Jumat, 27 September 2013

CERPEN ~ KU IKHLASKAN DIA UNTUKMU


“Masa sih? Lo kali yang ganjen?” tanyaku.
“Enak aja, gue sih baik-baik”. Sahut temanku.
“Ehm, yaudah deh.. haha’’. Kataku sambil tertawa yang lain pun menjadi ikut tertawa.
“ya Allah.......” kataku membuat dua orang temanku terkejut.
“Kenapa tan?” tanya temanku.
“PR gue win, PR MTK gue ketinggalan...” kataku sambil mengobrak-abrik isi tas.
“Emang lo taro mana tan?’’ tanya temanku yang lain. 
‘’Kayaknya ketinggalan di meja belajar gue ren, masa gue pulang? Yang ada terlambat.. aduhh!” jawabku.
“Yaah, terus gimana dong Tan?’’tanya Rendy.
“Udah Ren, lo jangan bikin tania panik. Tan, lo liat PR gue aja yuk!’’ ajak Winda.
“Beneran ngga apa-apa ??’’ tanyaku gelisah.
“Ya ampun, lo kayak sama siapa aja deh. Ayoo cepet keburu bel masuk nanti.’’ Bujuk Winda sambil menarik tanganku. Aku pun mengikutinya ke ruang kelas. Sesampai di depan kelas, seorang guru memanggilku.
‘’Taniaa.. sini’’ panggilnya. Aku segera mencari siapa yang memanggil namaku. Ternyata bu Rifha yang memanggilku. Aku pun segera menghampiri bu rifha.
“ada apa bu?’’ tanyaku.
‘’Tania, kamu gak ngapa-ngapain kan? Bantuin ibu yah, nyusun buku-buku di ruang guru’’. Kata bu Rifha. Aku terdiam sejenak, sambil memikirkan bagaimana tentang PR-MTK ku? “Ehm, sebentar ya bu, sebentar ajaaaa. Aku mau kesitu dulu. Nanti aku bantuin deh”. Jawabku.
            Aku segera menghampiri Winda dan Rendy yang sedari tadi menungguku.
“Aduh, gimana nih?’’ kataku.
“Kenapa sih tan?’’ tanya Winda heran.
“Gue di suruh bantuin bu Rifha nih, gue kan belom ngerjain PR. Gimana ini??” jawabku gelisah.
‘’Ya ampun itu doang?? Yaudah sana, lo bantuin bu Rifha, gue yang kerjain PR lo” sahut Rendy.
“Serius Ren?’’ tanyaku meyakinkan Rendy yang menawarkan bantuan. ‘
’Iya Tan, gue serius. Udah sanah’’ Katanya. Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, seorang cowok dari belakang menabrakku. ‘’aw...’’ Keluhku.
“Hehe, sorry yaa Tan. Guys, gua liat PR MTK dong. Belom ngerjain nih.’’ Pinta Cowok yang menabrak aku.
“Ih, apaan sih lu Dim.. Udah dateng nabrak gue, mau liat PR lagi.’’ Jawabku dengan sewot. ‘’Ya elah Tan. Gak sengaja..” Katanya.
‘’Udah-udah.. kok jadi ribut sih. Tan, lo cepet gih ke bu Rifha. Ntar PR lo di kerjain, dan lo Dimas, cepetan ngerjain PR, tuh liat PR gue.” Kata Winda dengan bijak. Aku pun segera mengikuti perintahnya.
“Ya udah, gue ke bu Rifha dulu ya, Ren, Win..” Kataku berlalu.
***
Di dalam kelas, Dimas mengerjakan PR-nya, dan Rendy mengerjakan PR Tania.
“Ciee, semangat banget ngerjain PR Tania’’. Goda Winda.
“Lo suka ya sama Tania?’’ Tanya Dimas.
“Apaan sih lo pada. Gue kan Cuma bantuin sahabat gua aja.’’ Jawab Rendy sambil mengerjakan PR Tania.
‘’Masa sih?’’ Tanya Winda.
‘’Iya. Dia kan sahabat gua dari SMP, gak mungkin lah, gua suka sama sahabat sendiri..’’ Jawabnya tak mau kalah.
‘’Udah Win, iya-in aja.. paling besok jadian’’ Sahut Dimas.
‘’Rese lo..” Kata Rendy sambil menimpuk buntelan kertas ke Dimas. Winda, Dimas, dan Rendy tertawa.
            Bel tanda masuk telah berbunyi, aku telah menyudahkan membantu Bu Rifha, dan kembali ke kelas.
 ‘’gimana PR gua?’’ Tanyaku penasaran.
‘’Udah nih Tan..’’ Jawab Rendy sambil memberi buku.
‘’thanks ya Ren..’’ Kataku. ‘’Sama-sama Tan..’’ Jawab Rendy.
            Pelajaran pun di mulai. Aku tidak di hukum karena PR ku telah di kerjakan oleh Rendy. Aku merasa senang karena ia membantuku. Rendy adalah sahabatku sejak aku duduk di bangku SMP kelas 2. Dulu, aku adalah murid pindahan dari sekolah lain. Aku senang mengenalnya, dia baik, perhatian dan aku juga sering merasakan sesuatu perasaan selain sahabat yang kini persahabatan kami menginjak kurang lebih 4 tahun. Winda, dia juga sahabatku. Dia bersahabat denganku sejak aku duduk di SMK ini. Dia baik, cantik , dan ramah. Dan Dimas... Dimas juga sahabat ku. Yaa, walaupun dia tengil, rese dan nyebelin, tapi dia seorang sahabat yang humoris dan setia. Aku senang bersahabat dengan ketiga sahabat ku itu..
            Sepulang sekolah Rendy, Winda, dan Dimas menungguku di depan taman. Aku yang sekretaris di kelasku harus mengantarkan absen kelas rutin setiap pulang sekolah. Setelah mengantarkan absen, aku cepat-cepat menemui sahabat-sahabatku yang rela menungguku.
‘’Lama yaah? Maaf banget ya..” Ucapku.
‘’ngga kok Tan, segini mah ngga lama.’’ Sahut Rendy.
‘’Ah lu mah Ren, seabad menunggu Tania juga mau.” Sela Dimas membuat wajah Rendy merah, aku pun demikian.
“ehm, guys. Anterin gua yuk beli tabel trigonometri buat pelajaran MTK.’’ Tambah Dimas.
“ya, sorry banget Dim, gue harus nganter nyokap ke salon.” Jawab Winda.
“ah, payah lu Win. Ga asik..” kata Dimas dengan wajah cemberut.
“Lo bisa kan Ren temenin gua?” Tanya Dimas sambil memukul bahu Rendy.
“ah, gak ngomong dari awal sih lo. Gua mau betulin motor sama abang gue di bengkel.” Jawab Rendy nyeleneh.
“Tan, lo tadi mau beli buku keperawatan juga kan?’’ Tanya Winda mengagetkanku yang sedari tadi aku hanya main hp tanpa mendengarkan mereka.
“ehhmm, apa Win?” Tanyaku.
“ah elah, si Tania dari tadi main hp mulu. Gak jauh-jauh deh, pasti twitteran.” Kata Dimas. “Ih, Dimas ih.. apaan deh Win, hehe” Kataku nyengir.
“Gini sayang, tadi kan kata lo, lo mau beli buku keperawatan kan? Nah, si Dimas mau beli buku juga, gua sama Rendy pada ga bisa nganterin kalian. Jadi, kalian berdua aja yang beli buku.” Jelas Winda menjelaskan panjang lebar.
“apaah? Sama Dimas?” Aku langsung memanyunkan bibir dengan niat membuat Dimas marah.
“ya elah lu Tan, belagu banget.” Jawab Dimas.
“iya gue mau. Ya udah yuk, keburu sore..” Jawabku. Kami berpisah. Aku dengan Dimas, dan Winda dengan Rendy.
***
            Aku dan Dimas pergi ke toko buku dengan menggunakan sepeda motor. Aku di bonceng Dimas, karena hari itu aku tidak membawa kendaraan ke sekolah. Di sepanjang jalan aku tak banyak omong. Aku hanya diam memikirkan kenapa tadi wajah Rendy merah merona, apa yang sebenarnya ia rasakan. Apa hal ia rasakan sama padaku? Kataku dalam hati. “Mengapa bukan Rendy yang memboncengku dan menemaniku sekarang, kenapa harus Dimas??” Keluhku.
            “Tan, ngobrol kek. Apa kek.. diem aja lu.” Kata Dimas memecah lamunanku.
“Ih, lu mah. Mengganggu deh. Udah nyetir aja yang bener.” Jawabku.
“Ah, gak asik lu. Lagi ngapain sih? Twitteran ya? Kebiasaan.” Katanya.
“Ngga.. gua lagi diem aja.” Jawabku.
 “Nyerah deh gue..” Katanya. Aku hanya tertawa tanpa membalas perkataannya. Aku pun melanjutkan aktifitas bengongku..
            Setelah sampai di Toko Buku, kami segera mencari buku yang di tuju. Aku mencari buku bagian kedokteran, dan Dimas ke buku bagian Buku pelajaran. Ketika aku sedang mencari, Dimas menghampiriku. “udahan?” Tanya Dimas. “eehm , udah. Lo udah dapet?” Tanyaku. “udah, pulang yuk. Makan dulu atau langsung pulang?” Tanya Dimas.  “Terserah lu aja deh.” Jawabku. “Tumben nurut?” Tanya Dimas mengenyiritkan dahi. “Iya lah, kalo gua gak nurut, ntar gua pulang gimana?’’ kataku dalam hati. Aku dan Dimas pun segera ke kasir untuk membayar buku, lalu segera pergi mencari makanan. Setelah sampai di tempat makanan. Kami segera memesan makanan. “mau makan apa?’’ tanya Dimas. “ Baso.. hehe..” Jawabku. “kebiasaan....” Sahutnya. Setelah memesan, kami menunggu pesenan kami sambil ngobrol.
            “Tan, kenapa lu diem aja dari tadi?” Tanyanya memulai pembicaraan. “Gak apa-apa, nyesel aja, kenapa Rendy sama Winda gak ikut?” Jawabku. “yaa mereka kan ada keperluan. Lagian emang kenapa sih, kita berdua? Ehm , gua tau. Lu naksir Rendy ya??” Tanyanya membuatku terkejut dan diam sesaat. “ gak apa-apa.. Sepi kalo Cuma berdua doang. Gak rame.” Jawabku. “Mau rame? Bakar nih Restorant.” Katanya membuatku dan dia tertawa. Setelah makanan datang, kami makan di selingi lawakan-lawakan khas dari Dimas dan saling lempar hinaan demi hinaan satu sama lain. Aku pun berpikir, ternyata selama ini Dimas tidak seperti yang kupikirkan selama ini. Ehmm.. aku mulai nyaman. He..he.. Setelah makan, kami bergegas pulang, dan Dimas mengantarku sampai rumah. Aku cukup nyaman dengannya, dengan khas banyolan-banyolannya. Sampai di rumah pun, aku masih suka tertawa sendiri mengingat hang-out ku dengannya.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Rendy menjemputku di rumah. Aku kaget, karena tak biasanya ia menjemputku. Aku dan Rendy pamitan ke sekolah dengan kedua orangtuaku lalu pergi ke sekolah. “Tan, ntar pulang, lu ada acara gak?” Tanyanya. “ah ngga, kenapa emangnya?” Jawabku. “ntar jalan ya, gue mau ngomong sesuatu sama lu.” Katanya. Di sepanjang jalan, aku hanya tersenyum-senyum sendiri keheranan mengapa tumben-tumbennya ia menjemputku dan pulang sekolah nanti ia mengajakku jalan..
Sesampai di sekolah, aku di sambut dengan heboh oleh Winda dan Dimas.. “cieeeeee......” Kata mereka serempak. “apaan sih.” Jawabku agak risih. “ya elah, gak usah malu-malu lagi kali.” Sahut Dimas. Aku pun hanya tersenyum, begitu pun dengan Rendy.
***
Hari itu bagai ada ledakan bom di dadaku. Hari yang paling menyenangkan bisa jalan dengan Rendy. Setelah sampai di restorant yang di tuju, ia mulai membuka suaranya. “ehhmmm, Tan.. gue mau ngomong sesuatu deh sama lu.” Katanya, membuat aku merinding keringat dingin saat itu. Perasaan senang, gugup dan percaya diri bahwa Rendy akan menyatakan perasaannya padaku. “ngomong aja kali Ren..” Jawabku. “eegh, gini.. sebenernya, gua lagi jatuh cinta sama cewek.” Katanya memulai jujur. Seketika membuat bulu kudukku merinding deg-degan. “trus??” kataku penasaran. “Gue suka sama cewek, dia deket banget sama gue, gua mau nembak dia.” Katanya. “oh, mau nembak. Ya udah lu tembak aja, lagi juga gue tau kok siapa orangnya.” Kataku dengan PD. “haah? Serius lu tau Tan?” Tanyanya, penasaran. “tau lah, orang yang mau lu tembak itu gue kan??” Kataku dalam hati. “iya tau” Kataku. “Ya ampun Tan, lu emang sahabat gue banget. Lu udah tau kalo gue mau nembak fitri?? Ya ampun gua seneng kalo lu udah tau Tan..” Katanya.
“Duaaaaaaaaar.......” Bagai tersambar petir di siang hari. Hatiku terasa hancur mendengar perkataannya. Sakit perih kini ada di hatiku. Orang yang ku kira selama ini mempunyai perasaan yang sama terhadapku ternyata tidak sama sekali.. Rasa benci, sebal dan ingin meninggalkan tempat itu , ingin ku lakukan sekarang. Entah kemana lamunanku kini. Hanya tatapan kosong yang terlihat. ‘’Tan...” Tanyanya, memecah lamunanku. “ehg.. apa??” Tanyaku. “kok diem sih? Jawab dong. Lo setuju gak gue nembak fitri??” Tanyanya. “iya iya, setuju kok.” Kataku lemas. “kok lu tau sih, kalo gue naksir fitri?” Tanyanya. “hehe, ada deeh” Kataku. Tiba-tiba, hp-ku berdering tanda pesan masuk. Ternyata dari Dimas yang menanyakan tentang PR. Moment ini tidak aku sia-siakan, aku pakai alasan sms ini, bahwa dari mama dan aku harus segera pulang ke rumah. “Ren , gue mau pulang. Nyokap, nyuruh gue nganterin dia.” Kataku berbohong. “Ya.. kok pulang sih. Fitri mau dateng, makanya lo, gue ajak kesini supaya lo liat gua jadian sama dia.” Katanya. Begitu sakit batinku saat itu, aku harus menyaksikan cowok yang aku sayangi, menyatakan perasaannya kepada orang lain. Yang di saksikan olehku. “enggak, gue mau pulang.. nyokap udah nyuruh pulang.” Kataku keras. “yaa, yaudah deh, tapi lo gak apa-apa pulang sendiri? Tanyanya. “iya, gue pulang sendiri gak apa-apa kok.” Jawabku. “ya udah, hati-hati yaa Tan..” Katanya.
Aku segera lari dari tempat itu, dan mencari taksi. Setelah dapat taksi. Aku segera duduk sambil menangis. Mengingat kejadian barusan dengan rasa sakit dalam hatiku, sungguh.. mengapa ia begitu jahat padaku? Mengapa ia harus mengajakku ke restoran hanya untuk menyaksikan hari jadian mereka hari ini. Aku menangis lagi.. aku tak peduli dengan apa yang terjadi di jalan raya, atau apapun. Hanya rasa sesak yang tak ada hentinya di hatiku. RENDY JAHAAAAAT !!!! kataku dalam hati..
Sesampai di rumah, aku lari ke kamar dengan menggebrak pintu kamar dengan cukup keras. Untung saja, di rumah hanya ada bibi. Sedangkan mama, papa, dan kakak-ku pergi mengunjungi rumah nenek. Aku langsung menjatuhkan tubuh dengan keras di kasurku itu. Rasa sakit, sesak, dan kebencian bercampur rata di hatiku. Tak ada sedikit pun untuk berhenti dari tangisku saat itu. Hingga aku tertidur pulas.
Tok..tok..tok.. Ku dengar ketukkan pintu dari luar kamarku. Aku segera duduk masih tetap di atas kasur. “Siapa??” Tanyaku memastikan. “Taniaaa, ini mama. Buka pintunya sayang..” ternyata mama yang ada di luar. Aku segera membuka pintu kamarku. “Kenapa ma?” Tanyaku. Mama pun langsung masuk ke kamar dan duduk di atas ranjangku. “Tadi, kata bi Inah, kamu pulang sekolah nangis trus masuk kamar sambil gebrak pintu. Kenapa kamu sayang?” Tanya mama dengan hati-hati. “gak apa-apa ma.. Cuma cape aja.” Jawabku. “tuh, mata kamu kenapa sembab?” Tanya mama, sambil mengangkat wajahku. “gak apa-apa ma..”Kataku. bukan aku tak mau bercerita pada mama. Aku tidak mau, mama marah pada Rendy sahabat baikku yang 4 tahun telah bersahabat denganku. Aku sengaja menutup-nutupinya. “sayang, kalo kamu ada masalah, ya cerita dong” Kata mama. “iya, ma. Tapi bener deh, masalah kali ini aku bisa selesaiin sendiri. Biarin aku selesaiin sendiri ya ma..” Kataku manja sambil memeluk mama. “oh, ya udah, asal inget. Kalo kamu sudah tidak kuat, kamu harus bercerita, dan sama-sama kita memecahkan masalahnya.” Kata mama menasehati. “okee ma..” Kataku semangat. “ya udah, mandi gih sana. Mama bawa rendang dari nenek tuh..” Kata mama. “okee mah.” Aku pun bergegas mandi.
***
Keesokan harinya, tak ada Rendy yang menjemputku seperti kemarin. Aku di antar kakak cowokku yang ganteng ini. Yaa, hitung-hitung pamer lah punya kakak yang ganteng. Sesampai di sekolah, aku melihat bahwa Rendy datang dengan Fitri. Aku segera memalingkan wajah. Kakakku yang memperhatikanku heran. “Kamu kenapa kok liat Rendy langsung buang muka gitu?” Tanya ka Reza. “ngga apa-apa kok ka. Takut galau aja, hehe.. dah kaa...” Jawabku. Sambil berlalu pergi meninggalkan kakakku yang masih keheranan.
Di sekolah pun aku hanya diam, tak banyak bicara. Di kelas pun demikian. Aku tak tertarik untuk banyak berbicara. Rasa sakit dan kecewa masih kian membekas di hatiku. Aku berprinsip dalam hatiku bahwa aku tak akan berbicara mau pun saling curhat seperti dahulu kepada Rendy. Di satu sisi, aku masih kecewa dan di sisi lain aku takut mengganggu hubungan mereka yang baru jadian itu. Di kelas aku juga menghindar darinya, sampai tempat duduk pun demikian. Di sekolahku memang satu meja untuk dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan, hal itu di tujukan agar kami tak ada rasa berbeda, hanya satu tujuan yaitu belajar menghargai lawan jenis. Aku segera berpindah tempat menjadi duduk dengan Dimas, dan tempat Winda ku tukar duduk dengan Rendy.
Ketika bel masuk, Rendy menyadari kepindahanku itu. “ Tania, kok lu pindah??” Tanyanya. “Ehhm, gak apa-apa mau pindah aja.” Jawabku tanpa memandangnya. “Kok gitu? Balik lagi sini ah..” Kata Rendy memaksa sambil membawa tas ku. “Eh, Ren. Kalo Tania mau duduk sini kenapa emang? Gak suka lo??” Kata Dimas membelaku. “Ren, gue lagi mau disini. Lo sama Winda aja. Sama aja..” Kataku, lagi-lagi tanpa memandangnya. “Terserah deh..” Katanya, lalu kembali ke tempat duduknya. Aku kaget bukan main, Rendy tak biasanya menyerah begitu, biasanya dia terus memaksaku, sambil sedikit merayuku agar mau menurutinya. Tapi, kini dia beda. Hal itu tak di lakukannya lagi. Aku sadar, “dia telah menjadi milik orang lain.” Kataku dalam hati sambil menahan air mata.
Sampai bel istirahat pun, aku menjauh darinya. Tetapi dia tidak menanyakannya, dia segera ke ruang kelas Fitri. Aku memilih menghabiskan waktu istirahatku dengan membaca buku di bawah pohon di Taman sekolah. Ketika aku sedang membaca buku, Winda dan Dimas menghampiriku. “Tan.. gak jajan?” Tanya Winda. “ngga Win, masih kenyang.” Jawabku. Winda duduk di sebelahku. “lu kenapa sih hari ini? Lo diem terus, gak kayak biasanya.” Tanya Winda. “Ngga apa-apa Win.” Jawabku. “Trus kenapa lo pindah tempat?” Tanya Dimas yang berdiri di sebelah kananku. “Ngga apa-apa.. Cuma mau pindah aja duduk sama lo. Kenapa? Lo keberatan yaa?” Tanyaku. “Bukan gitu Tan, heran aja. Oh iya, emang Rendy jadian sama Fitri?” Katanya. “Dimas, apaan sih lo.. malah gosip, temen lagi diem mulu juga..” Kata Winda. Tiba-tiba, seorang siswi memanggil nama Winda. “Windaaaa....” Katanya. Winda pun menoleh ke arahnya, siswi itu menghampiri Winda. “Win, lo di panggil KepSek tuh. Dia minta susunan acara OSIS kemaren.” Jelasnya. “Oh, ya udah yuk. Dim, Tan.. gue tinggal ya.” Katanya. “Iya Win..” Balasku. Winda pun bergegas pergi dengan siswi tadi.
Tinggal lah aku dan Dimas di taman itu. “Tan.. lo kenapa diem kayak gini? Lo gak kayak biasanya.” Katanya hati-hati. “Ngga apa-apa Dimas...” Balasku. “gak mungkin kalo gak apa-apa. Lo diem drastis dari biasanya. Ini bukan Tania yang gue kenal..” Katanya memaksa. Kini ia pun duduk di sebelahku. Ketika aku ingin menjawab, tanpa sengaja aku melihat Rendy dan Fitri sambil bergandeng tangan keluar dari Kantin. Aku memperhatikan mereka sampai mereka tak terlihat. Tanpa sengaja aku menitikkan air mata. Dimas yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik mataku, sepertinya menyadari keberubahanku. “Tania, kenapa lo nangis liat mereka jadian? Lo suka sama Rendy?” Tanyanya. Aku tak menjawab, aku hanya menggeleng sambil mengusap air mataku dengan tissue di sakuku. “Taniaaa.. liat gue..” Katanya, sambil memaksaku menggerakkan wajahku agar menatap wajahnya. Aku menolak. “Tanpa lo kasih tau, gue udah tau kok jawabannya. Lo suka sama Rendy, dan lo kecewa sama dia, karena kemaren lo di ajak jalan Cuma karena buat jadi saksi hari jadian mereka.” Katanya. Aku terkejut, mengapa ia bisa tahu? Aku segera memandangnya penuh tanya. “tuh kan, kaget. Lo pasti heran kan kenapa gue bisa tahu?” Katanya. Aku tetap diam dan kembali menunduk. “Kemaren, gue ikutin lo berdua, sampe restoran. Gue kira dia mau nembak lo, tapi ternyata ngga. Makanya gue sms lo, supaya lo gak ngelamun. Tapi ternyata lo pinter. Lo pake alesan sms gue, kalo itu dari nyokap lo. Trus lo pamit, pulang naik taksi. Gue juga ikutin lo sampe rumah. Gue Cuma mastiin kalo lo bener-bener sampe rumah.” Katanya menjelaskan panjang lebar. Aku benar-benar tak percaya. Dimas mengikutiku kemarin, bahkan sampai rumah. “Kenapa lo ikutin gue sampe rumah?” Tanyaku. “yaaa, gue takut aja, mentang-mentang lagi galau, lo bunuh diri gimana??”Jawabnya. “ya, ngga sebego itu lah gue. Ngapain gue bunuh diri gara-gara dia? Gue ikhlas kok walaupun nyesek.” Aku segera menghentikan ucapanku. Aku tak sadar mengatakan hal itu pada Dimas. “Tuh kan? Lo beneran kan suka sama Rendy?” Katanya. “ngga..” Balasku mengelak. “Tan, kenapa sih lo gak pernah curhat sama gue? Kenapa Tan..? gue juga sahabat lo kan? Gua juga mau dengerin keluh kesah lo. Tapi lo gak pernah curhat ke gue, kayak lo curhat sama Rendy..” Katanya mendengus kesal dengan suara agak keras. “gue, takut lo ketawain curhatan gue. Selama ini gue pikir lo gak bisa di ajak curhat, lo selalu ngeledek gue, seakan gak percaya kata-kata gue.” Kataku bernada keras. “Lo tau kenapa gue suka ngeledek lo? Itu karena gue iri sama Rendy, dia selalu jadi temen curhat lo, padahal gue juga sahabat lo. Lo gak pernah tunjukin kesedihan lo sama gue, lo selalu tersenyum, tertawa walaupun masalah lo segede apapun. Mana kesedihan lo? Gak pernah lo kasih itu ke gue kan? Makanya gue ngeledekin lo, karena gue tahu, lo gak akan marah ataupun sedih..” Jawabnya, membuat aku terbelalak mendengar semua kata-katanya. Aku terdiam sejenak, rasa bersalah padanya kini ada di hatiku. Sebegitu baiknya dia, sebegitu care-nya dia padaku. Aku baru tahu kini..
            “Dimas, maafin gue. Gue gak tau. Bahkan gak bermaksud begitu. Gue lupa kalo gue punya sahabat yang lebih baik dari Rendy kayak lo.. gue minta maaf Dim..” Kataku. Dimas masih menunduk tak menjawab ucapanku. “gue janji, gue bakal bersikap yang sama kayak gue bersikap ke Rendy. Tapi, plis maafin gue.” Kataku sambil menggenggam tangannya. “Ren... jawab!” tak ada sahutan darinya. Ia masih menunduk. “gue sadar gue salah. Plis, maafin gue..” Lagi-lagi tak ada jawaban darinya. Lalu ia mengangkat kepalanya. “Bener? Lo mau bersikap sewajarnya sahabat? Mau curhat ke gue?” Tanyanya. “Iya, janji.” Kataku. “Tan, kita ini sahabat. Susah senang harus sama-sama. Gue nonstop 24 jam dengerin semua curhat lo..” Katanya sambil menatapku. Ya Allah, kemana saja aku selama ini, tak pernah memperhatikan Dimas bahwa ia juga sahabatku. Aku terlalu larut dengan Rendy. Sehingga saat ia menghilang dariku. Aku merasa jauh kehilangan. “Iya Dim, thanks yaah mau jadi sahabat gue. Lo baik banget..” Kataku sambil tersenyum. “Iya, sama-sama..” balasannya.
            ***
            Kini hari-hariku tak pernah ku lalui dengan kesedihan. Hari-hariku telah terisi lagi oleh Dimas yang setia menghiburku. Bahkan ia tak rela jika aku sekedar sapa dengan Rendy. Rendy..... satu nama yang tak pernah lagi ku kenang, tak ada lagi saling curhat seperti dahulu. Ia terlalu sibuk dengan Fitri. Aku menyadarinya bahwa cinta memang buta. Bahkan ia juga menutup segalanya termasuk aku yang ia lupakan.. aku tak perduli lagi kini. Hanya Dimas yang mengerti keadaanku, bahkan lebih dari sikap Rendy dahulu padaku. Aku mulai nyaman di dekatnya, bahkan aku suka senyum-senyum sendiri saat Dimas meluncurkan rayuan mautnya.
Suatu hari, ketika pulang sekolah Rendy menarik tanganku. “Apa-apaan nih Ren?” Tanyaku. “gak apa-apa. Gue kangen banget sama lo. Lo udah berubah sekarang. Sms gue gak pernah lo bales. Gak pernah curhat lagi sama gue. Kenapa??” Tanyanya memaksa. “Ngga apa-apa kok. Gue takut ganggu lo aja. Lo kan udah sibuk sama Fitri. Yaa, gue pikir gue udah gak dianggap.” Balasku. “Gue udah putus sama Fitri, Tan..” Katanya. “kenapa?” tanyaku. “Dia ngeduain gue, dia egois banget. Gue cape sama dia.” Jawabnya. “Oh..” Balasku. “Lo happy banget sekarang..” Tanya Rendy sambil sedikit meledek. “Iya doong, hari-hari gue di isi sama Dimas. Abis, semenjak lo pacaran, emang lo inget gue? Ngga sama sekali.” Jawabku. “Maaf.. gak maksud gitu. Gue janji kok, mulai sekarang gue gak akan lupain lo. Punya pacar atau ngga, gue tetep setia sama lo sayaaaang..” katanya sambil mengacak-acak rambutku. Apa? Sayang? Gak salah? Haah, pasti Cuma baik-baikin gue doang supaya gue kaya dulu lagi. Sorry men, gue gak ada rasa lagi sama lo.
***
Winda mengajakku untuk menemaninya malam ini di rumahnya. Karena keluarganya sedang pergi berlibur. Aku manurutinya. Toh mama dan papaku sedang di luar kota. Sedangkan kakak ku, ia pasti menginap juga di rumah temannya. Ketika sedang di kamar, Winda terlihat bahagia ketika mendapat pesan. Ia segera mengahampiriku, aku yang sedang SMS-an dengan Dimas sempat terhenti karena tingkah  Winda yang sedang kegirangan.. “Kenapa lo Win??” Tanyaku heran. “aah Taniaa. Gue lagi falling in love..” Katanya. “Serius? Ih, ikut seneng deh.” Kataku. Aku yang juga tak sabar ingin bercerita dengan Winda, bahwa kini aku  sedang jatuh cinta pada Dimas. “Tan... gue suka sama cowok, ya ampun ya Tan.. dia tuh sms-in gue muluuuu.. Teleponin gue mulu, care banget deh pokoknya sama gue, sayang banget gue sama dia.” Katanya.. “Oh yaa? Siapa Win? Siapa?” Tanyaku penasaran. “ehmm, kasih tau gak ya?” Katanya menggoda. “Kasih taulah..” Jawabku. “ehmmmm gue naksir Dimas, Tan...” Katanya berbisik.
“Duaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar.........” Dentuman bom itu kembali meledak di dalam dadaku. Aku kaget bukan kepalang. Kenapa ia mencintai Dimas juga? “ya Allah, mengapa semua yang hamba cintai telah di miliki orang lain.” Kataku dalam hati. Aku menahan air mataku. Aku tak ingin Winda tahu bahwa aku mencintainya juga. Sesak dalam hatiku terjadi kembali. “ehm, ciee ciee.. udah jadian belum?” Jawabku sambil memberika senyuman paksaanku kepadanya. “Ehmm, belum sih Tan, tapi gue yakin kok dia pasti nembak gue, dia udah keliatan banget sayang sama gue juga.” Katanya. “Win, selamat yaah..” Kataku. “haha, belum jadian kok Tan..” Jawabnya. Hehe.. kami tersenyum, hancur lebur lah hatiku kini untuk kedua kalinya.
***
Keesokan harinya. Aku kembali murung. Lemas. Tak ada gairah yang membuatku semangat. Aku kembali terpuruk sedih. “Taniaaaa..” Dimas meneriakanku membuatku kaget. “Ih, kebiasaan!!” Kataku dengan kesal. “Kenapa lo murung lagi?” Tanyanya. “gak apa-apa iih..” Kataku. “ya udah jangan marah dong neng..” Jawabnya. Tiba-tiba Rendy menghampiriku dan Dimas. “Tan, sini gue mau ngomong.” Ajaknya. Aku menurutinya, sekalian aku menghindari Dimas. Aku pun mengikuti langkahnya, ternyata menuju taman.
“Gue mau ngomong sesuatu Tan..” ujarnya. “Sorry ya Ren, gue kapok kayak gini lagi. Lo bilang mau ngomong sesuatu tapi ternyata malah mau pamer lo mau nembak orang. Sorry yah, gue ga peduli.” Jawabku ketus. “Bukan Tan, bukan.. gua gak mau nembak seseorang. Tapi gue mau menyatakan cinta sama lo..” Katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Aku kaget mendengar pernyataannya. Mengapa ia mengungkapkan hal ini kepadaku sekarang? Kenapa bukan dulu saat aku mencintainya. Kenapa sekarang ia menyatakannya karena aku tak ada rasa lagi padanya. Aku tak dapat berkata-kata. “Ini Tan.. ini buat lo.” Memberikan sekotak coklat dan kotak perhiasan yang berisi kalung berliontin T&R. Aku terkejut. “Tan, selama ini gue salah mencintai orang. Gue salah karena telah mengabaikan lo. Gua baru sadar kalo gue cinta lo.. gue gak mau kehilangan lo Tania..” Aku masih terdiam dengan ucapannya. Sungguh pernyataan yang tak pernah aku duga. Ia menyatakan cinta saat aku telah mencintai orang lain. Tetapi, aku tak mungkin dapat bersama Dimas, Winda mencintai Dimas, Dimas juga mencintai Winda. Aku tak mungkin mengharapkannya untuk bersamaku. Aku bingung. “jujur.. dulu gue sayang sama lo Ren. Tapi sekarang gak ada sedikit pun rasa sayang gue buat lo. Gua sayang sama Dimas, Ren..” Jawabku. “Tapi, Winda sama Dimas kan mau jadian Tan, lo tega ngancurin hubungan mereka?”Katanya. “Ya allah. Bagaimana ini, aku mencintai Dimas. Tetapi aku yakin ini tak akan bertahan lama. Walaupun aku bersama Dimas. Pasti suatu saat aku akan putus dengannya, perbedaan keyakinan yang mengahalangi kami ya Allah..” Keluhku dalam hati. “andai ia tahu perasaanku ini ya Allah..” Aku hanya diam menunduk, apa yang harus aku katakan.
Di sisi lain, Dimas yang telah memutuskan, bahwa hari ini ia akan menyatakan perasaannya kepada Tania. Ternyata Dimas diam-diam mencintai Tania. Ia telah membawa bunga mawar merah untuk di berikan kepada Tania. Melihat kejadian di taman Rendy sedang menyatakan cinta kepada Tania, ia mengurungkan niatnya. Tak ada harapan untuknya kini. Ia hanya termenung sedih di balik pohon di taman. Melihat Dimas sedang di balik pohon memperhatikan Rendy dan Tania, Winda menhampirinya. Winda salah sangka, ia pikir bunga mawar itu untuknya, Dimas pun memberikan bunga mawar yang semula untuk Tania kepada Winda. Winda bahagia, karena ia pikir, hari itu adalah hari berpacarannya mereka. Melihat Dimas memberikan bunga mawar kepada Winda, Tania semakin yakin tak ada harapan untuknya bersama Dimas.
Setelah beberapa kali aku menitikkan air mata melihat Winda diberi Mawar merah oleh Dimas, akhirnya aku pun membuka suara. “Ren.. gue mau jadi pacar lo. Asal lo bantu gue buat ngelupain Dimas.” Kataku. “Gue gak akan bantu lo buat ngelupain Dimas, biar waktu yang akan menghapus semuanya.” Ujarnya. Aku di peluk Rendy, dan ku lihat Dimas pun memeluk Winda. Aku semakin yakin, bahwa tak ada rasa cinta Dimas kepadaku. Aku yakin, Rendy lah pilihan yang tepat. “ya Allah, bantu hamba menjalani ini semua ya Allah.
Kini semua telah berjalan. Kisah saling cinta antara Dimas dan Tania pun tak pernah terjawab, walaupun mereka saling cinta, mereka mengurungkan niatnya untuk menyatakan perasaannya. Karena akan menyakiti sahabat-sahabatnya. Cinta yang cukup di dalam hati tak pernah terungkap hingga kini. Perasaan yang tak pernah terjawab. Terelakannya perasaan yang menyiksa hati. Kini kau telah bersamanya, begitu juga dengan diriku. Aku tak mungkin menyakiti hati Winda dan Rendy. Aku memulai membuka hati kembali untuk Rendy. Tak ada rasa sungkan lagi padanya. Aku kembali seperti dahulu.
Walaupun aku pun sering jalan berdua dengan Dimas, semata-mata hanya ingin merasakan rasanya sama-sama mencintai. Cinta yang tak pernah terungkap, tak pernah di ketahui, dan tak pernah tahu akan jawabannya. Andai, kejadian itu tak ada. Mungkin kini aku bersama Dimas menjalin hubungan. Tapi apa mungkin? Kami memiliki hambatan yaitu perbedaan keyakinan. Ya Allah...

*TAMAT*
by: fzhuzie@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar