“Masa
sih? Lo kali yang ganjen?” tanyaku.
“Enak
aja, gue sih baik-baik”. Sahut temanku.
“Ehm,
yaudah deh.. haha’’. Kataku sambil tertawa yang lain pun menjadi ikut tertawa.
“ya
Allah.......” kataku membuat dua orang temanku terkejut.
“Kenapa
tan?” tanya temanku.
“PR
gue win, PR MTK gue ketinggalan...” kataku sambil mengobrak-abrik isi tas.
“Emang
lo taro mana tan?’’ tanya temanku yang lain.
‘’Kayaknya
ketinggalan di meja belajar gue ren, masa gue pulang? Yang ada terlambat..
aduhh!” jawabku.
“Yaah,
terus gimana dong Tan?’’tanya Rendy.
“Udah
Ren, lo jangan bikin tania panik. Tan, lo liat PR gue aja yuk!’’ ajak Winda.
“Beneran
ngga apa-apa ??’’ tanyaku gelisah.
“Ya
ampun, lo kayak sama siapa aja deh. Ayoo cepet keburu bel masuk nanti.’’ Bujuk
Winda sambil menarik tanganku. Aku pun mengikutinya ke ruang kelas. Sesampai di
depan kelas, seorang guru memanggilku.
‘’Taniaa..
sini’’ panggilnya. Aku segera mencari siapa yang memanggil namaku. Ternyata bu
Rifha yang memanggilku. Aku pun segera menghampiri bu rifha.
“ada
apa bu?’’ tanyaku.
‘’Tania,
kamu gak ngapa-ngapain kan? Bantuin ibu yah, nyusun buku-buku di ruang guru’’.
Kata bu Rifha. Aku terdiam sejenak, sambil memikirkan bagaimana tentang PR-MTK ku?
“Ehm, sebentar ya bu, sebentar ajaaaa. Aku mau kesitu dulu. Nanti aku bantuin
deh”. Jawabku.
Aku
segera menghampiri Winda dan Rendy yang sedari tadi menungguku.
“Aduh,
gimana nih?’’ kataku.
“Kenapa
sih tan?’’ tanya Winda heran.
“Gue
di suruh bantuin bu Rifha nih, gue kan belom ngerjain PR. Gimana ini??” jawabku
gelisah.
‘’Ya
ampun itu doang?? Yaudah sana, lo bantuin bu Rifha, gue yang kerjain PR lo”
sahut Rendy.
“Serius
Ren?’’ tanyaku meyakinkan Rendy yang menawarkan bantuan. ‘
’Iya
Tan, gue serius. Udah sanah’’ Katanya. Belum sempat aku mengucapkan terima
kasih, seorang cowok dari belakang menabrakku. ‘’aw...’’ Keluhku.
“Hehe,
sorry yaa Tan. Guys, gua liat PR MTK dong. Belom ngerjain nih.’’ Pinta Cowok
yang menabrak aku.
“Ih,
apaan sih lu Dim.. Udah dateng nabrak gue, mau liat PR lagi.’’ Jawabku dengan
sewot. ‘’Ya elah Tan. Gak sengaja..” Katanya.
‘’Udah-udah..
kok jadi ribut sih. Tan, lo cepet gih ke bu Rifha. Ntar PR lo di kerjain, dan
lo Dimas, cepetan ngerjain PR, tuh liat PR gue.” Kata Winda dengan bijak. Aku
pun segera mengikuti perintahnya.
“Ya
udah, gue ke bu Rifha dulu ya, Ren, Win..” Kataku berlalu.
***
Di
dalam kelas, Dimas mengerjakan PR-nya, dan Rendy mengerjakan PR Tania.
“Ciee,
semangat banget ngerjain PR Tania’’. Goda Winda.
“Lo
suka ya sama Tania?’’ Tanya Dimas.
“Apaan
sih lo pada. Gue kan Cuma bantuin sahabat gua aja.’’ Jawab Rendy sambil
mengerjakan PR Tania.
‘’Masa
sih?’’ Tanya Winda.
‘’Iya.
Dia kan sahabat gua dari SMP, gak mungkin lah, gua suka sama sahabat
sendiri..’’ Jawabnya tak mau kalah.
‘’Udah
Win, iya-in aja.. paling besok jadian’’ Sahut Dimas.
‘’Rese
lo..” Kata Rendy sambil menimpuk buntelan kertas ke Dimas. Winda, Dimas, dan
Rendy tertawa.
Bel tanda masuk telah berbunyi, aku
telah menyudahkan membantu Bu Rifha, dan kembali ke kelas.
‘’gimana PR gua?’’ Tanyaku penasaran.
‘’Udah
nih Tan..’’ Jawab Rendy sambil memberi buku.
‘’thanks
ya Ren..’’ Kataku. ‘’Sama-sama Tan..’’ Jawab Rendy.
Pelajaran pun di mulai. Aku tidak di
hukum karena PR ku telah di kerjakan oleh Rendy. Aku merasa senang karena ia
membantuku. Rendy adalah sahabatku sejak aku duduk di bangku SMP kelas 2. Dulu,
aku adalah murid pindahan dari sekolah lain. Aku senang mengenalnya, dia baik,
perhatian dan aku juga sering merasakan sesuatu perasaan selain sahabat yang
kini persahabatan kami menginjak kurang lebih 4 tahun. Winda, dia juga
sahabatku. Dia bersahabat denganku sejak aku duduk di SMK ini. Dia baik, cantik
, dan ramah. Dan Dimas... Dimas juga sahabat ku. Yaa, walaupun dia tengil, rese
dan nyebelin, tapi dia seorang sahabat yang humoris dan setia. Aku senang
bersahabat dengan ketiga sahabat ku itu..
Sepulang sekolah Rendy, Winda, dan
Dimas menungguku di depan taman. Aku yang sekretaris di kelasku harus
mengantarkan absen kelas rutin setiap pulang sekolah. Setelah mengantarkan
absen, aku cepat-cepat menemui sahabat-sahabatku yang rela menungguku.
‘’Lama
yaah? Maaf banget ya..” Ucapku.
‘’ngga
kok Tan, segini mah ngga lama.’’ Sahut Rendy.
‘’Ah
lu mah Ren, seabad menunggu Tania juga mau.” Sela Dimas membuat wajah Rendy
merah, aku pun demikian.
“ehm,
guys. Anterin gua yuk beli tabel trigonometri buat pelajaran MTK.’’ Tambah
Dimas.
“ya,
sorry banget Dim, gue harus nganter nyokap ke salon.” Jawab Winda.
“ah,
payah lu Win. Ga asik..” kata Dimas dengan wajah cemberut.
“Lo
bisa kan Ren temenin gua?” Tanya Dimas sambil memukul bahu Rendy.
“ah,
gak ngomong dari awal sih lo. Gua mau betulin motor sama abang gue di bengkel.”
Jawab Rendy nyeleneh.
“Tan,
lo tadi mau beli buku keperawatan juga kan?’’ Tanya Winda mengagetkanku yang
sedari tadi aku hanya main hp tanpa mendengarkan mereka.
“ehhmm,
apa Win?” Tanyaku.
“ah
elah, si Tania dari tadi main hp mulu. Gak jauh-jauh deh, pasti twitteran.”
Kata Dimas. “Ih, Dimas ih.. apaan deh Win, hehe” Kataku nyengir.
“Gini
sayang, tadi kan kata lo, lo mau beli buku keperawatan kan? Nah, si Dimas mau
beli buku juga, gua sama Rendy pada ga bisa nganterin kalian. Jadi, kalian
berdua aja yang beli buku.” Jelas Winda menjelaskan panjang lebar.
“apaah?
Sama Dimas?” Aku langsung memanyunkan bibir dengan niat membuat Dimas marah.
“ya
elah lu Tan, belagu banget.” Jawab Dimas.
“iya
gue mau. Ya udah yuk, keburu sore..” Jawabku. Kami berpisah. Aku dengan Dimas,
dan Winda dengan Rendy.
***
Aku dan Dimas pergi ke toko buku
dengan menggunakan sepeda motor. Aku di bonceng Dimas, karena hari itu aku
tidak membawa kendaraan ke sekolah. Di sepanjang jalan aku tak banyak omong.
Aku hanya diam memikirkan kenapa tadi wajah Rendy merah merona, apa yang
sebenarnya ia rasakan. Apa hal ia rasakan sama padaku? Kataku dalam hati.
“Mengapa bukan Rendy yang memboncengku dan menemaniku sekarang, kenapa harus
Dimas??” Keluhku.
“Tan, ngobrol kek. Apa kek.. diem
aja lu.” Kata Dimas memecah lamunanku.
“Ih,
lu mah. Mengganggu deh. Udah nyetir aja yang bener.” Jawabku.
“Ah,
gak asik lu. Lagi ngapain sih? Twitteran ya? Kebiasaan.” Katanya.
“Ngga..
gua lagi diem aja.” Jawabku.
“Nyerah deh gue..” Katanya. Aku hanya tertawa
tanpa membalas perkataannya. Aku pun melanjutkan aktifitas bengongku..
Setelah sampai di Toko Buku, kami
segera mencari buku yang di tuju. Aku mencari buku bagian kedokteran, dan Dimas
ke buku bagian Buku pelajaran. Ketika aku sedang mencari, Dimas menghampiriku.
“udahan?” Tanya Dimas. “eehm , udah. Lo udah dapet?” Tanyaku. “udah, pulang
yuk. Makan dulu atau langsung pulang?” Tanya Dimas. “Terserah lu aja deh.” Jawabku. “Tumben
nurut?” Tanya Dimas mengenyiritkan dahi. “Iya lah, kalo gua gak nurut, ntar gua
pulang gimana?’’ kataku dalam hati. Aku dan Dimas pun segera ke kasir untuk
membayar buku, lalu segera pergi mencari makanan. Setelah sampai di tempat
makanan. Kami segera memesan makanan. “mau makan apa?’’ tanya Dimas. “ Baso..
hehe..” Jawabku. “kebiasaan....” Sahutnya. Setelah memesan, kami menunggu
pesenan kami sambil ngobrol.
“Tan, kenapa lu diem aja dari tadi?”
Tanyanya memulai pembicaraan. “Gak apa-apa, nyesel aja, kenapa Rendy sama Winda
gak ikut?” Jawabku. “yaa mereka kan ada keperluan. Lagian emang kenapa sih,
kita berdua? Ehm , gua tau. Lu naksir Rendy ya??” Tanyanya membuatku terkejut
dan diam sesaat. “ gak apa-apa.. Sepi kalo Cuma berdua doang. Gak rame.”
Jawabku. “Mau rame? Bakar nih Restorant.” Katanya membuatku dan dia tertawa.
Setelah makanan datang, kami makan di selingi lawakan-lawakan khas dari Dimas
dan saling lempar hinaan demi hinaan satu sama lain. Aku pun berpikir, ternyata
selama ini Dimas tidak seperti yang kupikirkan selama ini. Ehmm.. aku mulai
nyaman. He..he.. Setelah makan, kami bergegas pulang, dan Dimas mengantarku
sampai rumah. Aku cukup nyaman dengannya, dengan khas banyolan-banyolannya.
Sampai di rumah pun, aku masih suka tertawa sendiri mengingat hang-out ku dengannya.
***
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Rendy menjemputku di rumah. Aku kaget, karena tak
biasanya ia menjemputku. Aku dan Rendy pamitan ke sekolah dengan kedua
orangtuaku lalu pergi ke sekolah. “Tan, ntar pulang, lu ada acara gak?”
Tanyanya. “ah ngga, kenapa emangnya?” Jawabku. “ntar jalan ya, gue mau ngomong
sesuatu sama lu.” Katanya. Di sepanjang jalan, aku hanya tersenyum-senyum
sendiri keheranan mengapa tumben-tumbennya ia menjemputku dan pulang sekolah
nanti ia mengajakku jalan..
Sesampai
di sekolah, aku di sambut dengan heboh oleh Winda dan Dimas.. “cieeeeee......”
Kata mereka serempak. “apaan sih.” Jawabku agak risih. “ya elah, gak usah
malu-malu lagi kali.” Sahut Dimas. Aku pun hanya tersenyum, begitu pun dengan
Rendy.
***
Hari
itu bagai ada ledakan bom di dadaku. Hari yang paling menyenangkan bisa jalan
dengan Rendy. Setelah sampai di restorant yang di tuju, ia mulai membuka
suaranya. “ehhmmm, Tan.. gue mau ngomong sesuatu deh sama lu.” Katanya, membuat
aku merinding keringat dingin saat itu. Perasaan senang, gugup dan percaya diri
bahwa Rendy akan menyatakan perasaannya padaku. “ngomong aja kali Ren..”
Jawabku. “eegh, gini.. sebenernya, gua lagi jatuh cinta sama cewek.” Katanya
memulai jujur. Seketika membuat bulu kudukku merinding deg-degan. “trus??”
kataku penasaran. “Gue suka sama cewek, dia deket banget sama gue, gua mau
nembak dia.” Katanya. “oh, mau nembak. Ya udah lu tembak aja, lagi juga gue tau
kok siapa orangnya.” Kataku dengan PD. “haah? Serius lu tau Tan?” Tanyanya,
penasaran. “tau lah, orang yang mau lu tembak itu gue kan??” Kataku dalam hati.
“iya tau” Kataku. “Ya ampun Tan, lu emang sahabat gue banget. Lu udah tau kalo
gue mau nembak fitri?? Ya ampun gua seneng kalo lu udah tau Tan..” Katanya.
“Duaaaaaaaaar.......”
Bagai tersambar petir di siang hari. Hatiku terasa hancur mendengar
perkataannya. Sakit perih kini ada di hatiku. Orang yang ku kira selama ini
mempunyai perasaan yang sama terhadapku ternyata tidak sama sekali.. Rasa
benci, sebal dan ingin meninggalkan tempat itu , ingin ku lakukan sekarang.
Entah kemana lamunanku kini. Hanya tatapan kosong yang terlihat. ‘’Tan...”
Tanyanya, memecah lamunanku. “ehg.. apa??” Tanyaku. “kok diem sih? Jawab dong.
Lo setuju gak gue nembak fitri??” Tanyanya. “iya iya, setuju kok.” Kataku
lemas. “kok lu tau sih, kalo gue naksir fitri?” Tanyanya. “hehe, ada deeh”
Kataku. Tiba-tiba, hp-ku berdering tanda pesan masuk. Ternyata dari Dimas yang
menanyakan tentang PR. Moment ini tidak aku sia-siakan, aku pakai alasan sms
ini, bahwa dari mama dan aku harus segera pulang ke rumah. “Ren , gue mau
pulang. Nyokap, nyuruh gue nganterin dia.” Kataku berbohong. “Ya.. kok pulang
sih. Fitri mau dateng, makanya lo, gue ajak kesini supaya lo liat gua jadian
sama dia.” Katanya. Begitu sakit batinku saat itu, aku harus menyaksikan cowok
yang aku sayangi, menyatakan perasaannya kepada orang lain. Yang di saksikan
olehku. “enggak, gue mau pulang.. nyokap udah nyuruh pulang.” Kataku keras.
“yaa, yaudah deh, tapi lo gak apa-apa pulang sendiri? Tanyanya. “iya, gue
pulang sendiri gak apa-apa kok.” Jawabku. “ya udah, hati-hati yaa Tan..”
Katanya.
Aku
segera lari dari tempat itu, dan mencari taksi. Setelah dapat taksi. Aku segera
duduk sambil menangis. Mengingat kejadian barusan dengan rasa sakit dalam
hatiku, sungguh.. mengapa ia begitu jahat padaku? Mengapa ia harus mengajakku
ke restoran hanya untuk menyaksikan hari jadian mereka hari ini. Aku menangis
lagi.. aku tak peduli dengan apa yang terjadi di jalan raya, atau apapun. Hanya
rasa sesak yang tak ada hentinya di hatiku. RENDY JAHAAAAAT !!!! kataku dalam
hati..
Sesampai
di rumah, aku lari ke kamar dengan menggebrak pintu kamar dengan cukup keras.
Untung saja, di rumah hanya ada bibi. Sedangkan mama, papa, dan kakak-ku pergi
mengunjungi rumah nenek. Aku langsung menjatuhkan tubuh dengan keras di kasurku
itu. Rasa sakit, sesak, dan kebencian bercampur rata di hatiku. Tak ada sedikit
pun untuk berhenti dari tangisku saat itu. Hingga aku tertidur pulas.
Tok..tok..tok..
Ku dengar ketukkan pintu dari luar kamarku. Aku segera duduk masih tetap di
atas kasur. “Siapa??” Tanyaku memastikan. “Taniaaa, ini mama. Buka pintunya
sayang..” ternyata mama yang ada di luar. Aku segera membuka pintu kamarku.
“Kenapa ma?” Tanyaku. Mama pun langsung masuk ke kamar dan duduk di atas
ranjangku. “Tadi, kata bi Inah, kamu pulang sekolah nangis trus masuk kamar
sambil gebrak pintu. Kenapa kamu sayang?” Tanya mama dengan hati-hati. “gak
apa-apa ma.. Cuma cape aja.” Jawabku. “tuh, mata kamu kenapa sembab?” Tanya mama,
sambil mengangkat wajahku. “gak apa-apa ma..”Kataku. bukan aku tak mau
bercerita pada mama. Aku tidak mau, mama marah pada Rendy sahabat baikku yang 4
tahun telah bersahabat denganku. Aku sengaja menutup-nutupinya. “sayang, kalo
kamu ada masalah, ya cerita dong” Kata mama. “iya, ma. Tapi bener deh, masalah
kali ini aku bisa selesaiin sendiri. Biarin aku selesaiin sendiri ya ma..”
Kataku manja sambil memeluk mama. “oh, ya udah, asal inget. Kalo kamu sudah
tidak kuat, kamu harus bercerita, dan sama-sama kita memecahkan masalahnya.”
Kata mama menasehati. “okee ma..” Kataku semangat. “ya udah, mandi gih sana.
Mama bawa rendang dari nenek tuh..” Kata mama. “okee mah.” Aku pun bergegas
mandi.
***
Keesokan
harinya, tak ada Rendy yang menjemputku seperti kemarin. Aku di antar kakak
cowokku yang ganteng ini. Yaa, hitung-hitung pamer lah punya kakak yang
ganteng. Sesampai di sekolah, aku melihat bahwa Rendy datang dengan Fitri. Aku
segera memalingkan wajah. Kakakku yang memperhatikanku heran. “Kamu kenapa kok
liat Rendy langsung buang muka gitu?” Tanya ka Reza. “ngga apa-apa kok ka.
Takut galau aja, hehe.. dah kaa...” Jawabku. Sambil berlalu pergi meninggalkan
kakakku yang masih keheranan.
Di
sekolah pun aku hanya diam, tak banyak bicara. Di kelas pun demikian. Aku tak
tertarik untuk banyak berbicara. Rasa sakit dan kecewa masih kian membekas di
hatiku. Aku berprinsip dalam hatiku bahwa aku tak akan berbicara mau pun saling
curhat seperti dahulu kepada Rendy. Di satu sisi, aku masih kecewa dan di sisi
lain aku takut mengganggu hubungan mereka yang baru jadian itu. Di kelas aku
juga menghindar darinya, sampai tempat duduk pun demikian. Di sekolahku memang
satu meja untuk dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan, hal itu di
tujukan agar kami tak ada rasa berbeda, hanya satu tujuan yaitu belajar
menghargai lawan jenis. Aku segera berpindah tempat menjadi duduk dengan Dimas,
dan tempat Winda ku tukar duduk dengan Rendy.
Ketika
bel masuk, Rendy menyadari kepindahanku itu. “ Tania, kok lu pindah??”
Tanyanya. “Ehhm, gak apa-apa mau pindah aja.” Jawabku tanpa memandangnya. “Kok
gitu? Balik lagi sini ah..” Kata Rendy memaksa sambil membawa tas ku. “Eh, Ren.
Kalo Tania mau duduk sini kenapa emang? Gak suka lo??” Kata Dimas membelaku.
“Ren, gue lagi mau disini. Lo sama Winda aja. Sama aja..” Kataku, lagi-lagi
tanpa memandangnya. “Terserah deh..” Katanya, lalu kembali ke tempat duduknya.
Aku kaget bukan main, Rendy tak biasanya menyerah begitu, biasanya dia terus
memaksaku, sambil sedikit merayuku agar mau menurutinya. Tapi, kini dia beda.
Hal itu tak di lakukannya lagi. Aku sadar, “dia telah menjadi milik orang
lain.” Kataku dalam hati sambil menahan air mata.
Sampai
bel istirahat pun, aku menjauh darinya. Tetapi dia tidak menanyakannya, dia
segera ke ruang kelas Fitri. Aku memilih menghabiskan waktu istirahatku dengan
membaca buku di bawah pohon di Taman sekolah. Ketika aku sedang membaca buku,
Winda dan Dimas menghampiriku. “Tan.. gak jajan?” Tanya Winda. “ngga Win, masih
kenyang.” Jawabku. Winda duduk di sebelahku. “lu kenapa sih hari ini? Lo diem
terus, gak kayak biasanya.” Tanya Winda. “Ngga apa-apa Win.” Jawabku. “Trus
kenapa lo pindah tempat?” Tanya Dimas yang berdiri di sebelah kananku. “Ngga
apa-apa.. Cuma mau pindah aja duduk sama lo. Kenapa? Lo keberatan yaa?” Tanyaku.
“Bukan gitu Tan, heran aja. Oh iya, emang Rendy jadian sama Fitri?” Katanya.
“Dimas, apaan sih lo.. malah gosip, temen lagi diem mulu juga..” Kata Winda.
Tiba-tiba, seorang siswi memanggil nama Winda. “Windaaaa....” Katanya. Winda
pun menoleh ke arahnya, siswi itu menghampiri Winda. “Win, lo di panggil KepSek
tuh. Dia minta susunan acara OSIS kemaren.” Jelasnya. “Oh, ya udah yuk. Dim,
Tan.. gue tinggal ya.” Katanya. “Iya Win..” Balasku. Winda pun bergegas pergi
dengan siswi tadi.
Tinggal
lah aku dan Dimas di taman itu. “Tan.. lo kenapa diem kayak gini? Lo gak kayak
biasanya.” Katanya hati-hati. “Ngga apa-apa Dimas...” Balasku. “gak mungkin
kalo gak apa-apa. Lo diem drastis dari biasanya. Ini bukan Tania yang gue
kenal..” Katanya memaksa. Kini ia pun duduk di sebelahku. Ketika aku ingin
menjawab, tanpa sengaja aku melihat Rendy dan Fitri sambil bergandeng tangan
keluar dari Kantin. Aku memperhatikan mereka sampai mereka tak terlihat. Tanpa
sengaja aku menitikkan air mata. Dimas yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik
mataku, sepertinya menyadari keberubahanku. “Tania, kenapa lo nangis liat
mereka jadian? Lo suka sama Rendy?” Tanyanya. Aku tak menjawab, aku hanya
menggeleng sambil mengusap air mataku dengan tissue di sakuku. “Taniaaa.. liat
gue..” Katanya, sambil memaksaku menggerakkan wajahku agar menatap wajahnya.
Aku menolak. “Tanpa lo kasih tau, gue udah tau kok jawabannya. Lo suka sama
Rendy, dan lo kecewa sama dia, karena kemaren lo di ajak jalan Cuma karena buat
jadi saksi hari jadian mereka.” Katanya. Aku terkejut, mengapa ia bisa tahu?
Aku segera memandangnya penuh tanya. “tuh kan, kaget. Lo pasti heran kan kenapa
gue bisa tahu?” Katanya. Aku tetap diam dan kembali menunduk. “Kemaren, gue
ikutin lo berdua, sampe restoran. Gue kira dia mau nembak lo, tapi ternyata
ngga. Makanya gue sms lo, supaya lo gak ngelamun. Tapi ternyata lo pinter. Lo
pake alesan sms gue, kalo itu dari nyokap lo. Trus lo pamit, pulang naik taksi.
Gue juga ikutin lo sampe rumah. Gue Cuma mastiin kalo lo bener-bener sampe
rumah.” Katanya menjelaskan panjang lebar. Aku benar-benar tak percaya. Dimas
mengikutiku kemarin, bahkan sampai rumah. “Kenapa lo ikutin gue sampe rumah?”
Tanyaku. “yaaa, gue takut aja, mentang-mentang lagi galau, lo bunuh diri
gimana??”Jawabnya. “ya, ngga sebego itu lah gue. Ngapain gue bunuh diri
gara-gara dia? Gue ikhlas kok walaupun nyesek.” Aku segera menghentikan
ucapanku. Aku tak sadar mengatakan hal itu pada Dimas. “Tuh kan? Lo beneran kan
suka sama Rendy?” Katanya. “ngga..” Balasku mengelak. “Tan, kenapa sih lo gak
pernah curhat sama gue? Kenapa Tan..? gue juga sahabat lo kan? Gua juga mau
dengerin keluh kesah lo. Tapi lo gak pernah curhat ke gue, kayak lo curhat sama
Rendy..” Katanya mendengus kesal dengan suara agak keras. “gue, takut lo
ketawain curhatan gue. Selama ini gue pikir lo gak bisa di ajak curhat, lo
selalu ngeledek gue, seakan gak percaya kata-kata gue.” Kataku bernada keras.
“Lo tau kenapa gue suka ngeledek lo? Itu karena gue iri sama Rendy, dia selalu
jadi temen curhat lo, padahal gue juga sahabat lo. Lo gak pernah tunjukin
kesedihan lo sama gue, lo selalu tersenyum, tertawa walaupun masalah lo segede
apapun. Mana kesedihan lo? Gak pernah lo kasih itu ke gue kan? Makanya gue
ngeledekin lo, karena gue tahu, lo gak akan marah ataupun sedih..” Jawabnya,
membuat aku terbelalak mendengar semua kata-katanya. Aku terdiam sejenak, rasa
bersalah padanya kini ada di hatiku. Sebegitu baiknya dia, sebegitu care-nya
dia padaku. Aku baru tahu kini..
“Dimas, maafin gue. Gue gak tau.
Bahkan gak bermaksud begitu. Gue lupa kalo gue punya sahabat yang lebih baik
dari Rendy kayak lo.. gue minta maaf Dim..” Kataku. Dimas masih menunduk tak
menjawab ucapanku. “gue janji, gue bakal bersikap yang sama kayak gue bersikap
ke Rendy. Tapi, plis maafin gue.” Kataku sambil menggenggam tangannya. “Ren...
jawab!” tak ada sahutan darinya. Ia masih menunduk. “gue sadar gue salah. Plis,
maafin gue..” Lagi-lagi tak ada jawaban darinya. Lalu ia mengangkat kepalanya.
“Bener? Lo mau bersikap sewajarnya sahabat? Mau curhat ke gue?” Tanyanya. “Iya,
janji.” Kataku. “Tan, kita ini sahabat. Susah senang harus sama-sama. Gue
nonstop 24 jam dengerin semua curhat lo..” Katanya sambil menatapku. Ya Allah,
kemana saja aku selama ini, tak pernah memperhatikan Dimas bahwa ia juga
sahabatku. Aku terlalu larut dengan Rendy. Sehingga saat ia menghilang dariku.
Aku merasa jauh kehilangan. “Iya Dim, thanks yaah mau jadi sahabat gue. Lo baik
banget..” Kataku sambil tersenyum. “Iya, sama-sama..” balasannya.
***
Kini hari-hariku tak pernah ku lalui dengan kesedihan. Hari-hariku telah terisi lagi oleh Dimas yang setia menghiburku. Bahkan ia tak rela jika aku sekedar sapa dengan Rendy. Rendy..... satu nama yang tak pernah lagi ku kenang, tak ada lagi saling curhat seperti dahulu. Ia terlalu sibuk dengan Fitri. Aku menyadarinya bahwa cinta memang buta. Bahkan ia juga menutup segalanya termasuk aku yang ia lupakan.. aku tak perduli lagi kini. Hanya Dimas yang mengerti keadaanku, bahkan lebih dari sikap Rendy dahulu padaku. Aku mulai nyaman di dekatnya, bahkan aku suka senyum-senyum sendiri saat Dimas meluncurkan rayuan mautnya.
Kini hari-hariku tak pernah ku lalui dengan kesedihan. Hari-hariku telah terisi lagi oleh Dimas yang setia menghiburku. Bahkan ia tak rela jika aku sekedar sapa dengan Rendy. Rendy..... satu nama yang tak pernah lagi ku kenang, tak ada lagi saling curhat seperti dahulu. Ia terlalu sibuk dengan Fitri. Aku menyadarinya bahwa cinta memang buta. Bahkan ia juga menutup segalanya termasuk aku yang ia lupakan.. aku tak perduli lagi kini. Hanya Dimas yang mengerti keadaanku, bahkan lebih dari sikap Rendy dahulu padaku. Aku mulai nyaman di dekatnya, bahkan aku suka senyum-senyum sendiri saat Dimas meluncurkan rayuan mautnya.
Suatu
hari, ketika pulang sekolah Rendy menarik tanganku. “Apa-apaan nih Ren?”
Tanyaku. “gak apa-apa. Gue kangen banget sama lo. Lo udah berubah sekarang. Sms
gue gak pernah lo bales. Gak pernah curhat lagi sama gue. Kenapa??” Tanyanya
memaksa. “Ngga apa-apa kok. Gue takut ganggu lo aja. Lo kan udah sibuk sama
Fitri. Yaa, gue pikir gue udah gak dianggap.” Balasku. “Gue udah putus sama
Fitri, Tan..” Katanya. “kenapa?” tanyaku. “Dia ngeduain gue, dia egois banget.
Gue cape sama dia.” Jawabnya. “Oh..” Balasku. “Lo happy banget sekarang..”
Tanya Rendy sambil sedikit meledek. “Iya doong, hari-hari gue di isi sama
Dimas. Abis, semenjak lo pacaran, emang lo inget gue? Ngga sama sekali.”
Jawabku. “Maaf.. gak maksud gitu. Gue janji kok, mulai sekarang gue gak akan
lupain lo. Punya pacar atau ngga, gue tetep setia sama lo sayaaaang..” katanya
sambil mengacak-acak rambutku. Apa? Sayang? Gak salah? Haah, pasti Cuma
baik-baikin gue doang supaya gue kaya dulu lagi. Sorry men, gue gak ada rasa
lagi sama lo.
***
Winda
mengajakku untuk menemaninya malam ini di rumahnya. Karena keluarganya sedang
pergi berlibur. Aku manurutinya. Toh mama dan papaku sedang di luar kota.
Sedangkan kakak ku, ia pasti menginap juga di rumah temannya. Ketika sedang di
kamar, Winda terlihat bahagia ketika mendapat pesan. Ia segera mengahampiriku,
aku yang sedang SMS-an dengan Dimas sempat terhenti karena tingkah Winda yang sedang kegirangan.. “Kenapa lo
Win??” Tanyaku heran. “aah Taniaa. Gue lagi falling in love..” Katanya.
“Serius? Ih, ikut seneng deh.” Kataku. Aku yang juga tak sabar ingin bercerita
dengan Winda, bahwa kini aku sedang
jatuh cinta pada Dimas. “Tan... gue suka sama cowok, ya ampun ya Tan.. dia tuh
sms-in gue muluuuu.. Teleponin gue mulu, care banget deh pokoknya sama gue,
sayang banget gue sama dia.” Katanya.. “Oh yaa? Siapa Win? Siapa?” Tanyaku
penasaran. “ehmm, kasih tau gak ya?” Katanya menggoda. “Kasih taulah..”
Jawabku. “ehmmmm gue naksir Dimas, Tan...” Katanya berbisik.
“Duaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar.........”
Dentuman bom itu kembali meledak di dalam dadaku. Aku kaget bukan kepalang.
Kenapa ia mencintai Dimas juga? “ya Allah, mengapa semua yang hamba cintai
telah di miliki orang lain.” Kataku dalam hati. Aku menahan air mataku. Aku tak
ingin Winda tahu bahwa aku mencintainya juga. Sesak dalam hatiku terjadi
kembali. “ehm, ciee ciee.. udah jadian belum?” Jawabku sambil memberika
senyuman paksaanku kepadanya. “Ehmm, belum sih Tan, tapi gue yakin kok dia
pasti nembak gue, dia udah keliatan banget sayang sama gue juga.” Katanya.
“Win, selamat yaah..” Kataku. “haha, belum jadian kok Tan..” Jawabnya. Hehe..
kami tersenyum, hancur lebur lah hatiku kini untuk kedua kalinya.
***
Keesokan
harinya. Aku kembali murung. Lemas. Tak ada gairah yang membuatku semangat. Aku
kembali terpuruk sedih. “Taniaaaa..” Dimas meneriakanku membuatku kaget. “Ih,
kebiasaan!!” Kataku dengan kesal. “Kenapa lo murung lagi?” Tanyanya. “gak
apa-apa iih..” Kataku. “ya udah jangan marah dong neng..” Jawabnya. Tiba-tiba
Rendy menghampiriku dan Dimas. “Tan, sini gue mau ngomong.” Ajaknya. Aku
menurutinya, sekalian aku menghindari Dimas. Aku pun mengikuti langkahnya,
ternyata menuju taman.
“Gue
mau ngomong sesuatu Tan..” ujarnya. “Sorry ya Ren, gue kapok kayak gini lagi.
Lo bilang mau ngomong sesuatu tapi ternyata malah mau pamer lo mau nembak
orang. Sorry yah, gue ga peduli.” Jawabku ketus. “Bukan Tan, bukan.. gua gak
mau nembak seseorang. Tapi gue mau menyatakan cinta sama lo..” Katanya sambil
mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Aku kaget mendengar pernyataannya.
Mengapa ia mengungkapkan hal ini kepadaku sekarang? Kenapa bukan dulu saat aku
mencintainya. Kenapa sekarang ia menyatakannya karena aku tak ada rasa lagi
padanya. Aku tak dapat berkata-kata. “Ini Tan.. ini buat lo.” Memberikan
sekotak coklat dan kotak perhiasan yang berisi kalung berliontin T&R. Aku
terkejut. “Tan, selama ini gue salah mencintai orang. Gue salah karena telah
mengabaikan lo. Gua baru sadar kalo gue cinta lo.. gue gak mau kehilangan lo
Tania..” Aku masih terdiam dengan ucapannya. Sungguh pernyataan yang tak pernah
aku duga. Ia menyatakan cinta saat aku telah mencintai orang lain. Tetapi, aku
tak mungkin dapat bersama Dimas, Winda mencintai Dimas, Dimas juga mencintai
Winda. Aku tak mungkin mengharapkannya untuk bersamaku. Aku bingung. “jujur..
dulu gue sayang sama lo Ren. Tapi sekarang gak ada sedikit pun rasa sayang gue
buat lo. Gua sayang sama Dimas, Ren..” Jawabku. “Tapi, Winda sama Dimas kan mau
jadian Tan, lo tega ngancurin hubungan mereka?”Katanya. “Ya allah. Bagaimana
ini, aku mencintai Dimas. Tetapi aku yakin ini tak akan bertahan lama. Walaupun
aku bersama Dimas. Pasti suatu saat aku akan putus dengannya, perbedaan
keyakinan yang mengahalangi kami ya Allah..” Keluhku dalam hati. “andai ia tahu
perasaanku ini ya Allah..” Aku hanya diam menunduk, apa yang harus aku katakan.
Di
sisi lain, Dimas yang telah memutuskan, bahwa hari ini ia akan menyatakan
perasaannya kepada Tania. Ternyata Dimas diam-diam mencintai Tania. Ia telah membawa
bunga mawar merah untuk di berikan kepada Tania. Melihat kejadian di taman
Rendy sedang menyatakan cinta kepada Tania, ia mengurungkan niatnya. Tak ada
harapan untuknya kini. Ia hanya termenung sedih di balik pohon di taman.
Melihat Dimas sedang di balik pohon memperhatikan Rendy dan Tania, Winda
menhampirinya. Winda salah sangka, ia pikir bunga mawar itu untuknya, Dimas pun
memberikan bunga mawar yang semula untuk Tania kepada Winda. Winda bahagia,
karena ia pikir, hari itu adalah hari berpacarannya mereka. Melihat Dimas
memberikan bunga mawar kepada Winda, Tania semakin yakin tak ada harapan
untuknya bersama Dimas.
Setelah
beberapa kali aku menitikkan air mata melihat Winda diberi Mawar merah oleh
Dimas, akhirnya aku pun membuka suara. “Ren.. gue mau jadi pacar lo. Asal lo
bantu gue buat ngelupain Dimas.” Kataku. “Gue gak akan bantu lo buat ngelupain
Dimas, biar waktu yang akan menghapus semuanya.” Ujarnya. Aku di peluk Rendy,
dan ku lihat Dimas pun memeluk Winda. Aku semakin yakin, bahwa tak ada rasa
cinta Dimas kepadaku. Aku yakin, Rendy lah pilihan yang tepat. “ya Allah, bantu
hamba menjalani ini semua ya Allah.
Kini
semua telah berjalan. Kisah saling cinta antara Dimas dan Tania pun tak pernah
terjawab, walaupun mereka saling cinta, mereka mengurungkan niatnya untuk
menyatakan perasaannya. Karena akan menyakiti sahabat-sahabatnya. Cinta yang
cukup di dalam hati tak pernah terungkap hingga kini. Perasaan yang tak pernah
terjawab. Terelakannya perasaan yang menyiksa hati. Kini kau telah bersamanya, begitu
juga dengan diriku. Aku tak mungkin menyakiti hati Winda dan Rendy. Aku memulai
membuka hati kembali untuk Rendy. Tak ada rasa sungkan lagi padanya. Aku
kembali seperti dahulu.
Walaupun
aku pun sering jalan berdua dengan Dimas, semata-mata hanya ingin merasakan
rasanya sama-sama mencintai. Cinta yang tak pernah terungkap, tak pernah di
ketahui, dan tak pernah tahu akan jawabannya. Andai, kejadian itu tak ada.
Mungkin kini aku bersama Dimas menjalin hubungan. Tapi apa mungkin? Kami
memiliki hambatan yaitu perbedaan keyakinan. Ya Allah...
*TAMAT*
by: fzhuzie@yahoo.com
by: fzhuzie@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar