wahyu.
“Nggak ah. Kemahalan. Mending gue buka kios mie ayam.” Kata Wildan ikut-ikutan memberikanku kepada Wahyu.
“Ih, nyebelin banget lo berdua. Yaudah.” Aku pergi dengan kesal.
***
“Hemmph.. tolong.. tolong....” Seseorang membekapku dari belakang dan memaksaku masuk ke dalam mobil. Tangannya yang kekar dan lebar membuatku tak bisa melepaskan sapu tangan yang baunya sangat menyengat dihidungku. Perlahan pandanganku terlihat kabur, dan aku mulai tak sadarkan diri.
Beberapa waktu setelah itu, aku dipaksa membuka mataku dengan suara teriakan perempuan yang sangat keras ditelingaku. Dengan berat mata, aku membuka mataku perlahan. Mencoba mengamati sekitar ruangan besar yang pengap, dan terlihat seperti bangunan tua yang tak terurus. Ketika aku mencoba menggerakkan tangan, tanganku terasa berat dan seperti terikat tali yang cukup membuat sebagian darah di daerah tanganku berhenti mengalir.
“Bangun lo!” Teriak perempuan, yang sepertinya aku mengenalnya. Tiwi. Ia mantan pacar Wahyu yang pernah mengancamku dulu. Untuk apa dia menyekapku?
“Gue udah pernah bilang sama lo, jangan pernah lo coba jalani hubungan lo sama Wahyu. Tapi lo nekat, dan kesabaran gue udah habis ngeliat lo berdua mesra-mesraan. Sekarang, lo gak akan pernah bertemu Wahyu untuk selamanya.” Katanya sambil diikuti suara tawanya.
“Apa lo akan membiarkan gue ditempat ini sendirian? Apa lo gak punya hati?”
“Hati gue udah mati karena lo yang mematikan perasaan gue. Lo ambil Wahyu dari gue, lo buat Wahyu melupakan gue. Kenangan gue sama dia. Apa lo ngerasa menang sekarang? Udah menghancurkan gue, kehidupan gue. Puas lo sekarang?” Bentak Tiwi.
“Apa yang lo harapkan dari Wahyu? Hartanya? Begitu maksud lo? Dia cuma minta ketulusan lo, dia cuma minta perasaan lo yang real tanpa memandang Wahyu dari segala materinya. Apa lo udah memberikan yang Wahyu minta dari dasar hati lo? sekarang lo minta gue lepasin Wahyu, itu gak akan mungkin. Gue mencintai Wahyu, gue sayang sama Wahyu, dan gak akan ada yang bisa merubah perasaan gue sama dia.”
“Tapi gue lebih cinta sama Wahyu, lebih dari siapapun. Termasuk lo!”
“Mengharapkan cinta Wahyu kembali untuk sekarang ini, sama aja seperti lo mencari jarum di tumpukkan jerami. Lo cantik, lo bisa cari Wahyu lain yang bisa lo selingkuhi, dan lo kuras hartanya.”
“Apa lo gak sayang sama nyawa lo? Hah? Apa lo siap mati demi Wahyu???”
“Bruuuk!” Tiwi menendang penutup bom dan seketika bom waktu itu menyalah dan menunjukkan waktu 5 menit sebelum bom itu akan meledak yang akan menghancurkan gedung ini termasuk aku yang akan menjadi puing-puing bersama reruntuhan gedung.
“Lo bercanda kan?” Tanyaku.
“Gue gak pernah main-main sama tindakan gue, lo yang memilih ini, selamat menuju kehidupan baru.” Tiwi meninggalkanku seorang diri.
“TIWIIII!!!” Kataku berteriak sekeras mungkin.
Tak ada yang dapat aku lakukan sekarang, seluruh tubuhku terikat dengan tali yang tebal. Aku hanya berpasrah kepada Allah dan menunggu keajaiban datang menyelamatkanku. Sekilas terbayang wajah orangtuaku dan adik-adikku. Mereka pasti akan sedih mengetahui aku pergi meninggalkan mereka karena pekerjaanku yang tak pantas. Sesaat aku menyadari, apa bedanya aku dengan Tiwi yang sangat mengharapkan uang untuk mencukupi kebutuhannya dengan bekerja menjadi pacar bayaran oleh Wahyu.
Wahyu, Wildan. Mereka yang terakhir mengisi hatiku. Tanpa pendekatan yang jelas, tanpa sebuah komitmen yang pasti, aku menjadi seorang kekasih yang sebenarnya aku sendiri tidak mengerti mengapa kini aku menjadi gila materi. Ya Allah, jika aku masih bisa kembali pada kehidupanku, aku saat bersyukur kepada-Mu, dan tak akan pernah mengulangi pekerjaan ini. Lebih baik aku mencari cinta yang tulus dan tak menilaiku dengan sebuah harga yang menggiurkan.
Kulihat waktu yang berjalan di bom tersebut, waktu yang tersisa tinggal 2 menit. Ya Allah.. tolong aku.
“BRUUUK!” seorang mendobrak pintu dari luar.
Wahyu! Syukur Alhamdulillah, Wahyu datang menyelamatkanku.
“Fira. Lo nggak apa-apa?” Tanyanya sambil memeriksa tubuhku.
“Nggak. Wahyu.. tolong gue..”
Wahyu membuka taliku dengan pecahan kaca yang berada di sampingnya, dengan cepat ia membuka talinya.
“Wahyu, cepeeeeeet!” Aku melihat waktu tinggal 55 detik lagi.
Tali pun terlepas, Wahyu segera menggendongku pergi dan keluar dari gedung. Dengan cepat, Wahyu berlari berusaha keluar dari gedung ini. Dan berlari menjauh keluar dari gedung. Hanya sekejap mata gedung itu meledak. Meledak sampai memekikan telinga kami. Wahyu memelukku sambil melindungiku dalam dadanya yang bidang. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Allah telah mengirimkan Wahyu untuk menyelamatkanku.
“Makasih Wahyu...” Aku menatap wajahnya sambil sesekali menitikkan air mata.
Wahyu mengusap air mataku. “Gue mau kita benar-benar menjadi pasangan. Bukan sekedar pacar bohongan. Gue sayang sama lo, Fir.”
Perlahan tapi pasti, Wahyu mendekatkan bibirnya ke bibirku. Wahyu mengecup bibirku, dan perlahan mataku mulai terpejam merasakan sentuhan lembut dari Wahyu. Cukup lama kami berciuman. Aku benar lupa diri. Aku benar-benar terbawa suasana. Dari kejauhan, terlihat Wildan memandangi kami saling berciuman. Wajahnya tampak kecewa. Dan ia pergi dari tempat kami berdiri.
***
“Apa kamu bisa jelaskan kenapa Wahyu memberikan uang 5 juta untuk kamu, Fir?” Tanya Tante Nita dengan suara yang keras.
“Aku gak tau, Tante. Sumpah aku gak tau.” Aku menangis.
“Apa artinya kalau kamu bukan cewek bayaran? Hah? Apa bedanya kamu sama pacar-pacarnya Wahyu yang dulu? Tante sangat berharap sama kamu, Fir. Tapi Tante salah, kamu dan perempuan lain gak ada bedanya. Kalian sama saja, sama-sama ingin membuat Wahyu hancur.”
Tante Nita, terlihat mengeluarkan surat dari tasnya dan melemparkan amplop coklat tebal dan amplop biru muda ke meja depanku.
“Itu ada uang 20 juta, kamu bisa ambil. Itu titipan dari Wahyu selama Wahyu pergi menyusul Papanya di Amerika. Dan saya pastikan, Wahyu tidak akan pulang ke Jakarta lagi untuk menemui kamu disini.”
Aku terkejut mendengar ucapan Tante Nita.
“Wahyu pergi, Tante? Kapan? Kenapa aku gak tau?”
“Tante yang memang merencanakan kepergiannya, setelah saya selidiki siapa kamu dan kemana uang Wahyu mengalir, ternyata kamu biang keladinya. Saya benar-benar kecewa sama kamu. Dan jangan pernah kamu berharap bertemu Wahyu bagaimana pun caranya.” Tante Nita pergi meninggalkanku di Cafe sendirian. Kuambil dan kubuka surat berwarna biru muda, warna favoritku yang tadi Tante Nita lemparkan untukku. Aku membacanya penuh perhatian sambil beberapa kali menitikkan air mata.
To: Maghfira Sabrina Carissa.
Fir, mungkin saat lo baca surat ini, lo akan kehilangan dua orang yang pernah hadir dihidup lo. Dua orang yang selalu merebut perhatian dari lo. Dua orang yang selalu mencari cara menjadikan lo kekasih. Dua orang yang selalu membuat lo  bimbang dan merasa terbebani. Saat ini dua orang tersebut memutuskan untuk meninggalkan lo untuk sementara waktu atau untuk selamanya. Karena dua orang ini gak mampu memiliki lo seutuhnya. Dua orang tersebut tidak ingin membuat salah satunya merasa sakit hati hanya karena tidak bisa mengikhlaskan satu cinta yang sama tumbuh di hati mereka. Dua orang tersebut juga tidak bisa melihat salah satunya rapuh karena cinta. Dua orang itu hanya bisa berharap, bahwa Tuhan akan melindungi lo dari segala tangan cowok nakal yang mau membayar lo sebagai pacar bohongan. Dua orang itu selalu berdoa untuk lo, agar lo mendapatkan kekasih yang lebih baik dari mereka. Dan dua orang itu kini sudah pergi ke tempat yang berbeda. Karena sampai kapanpun, hubungan persaudaraan lebih indah tanpa permusuhan. Take Care, Maghfira..
Dua Sepupu Sejoli:
Wahyu dan Wildan.
***
2 tahun kemudian..
“Kak Fira, Kakak tuh cocok tau sama Kak Vidi. Beruntung banget kakak dapetin artis terkenal kayak Kak Vidi Aldiano. Kakak jadi bisa ikutan masuk TV.” Kata Rico, adik ketigaku.
“Iya, udah keren, ganteng, pinter nyanyi lagi. Udah gitu udah lulus S2 Magister Ekonomi di usia mudanya. Cocok deh sama Kak Fira yang cantik.” Sahut Lani adikku perempuanku.
“Sssst.. ntar Ayah denger.” Kataku.
“Yaaa, asal kamu gak dijadiin Vidi pacar bohongannya dia, Ayah sih setuju aja.” Sahut Ayah.
“Iya, nanti kalau di tinggal ke Amerika sama di tinggal ke Yogyakarta lagi gimana?” Tambah Ibu.
“Ah, Ibu. Pake diungkit. Biarin aja mereka melanjutkan kuliahnya di tempatnya masing-masing. Kedua W itu kan harus Move On.” Kataku sambil mematikan saluran televisi.

TAMAT
By: Fzhuzie@yahoo.com