“Aku ngerti
Fan, aku tau. Jadi kamu gak usah ngejelasin lagi. Intinya, kamu selingkuh kan?” Fadli membuka suaranya
setelah sekian lama terdiam.
“Aku harus
ngomong apa sih lagi, Dli? Aku gak selingkuh sama siapapun. Apa sih yang harus
aku lakuin supaya kamu percaya?” Fanny mulai kesal dengan
sikap kekasihnya yang mulai berpikir tidak rasional.
“Kamu gak
harus ngelakuin apapun kok! Hanya satu aja, kamu jujur. Toh aku gak akan marah,
Fan.”
Fanny menoleh tajam ke arah Fadli.
“Aku udah
jujur, Dli. Gibran itu sahabat aku!”
Nada suara Fanny mulai terdengar keras.
“Ck! Aku gak
mau ngomong lagi sama kamu, sebelum kamu jujur sama aku. Karena gak ada sahabat
yang saling mencium!” Kata Fadli keras. Fanny terlihat menunduk.
“Hai, Fan!” seorang cowok tinggi
dengan kulit putih melambai ke arah Fanny, lalu datang menghampirinya dan
menyapa sambil mencium pipi kanan dan kiri Fanny.
“Semakin aku
tau siapa kamu, semakin aku percaya kalo
kamu itu pengkhianat, Fan!” Fadli beranjak dari
duduknya meninggalkan Fanny.
“Fadli! Ck!” Teriak Fanny. Seketika,
tangan cowok itu meraih tangan Fanny.
“Dia kenapa
sih? Aneh!”
Katanya lalu duduk bersandar di
samping Fanny.
“Jelas dia
terlihat aneh, gimana gak aneh ngeliat pacarnya di sambar cipika-cipiki sama cowok keren
kayak lo!”
Fanny menggerutu.
“Gue keren?
Alhamdulillah... Tapi kenapa gue masih jomblo juga ya, Fan?”
“Lo tanya sama
nenek lo, kenapa lo masih jomblo!” Fanny pergi meninggalkan cowok di sampingnya.
“Fan.. Fan... Nenek gue kan nenek lo
juga! Fan..”
Berusaha mengejar Fanny.
***
Tiba-tiba ponsel Fanny berdering. Fanny merogoh ponsel
di saku celananya.
“Halo, Ma.
Kenapa?”
“Fan, gimana
mas-mu udah dikampus?” Tanya Mamanya Fanny.
“Udah Ma. Dan
Mama tau gak, aku hampir aja putus sama Fadli, gara-gara Mas Aldian
cipika-cipiki sama aku. Ngapain sih dia ke kampus aku?”
“Dia mau
jemput kamu katanya. Udah lah, kasian kan jauh-jauh dari Yogya, cuma demi
jemput kamu.”
“Iya sih. Tapi
caranya itu lho, kan bisa bikin orang salah paham, Ma.”
“Yaudah, kamu
jelasin aja sama Fadli, kalo dia sepupu kamu, baru datang dari Yogya..”
“Iya.. Iya..”
“Yaudah ya Fan.
Dah..” Ibu Fanny mengakhiri pembicaraan.
“Fan! Ayo.” Aldian menghampiri Fanny
dengan motor merahnya.
“Cowok gue
ntar marah lagi, Mas.”
“Udah biarin, biar sama-sama
jomblo kita. Ayo..”
Fanny segera naik ke motor Aldian.
“Makan dulu ya. Gue kangen bakso deket sekolah lo.” Aldian segera
mengarahkan motornya ke tempat bakso yang dimaksudnya.
***
Fanny dan Aldian sudah berada ditempat bakso langganan
Aldian sebelum ia memutuskan untuk kuliah di Kota pelajar, Yogyakarta. Fanny
pun sedikit tak menyangka bahwa kakak sepupunya akan datang ke kampusnya dan hampir membuat
Fadli, kekasihnya mengakhiri hubungan mereka.
Dua tahun meninggalkan kota Jakarta tak membuatnya
berubah dari yang sebelumnya. Penampilannya yang stylish membuat banyak wanita
ingin menjadi pujaan hatinya. Aldian masih seperti dua tahun lalu yang selalu
mengganggu hubungan Fanny dengan pacar-pacarnya terdahulu. Motto Aldian adalah
"HIDUP JOMBLO" yang masih lekat terngiang di otak kanan Fanny.
“Lo ngapain ke
Jakarta, Mas? Gak bilang-bilang lagi!” Fanny membuka percakapan.
“Gue mau PKL disini Di kantor bokap lo.”
Jawab Aldian.
“Jauh banget.
Emang di Yogya kehabisan lahan PKL?”
“Ya.. Enggak.
Gue juga kangen sama keluarga lo, udah lama gak nginep disini. Dan.. Gue juga
kangen sama nyokap gue.”
Fanny terdiam mendengar pernyataan Mas Aldian yang
umurnya 1 tahun lebih tua darinya.
“Oh. Terus
kapan lo mau kesana? Apa mau gue anterin?” Ajak Fanny ragu-ragu.
“Boleh. Kalo
bisa hari ini kita kesana. Gue udah kangen banget, emang anak durhaka gue. Dua
tahun baru bisa nengok nyokap.” Katanya sedikit bergurau.
“Ya.. Nyokap
lo juga pasti ngerti, lo sibuk disana. Yang penting kan, sekarang lo bakal
dateng kesana.”
“Iya sih.
Berarti kita ke toko bunga sama air mawar dulu ya?”
“Biasanya di
tempat pemakaman ada yang jualan kok.”
***
Fanny dan Aldian datang ke pemakaman Ibu Aldian yang
meninggal pada dua tahun lalu sebelum Aldian memutuskan kuliah di Yogyakarta.
Ibu Aldian yang sakit karena Kanker Rahim yang dideritanya, membuat Aldian
harus mengikhlaskan kepergian Ibunya yang genap berusia 50 tahun.
Air mata Aldian tumpah saat mengenang hidupnya dulu
bersama Ibunda tercinta yang terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Fanny dengan baik, mengusap punggung Kakak Sepupunya memberi support agar
selalu tabah mengikhlaskan kepergian Ibunya yang sudah tenang berada di sisi
Sang Pencipta.
***
“Kamu tidur di
kamar tamu ya, Di.” Kata Papanya Fanny saat makan malam.
“Gak di kamar
Fanny aja, Oom?
Dulu kan sering tidur sama Fanny, Putri dan Meli Oom.”
“Itu waktu gue
masih kelas 4 dan lo, Mbak Putri dan Mbak Meli kelas 5 SD, Mas. Enak aja!” Fanny terlihat jutek
menanggapi pernyataan Aldian. Yang di jutekin malah terkekeh di balik tundukannya.
“Aldi..
Aldi.. Oh iya, bagaimana dengan kakakmu
di Yogya?"
Tanya Papa
Fanny.
“Baik kok, Oom. Oh iya, disini Aldi cuma 3
bulan kok, Oom. Sampe masa PKL aja.” Jawab Aldian.
“Langsung pulang kalo udah selesai. Jangan
lama-lama disini. Rusuh.” Sahut Fanny.
“Lo kenapa sih, Fan? Sensi banget sama
gue.” Jawab Aldi.
***
Keesokan harinya. Fanny datang ke
kampus di antar Aldi. Setibanya di kampus, Fanny segera mencari Fadli. Namun,
tak ia temukan batang hidung kekasihnya. Ia juga sempat bertanya pada
teman-temannya, dimana sosok kekasihnya yang telah menjalin hubungan dengannya
selama satu tahun terakhir.
“FADLI!” Seru Fanny senang, karena
mendapati Fadli baru keluar dari perpustakaan. Ia pun menghampiri dan
menggandeng tangan Fadli seperti biasanya.
“Fadli.. Kok cuek sih?”
“Apa lagi sih, Fan?”
“Masih marah?”
“Siapa yang gak marah lihat pacarnya
di cium sama orang lain? Aku aja gak pernah boleh nyium kamu.”
“Oke. Aku jelasin sekali lagi ya.
Gibran nggak nyium aku, dia niup mata aku waktu aku kemasukan debu. Kamu bisa tanya
sama seisi di dunia ini.”
“Dan kemarin?” Tanya Fadli.
“Kemarin.. dia itu sepupu aku, baru
datang dari Yogya. Mau PKL di kantor bokap. Masih marah juga?”
“Kamu centil sih. Makanya semua orang
bisa deketin kamu semaunya mereka.”
“Makanya, kamu tuh jangan marah-marah
terus. Percaya dong sama aku. Ayo ah..”
***
“Mas.. Ajarin dong. Susah nih
tugasnya..” Fanny melongokan kepalanya dari balik pintu.
“Udah gede juga, masih aja
nanya-nanya.” Jawab Aldi santai sambil mengetik di laptopnya.
“Mas..” Fanny masuk dan duduk di tepi
ranjang kamar tamu, yang kini menjadi ranjang sementara Aldian.
“Apa?”
“Kenapa sih, lo gak punya pacar? Lo
kan cakep, Mas. Pasti di kampus lo, banyak yang mau sama lo.”
“Gue gak butuh siapa-siapa, Fan. Gue
mau fokus dulu sama kuliah gue.”
“Emang kalo pacaran, ganggu kuliah ya?
Terus, tipe cewek yang lo suka kayak apa, Mas?”
“Ehm...” Aldian seketika menghentikan
aktifitasnya, sambil terpikir pertanyaan dari Fanny.
“Lama lo, Mas”
“Ehm.. pokoknya.. gue suka sama cewek
yang gak banyak nuntut, terus baik, murah senyum, gak aneh-aneh, cantik
pastinya dan pintar memasak.”
“Ehm.. standar ya?”
Aldi mengangguk.
“Temen gue banyak tuh, Mas. Mau gue
kenalin gak?”
“Nggak ah..” Jawabnya, sambil
melanjutkan aktifitasnya.
“Kenapa?” Tanya Fanny penasaran.
“FANNY..... Ada Fadli di bawah, Nak..”
Teriak Mamanya dari lantai satu.
“Ish.. ngapain sih malem-malem
kesini?” Gerutu Fanny.
“Kenapa? Dia kan cowok lo?”
“Malesin tau. Gue ke bawah dulu, ya?”
Fanny beranjak pergi.
***
Di kantor tempat Aldi PKL. Aldi mulai
melihat kenyataan antara teori yang selama ini di pelajari di kampusnya, dengan
kegiatan yang ia lakukan hari ini. Tak jauh berbeda memang, sehingga Aldi yang
memang pandai, mudah menyesuaikan diri dan banyak membantu menyelesaikan tugas
dengan baik.
“Permisi..” Sapa seorang wanita cantik
berkemeja abu-abu dan di tunjang dengan sepatu wedges merah. Aldi pun menoleh
ke arahnya.
“Iya, ada apa ya?”
“Kamu anak PKL ya? Bisa minta tolong
gak?”
“Oh.. bisa.. bisa.. ada apa ya, Bu?”
Jawab Aldi terpana.
“Ini.. tolong lengkapin persyaratan
perekrutan karyawan baru ya.. Kamu ke ruangan Pak Bahri untuk membantunya. Saya
ada meeting 5 menit lagi. Tolong ya.. bisa kan?” Pintanya.
“Oh.. Bisa, Bu..”
“Makasih ya.. AL-DI-AN..” Katanya
mengeja nama Aldian di name tagnya.
“Iya, Bu MI-RAN-TI.. woow..” Kata Aldi
tersenyum sambil membaca nama wanita cantik di name tag, tepat di dada kirinya.
“Saya permisi ya..” Ibu Miranti pergi
meninggalkan Aldian.
“Iya, Bu.. Waw.. Cantik.. Dadanya
juga.. Haha..”
***
“APA? LO SUKA SAMA KARYAWANNYA PAPA??”
Kata Fanny terkejut.
“Ssst... Ssst... Berisik banget sih
lo!” Aldi membekap mulut Fanny. Lalu melepaskannya.
“Lo gila?”
“Ya emangnya kenapa? Dia cantik. Dan
yang pastinya...”
“Dadanya.. Sst.. sst.. udah.. udah..
Gue gak mau dengar! Omes banget sih lo, Mas.. Emang lo gak bisa nilai orang
dari yang lain, apa? Kenapa harus dari..... ehm...” Fanny menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Ya emang kenapa? Gue suka. Wajar dong,
gue cowok.” Katanya sambil merebahkan tangannya di bahu Fanny.
“Pokoknya gue gak suka ya, kalo lo
naksir sama karyawan Papa yang sok seksi itu.. cari yang lain lah, Mas..”
“Siapa? Lo?”
“Hah?” Fanny terperanjat kaget.
“Nggak mungkin, kan?”
Fanny menghela napas.
***
Aldian menuruni anak tangga lalu menghampiri meja
makan untuk makan malam bersama keluarga Fanny.
“Malam Oom.. Tante..” Sapanya.
“Tumben lo nyapa?” Sahut Fanny.
“Yah... emangnya gak boleh nyapa? Oh iya Oom, ada
pegawai minta saya lengkapi data karyawan yang baru. Terus katanya kalau udah
selesai, suruh di taro di meja kerjanya. Tapi saya gak tau meja kerjanya, Oom.
Gimana ya?” Tanya Aldi sambil menyendok nasi.
“Ehm.. memang siapa yang minta tolong?” Jawab Oom
Indra.
“Bu Miranti..”
“Ehg.. Kamu
letakkan saja di meja kerja saya. Karena semua langsung saya lihat.”
“Oh gitu..”
“Kenapa lo, Mas? Kesempatan mau ketemu Bu Miranti
lagi, ya? Gak usah genit gitu deh, dia gak bakal suka sama lo!” Sindir Fanny.
“Uhuk.. uhuk..” Oom Indra tersedak.
“Minum dulu, Pa.. Papa sih makannya buru-buru.”
Lidya memberikan segelas air.
“Kenapa, Oom?” Tanya Aldi mendelik.
“Fanny. Kamu ini ada-ada aja.. Sudah
lanjutkan lagi makannya.” Tambah Lidya.
“Dia kan naksir sama Bu Miranti, Ma..
Katanya Mas Aldi sih, Bu Miranti itu.. AWWW....” Fanny menjerit kesakitan. Kaki
kirinya sengaja oleh Aldian.
“Kenapa, Fan?” Tanya Aldian sambil
melototkan matanya. Fanny memanyunkan bibirnya yang manis.
***
“Kenapa sih Mas harus Ibu-ibu?”
“Ibu-ibu apa? Dia masih muda. Eh.. lo
yang bilang gue harus punya cewek. Ya dia pilihan gue.” Jawabnya santai. Aldi
duduk di tepi ranjangnya.
“Pokoknya, besok lo liat aja. Gue
pasti bisa menaklukan Ibu Miranti yang cantik.. haha.” Ujar Aldi yakin.
Fanny menoleh. Ia tak percaya kakak
sepupunya masih bersikeras mempertahankan pendiriannya. Fanny menghampiri Aldi.
“Mas, tapi lo bisa cari yang seumuran
sama.... Awww...” Fanny menubruk Aldi. Fanny menatap Aldi. Tubuh Aldi tertindih
Fanny.
“Oke.. gue mau cari yang seumuran.
Tapi sama lo..” Aldi mengerlingkan matanya.
“Ma..Maksudnya?” Fanny terbata-bata.
“Gue suka sama lo. Bahkan dari dulu.
Waktu kecil, kita sering kan tiban-tibanan kayak gini? Saat beranjak SMA, dan
kita udah gak boleh tidur bareng, gue sadar.. Ternyata, gue suka sama lo.”
“Mas.. lo becanda, kan?”
“Nggak.. Dan gue yakin, lo juga suka
sama gue?”
“Tau darimana?”
“Buktinya, lo gak mau bangun dari
tubuh gue?”
“Ehm?” Fanny tersadar, Ia segera
bangkit dari tubuhnya Aldi, dan Fanny terlihat salah tingkah.
“Jadi?”
“Ehm...” Fanny menggeleng-gelengkan
kepalanya, sambil menutup wajahnya lalu pergi keluar dari kamar Aldi. Aldi
tertawa bahagia.
***
Keesokan harinya. Selesai mengantar
Fanny ke kampusnya, Aldi melaju ke kantor tempatnya melaksanakan tugas Praktek.
Di lihatnya dari jauh, 5 detik lagi lampu hijau akan berakhir, ia segera
melajukan motornya dengan cepat.
“Ah sial..” Katanya kesal karena lampu
hijau telah berubah menjadi merah.
Para pengendara lain pun ikut menunggu
berakhirnya lampu merah agar bisa melanjutkan perjalanan mereka. Tak sabar
menunggu, Aldi melihat-lihat sekitar. Seketika ia menajamkan penglihatannya, ia
cukup terkejut melihat Oom Indra satu mobil dengan sosok yang ia kenal. Bu
Miranti. Ya. Ia yakin, wanita cantik yang mengenakan blus oranye itu pasti Ibu
Miranti, pegawai yang seksi nan cantik satu mobil dengan Oom Indra. Astaga.
Lampu merah berubah kembali menjadi
kuning lalu hijau. Mobil Indra segera melaju. Aldi pun mengikutinya dibelakang.
***
“Kita teruskan minggu depan.” Dosen
mengakhiri materi kuliah. Semua mahasiswa pun berhamburan keluar kelas.
“Fan.. kita jadi nonton kan?” Tanya
Fadli.
“Ehm.. Jadi.. ayo..”
***
“Permisi..” Aldi memasuki ruang kerja
Indra. Tak ia temukan sosok Oomnya
disana. Ia pun segera meletakkan berkas-berkas di atas meja kerja Indra.
“Pantes, kemarin gue bahas Bu Miranti
dia langsung keselek. Dasar bandot!” Aldi mengintip Indra sedang berbincang
dengan Miranti.
“Iya. Tapi saya gak mungkin nikahin
kamu. Kamu tahu, aku punya anak yang sudah dewasa. Bagaimana perasaannya nanti,
kalau Papa yang dia sayang, menikah lagi. Lagi pula, bagaimana dengan istriku?”
“Mas.. Kamu tuh harusnya berpikir,
bagaimana nasib aku selanjutnya. Apa aku harus jadi selingkuhanmu sepanjang
hidupku? Aku juga ingin bahagia, Mas..”
Aldi benar-benar membulatkan matanya
mendengar percakapan Indra dengan perempuan yang lagi-lagi ia tebak pasti
Miranti. Ia tak menyangka, Oom yang menjadi panutannya, tega mengkhianati Tanta
Lidya dan Fanny. Aldi pun segera keluar dari ruangan Indra.
***
“Kita mau nonton apa?” Tanya Fadli.
“Terserah kamu deh..” Fanny sibuk
dengan handphonenya. Ia menunggu balasan pesan dari Aldian untuk mengingatkan
bahwa Aldian tidak boleh berbuat yang macam-macam pada pegawai Papanya.
“Mas Aldian kok gak bales, sih?”
Keluhnya dalam hati.
“Fan.. Ayo..”
Fanny mengangguk. Fadli dan Fannya pun
masuk ke teater 3 dan menuju kursi di tengah.
***
“Aduh....” Miranti tiba-tiba
tersandung, Aldi yang berada di dekatnya segera menopang tubuh Miranti.
“Ibu gak apa-apa?”
“Nggak.. Makasih ya..” Miranti duduk
di kursi kantin.
“Ibu kenapa? Kok.. wajahnya sedih?”
Aldi mengikuti Miranti.
“Nggak.. Mungkin saya lagi kecapekan
aja.”
“Oh.. Mau saya pijitin?”
“Boleh.. Emang kamu bisa mijit?”
“Bisa..”
Aldi bersiap-siap mengambil posisi
untuk memijit Miranti. Miranti sendiri sibuk dengan handphonenya. Aldi
mengangkat ibu jari ke arah temannya agar bersiap memotret dirinya.
“Ibuuuu...” Mulut Aldi sedikit di
monyongkan, terlihat seperti mencium Miranti.
“Kenapa Di..” Miranti menoleh ke arah
Aldi.
“Ckrek!” Foto pun terjepret.
***
“Filmnya kocak ya, Fan. Aku suka waktu
cowoknya beraksi, eh.. ternyata mau nyium ceweknya.”
“Ehm.. Iya..” Jawab Fanny sekenanya.
“Fan... Kita udah pacaran berapa
tahun, sih?”
“Kenapa emang?” Fanny masih fokus
dengan handphonenya.
“Kamu tahu aku sayang banget sama
kamu, Fan.. Dua tahun itu bukan waktu yang singkat mempertahankan hubungan.
Setelah kita wisuda, dan bekerja. Aku janji, aku akan melamar kamu, Fan..”
Fanny menoleh ke arah Fadli.
“Kamu mau kan, Fan?” Tanya Fadli
memastikan.
Perlahan tapi pasti, Fadli mendekatkan
dirinya ke arah Fanny. Fanny terpaku melihat apa yang akan di lakukan Fadli di
hadapannya. Di kecupnya bibir Fanny sekejap.
“Aku sayang banget sama kamu, Fanny..”
Fanny menunduk salah tingkah. Baginya
ini adalah pertama kalinya ia di cium oleh seorang laki-laki. Fadli membuat
perasaannya berkecamuk. Antara percaya atau tidak. Perasaannya memang gembira,
namun dirinya gelisah.
Suara ringtone pesan di handphonenya
Fanny seketika mencairkan suasana yang mulai tegang saat itu. Fanny segera
membacanya.
From: Mas Aldi
Kalo lo liat, pasti lo kaget....
“Apaan sih.. nih orang.”
MMS pun masuk. Betapa terkejutnya
Fanny, mendapati Aldi mencium seorang wanita. Mulutnya ternganga tak percaya.
“Siapa, Fan?” Tanya Fadli.
“Pulang.. Pulang.. Dli..”
“Kamu kenapa sih?”
“Ayo cepat pulang...”
Fadli pun segera melajukan mobilnya.
***
“MAS... MAS ALDI” Fanny berteriak.
“Ada apa sih, Fanny? Kamu kok
teriak-teriak gitu?” Tanya Lidya.
“Mama.. Mas Aldi mana?”
“Belum pulang, Fan.. Kenapa sih?”
“Ah...” Fanny pergi.
“FANNY.. Kamu mau kemana lagi?” Tanya
Mamanya.
Fanny mengeluarkan handphonenya dan
segera menghubungi Aldi.
“Halo.. lo dimana, Mas?”
“Kenapa sih? Marah-marah gitu?”
Jawabnya santai.
“Dimana cepetan!”
“Gue di pasar malam. Yang di Jalan
Kenari. Kenapa emang?”
“Tut.. tut.. tut..” Sambungan telepon
terputus.
***
“FANNY....!” Teriak Aldi, saat melihat
adik sepupunya baru datang. Yang di panggil pun menoleh. Fanny segera
menghampiri Aldi di depan wahana kincir.
“MAS... LO NGAPAIN SIH PAKE...”
Ucapannya terpotong. Aldi segera menariknya ke dalam kincir.
“OKE BANG, PUTER!!” Teriak Aldi.
“Mas.. Ngapain naik ginian sih?”
“Daripada gue naik sendirian, atau..
gue di temenin Bu Miranti?” Ledek Aldi.
“Ih.. Gue gak tau deh harus ngomong
apa sama lo! Kok lo suka sih sama dia? Dia kan... Janda..” Fanny menunduk.
“Emang kenapa? Lo yang bilang, kalo
gue harus punya cewek.”
“Tapi gak dia juga!”
“Makanya lo harus jadi pacar gue!”
Fanny tertunduk malu. Sebenarnya
perasaannya mulai hadir semenjak Aldi datang ke rumahnya, bahkan jauh sebelum
itu. Dua tahun sebelum Ibunya meninggal, Fanny dan keluarganya sering menjenguk
Ibunya Aldi yang sakit. Beberapa kali, Fanny melirik ke arah Aldi. Namun, Aldi
terlihat cuek, bahkan tak mempedulikan dirinya.
Kincir pun mulai di putar. Aldi
berdiri saat kincir di putar.
“Lo ngapain sih? Gak seimbang ini.
Ntar kalo jatuh, gue syukurin lho!” Ujar Fanny kesal.
“Coba deh. Enak lo..” Aldi duduk, dan
mencoba membantu Fanny mengikutinya.
“Jatuh gak nih?”
“Nggak!”
Fanny berusaha berdiri mengikuti Aldi.
Fanny merasakan sesuatu yang berbeda, mencoba menyeimbangkan diri di kabin
kincir, dan di putar.
“GREEEK...!” Kincir terhenti. Fanny
dan Aldi terjebak di paling atas. Fanny jatuh terduduk di pangkuan Aldi. Aldi
memandangi Fanny sangat dalam, begitu pun Fanny. Matanya yang berbinar, seolah
mengharapkan lebih dari sekedar tatapan Aldi.
Perlahan tapi pasti Aldi mendaratkan
bibirnya tepat di bibir Fanny. Aldi memainkan sebentar bibir Fanny sebelum
akhirnya ia melepaskan ciumannya.
“Fan... Gue suka sama lo. Perasaan gue
bukan sekedar sepupu, gue ingin lebih dari itu.”
Fanny tak bisa menjawab pertanyaannya.
Di perasaannya kini hanya ada Aldi. Tapi ia sadar Aldi adalah anak dari
Budhenya. Dan tidak akan pernah berubah.
“Gak bisa, Mas. Gue itu sepupu lo.
Sampai kapanpun kenyataan itu gak bisa di ubah.”
“Banyak yang sepupuan, tapi pacaran
bahkan menikah, Fan. Kenapa harus takut?”
“Kalau lo nekat, kita di hujam sama
semua orang, Mas. Sama orangtua gue, bokap lo, dan seluruh keluarga yang lain.
Kita bisa di pecat dari keluarga.”
“Gue gak peduli. Bertahun-tahun gue
tahan perasaan ini, sampai akhirnya gue memutuskan untuk jujur sama lo. Dan
sekarang lo nolak gue, rasanya sakit, Fan!”
“Lebih sakit mana, kalau kita putus
karena gak di restuin keluarga? Lo itu anak dari kakaknya nyokap gue, Mas! Lo
harus sadarin hal itu!”
“Percuma gue datang jauh-jauh PKL
kesini. Lo gak punya rasa buat gue.” Aldi menunduk.
Fanny bingung menghadapi dirinya saat
ini. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Fanny memberanikan dirinya
merangkul pundak Aldi dan mencium bibir Aldi.
***
Semenjak kejadian tadi malam, Aldi dan
Fanny tidak bertegur sapa. Keduanya tampak malu dan enggan berkomentar.
“Oom.. Saya.. Ingin mengakhiri PKL
disini, Oom.”
Pernyataan Aldi yang tiba-tiba,
membuat semua orang menatap penuh tanya.
“Kenapa, Aldi?” Tanya Indra.
“Saya... Naksir sama pegawai Oom,
namanya Bu Miranti. Dia selalu bikin saya jantungan, Oom. Saya gak kuat di
tatap sama Bu Miranti.”
“APA??” Tanya Indra terkejut. “Apa
maksud kamu?”
“Saya mencoba mendekati Bu Miranti,
tapi dia menolak saya, Oom. Padahal, awalnya saya pikir Bu Miranti suka sama
saya. Ternyata dia suka sama orang lain.”
“Bu Miranti itu siapa, Di?” Tanya
Lidya.
“Sekretarisnya Oom Indra, Tante..”
“Sekretarisnya? Sejak kapan Papa punya
sekretaris perempuan, Pa?”
“Ehg.. Baru-baru ini..” Jawab Oom
Indra.
“Oom.. Bisa bantu saya gak, untuk
mendapatkan Bu Miranti? Saya pusing Oom deketin Bu Miranti, susah Oom..”
“Memang usianya berapa tahun, Di?”
Tanya Lidya.
“NGGAK!” Indra menggebrak meja makan.
“Kamu gak boleh mendekati Miranti. Miranti itu sudah berusia 28 tahun. Mau jadi
apa kamu mendekatinya?”
“Oom.. Dalam hukum maupun agama, kan
gak ada yang melarang kita mencintai orang yag lebih tua, Oom? Menurut saya
sah-sah saja.”
“TIDAK!” Bentak Indra.
“Kenapa, Oom? Alasannya apa?”
“Dia sudah mempunyai anak! Bagaimana
bisa kamu membesarkannya? Sedangkan kamu saja belum lulus kuliah!”
“Pa.. Menurut Mama, gak ada salahnya.
Lagi pula Aldi kan hanya minta di dekati, kenapa Papa yang marah-marah?”
“Tidak! Sampai kapanpun, Miranti tidak
boleh di nikahi siapapun!”
“Kenapa, Oom? Apa Oom yang mau
menikahi Ibu Miranti?”
Semua orang di meja makan menoleh ke
arah Aldi.
“Maksud lo apa, Mas?” Tanya Fanny
terkejut.
“Nggak.. gue cuma ngira aja. Abis Oom
posesif banget sih. Masa gue mau deketin Bu Mira gak boleh..” Katanya sambil
meneguk minumnya.
“Sudah Di.. Jangan memperkeruh suasana
saat makan. Ayo lanjutkan makan! Sudah Pa.. Jangan emosi.” Ujar Lidya.
***
“Fan.. Helmnya..”
Fanny membuka helmnya, lalu memberikan
kepada Aldi.
“Mas, gue......”
“Kriing.. kring..” Ponsel Aldi
berdering.
“Halo.. Bu Miranti..”
Fanny menghela napas. Mungkin tadi
malam hanya bualan Aldi semata. Aldi lebih memilih Ibu Miranti yang seksi di
banding dirinya. Fanny segera berlari meninggalkan Aldi.
“Iya Bu, sama-sama. Ya.. saya pikir
memang itulah cara yang terbaik. Daripada Ibu hanya menunggu yang belum pasti.
Kapan Ibu take-off? Oh.. gitu. Oke..” Aldi mengakhiri teleponnya. Dia tersenyum
lega.
***
“Aku harus menikahi Miranti. Apapun
tanggapan Lidya dan Fanny, aku tidak peduli. Miranti harus menjadi istri
keduaku sebelum orang lain melamarnya! Termasuk Aldi!” Indra menuju ruangannya,
mencari Miranti.
***
“Fan..” Aldi mendekati Fanny saat
Fanny di dapur.
“Nggak, Mas.. Nggak! Lo pikir gue
cewek apaan? Lo udah tau gue sepupu lo, lo malah bilang suka sama gue, terus
kalau nanti kita pacaran, gak di restuin, lo ninggalin gue seenak jidat lo.
Belum pacaran aja, lo bimbang, mau milih gue atau Bu Miranti yang seksinya
ngalahin artis-artis baru. Mau lo apa, sih?”
“FANNY...” Teriak temannya dari ruang
tamu.
“Gue eneg ngeliat lo!” Fanny menyikut
Aldi lalu pergi menemui temannya.
“Gue kan mau jelasin. Gue mau balik ke
Yogya. Kenapa dia marah-marah?”
***
“Miranti mana? Apa dia belum datang,
hari ini?” Tanya Indra pada karyawannya.
“Nggak tau, Pak.. Biasanya, pagi-pagi
sudah datang.”
“Pak.. Pak.. Bu Miranti, nitip ini ke
saya.” Pegawai lain menyodorkan surat.
“APA? RESIGN? NGGAK BISA!” Indra
meninggalkan karyawannya yang keheranan.
***
“Aduh.. Fanny.. Fanny.. Kenapa sih gue
jadi sepupu lo? Kenapa lo harus jadi anaknya Tante Lidya? Dan kenapa Tante
Lidya harus jadi adik Nyokap gue? Aaah.....” Aldi menggaruk kepalanya.“Ini
semua gara-gara Nenek sama Kakek gue nih. Kenapa harus lahirin Nyokap gue
sebagai Kakaknya Tante Lidya? Berat banget gue ninggalin Fanny disini.”
--Ponsel Aldi berdering--
From:
Fanny
Jemput
gue kalau emang kita mau jadian. SEKARANG!!!!!!
“Hah?
Fanny ngajakin jadian? Serius nih? Harus cepet-cepet nih. Suratnya? Ck! Bodo
ah.. Gak jadi ke Yogya deh..” Aldi meninggalkan surat yang ia tulis untuk Fanny
di mejanya.
***
“CIIIIT..... BRUUUUUUUKKK! BRUUUK! BRUUUK...!”
Tabrakan beruntun itu tak dapat menghentikan
siapapun. Lima mobil dan dua belas motor pun hancur seketika, Fanny meratapi
kemalangannya hari ini. Dua orang yang ia sayang kembali kepada Tuhan, Sang
Pencipta. Fanny menyesali semuanya. Beribu tetes air matanya tak dapat mengembalikan
sosok yang pernah ia cintai, kembali ke dunia ini. Fanny hanya bisa melihat
Mamanya tergolek lemas tak berdaya menyaksikan orang yang telah menjadi
suaminya ikut meninggal dalam kejadiaan naas tersebut. Fanny dan Mamanya
benar-benar harus mengikhlaskan Aldi dan Papanya.
***
“Non.. Bibi temukan ini di kamarnya
Mas Aldi..” Bibi menyodorkan surat kepada Fanny. Fanny segera membuka dan
membacanya.
Buat: Fanny. Adik Sepupuku tersayang..
Dari: Mas-Mu yang paling guanteng sejagad raya.
Fanny.. Gue tau hubungan kita gak
layak di persatukan. Hubungan kita bakal jadi dosa yang mungkin gak di ampunin
sama Tuhan. Gue emang suka, bahkan gue cinta sama lo. Tapi setelah gue
pikir-pikir, gue lebih suka sama Bu Miranti. Bukan dari seksinya kok. Tapi dari
hatinya. Gue berniat pulang ke Yogya dan nyari tempat PKL lagi disana. Gue dan
Bu Miranti memutuskan untuk menjalin hubungan.
Fan.. Gue tau, gue bodoh banget.
Tapi gue akan lebih bodoh lagi kalau membiarkan bokap lo jadiin Bu Miranti
istri yang kedua. Bokap lo berniat melamar Bu Miranti. Tapi.. Gue cegah dengan
rayuan maut gue. Eh.. malah gue yang kepincut Miranti. Sekarang, keluarga lo
bisa damai, Fan. Gak akan ada gangguan lagi. Gue gak mau hubungan keluarga lo
rusak kayak keluarga gue. Lo tau kan, nyokap gue mulai sakit-sakitan waktu tau
bokap gue selingkuh. Gue gak mau hal itu ke ulang lagi sama keluarga lo. Sampai
gue mati pun, gue tetep suka sama lo, Fan. Jaga diri baik-baik ya, Fan. Dah..
Salam buat Fadli. Semoga lo langgeng sama dia. Bye..
Aldi.
Fanny menangis sejadi-jadinya. Tetes
demi tetes air matanya jatuh membasahi pipinya. Tak pernah ia bayangkan akan
begini jadinya. Ia semakin terpuruk di sisi makam Aldi dan Papanya.
TAMAT
by: Fzhuzie@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar