Jumat, 27 September 2013

CERPEN ~ TUHAN.. IZINKAN AKU MEMELUKNYA KEMBALI..


TUHAN, IZINKAN AKU MEMELUKNYA LAGI..
    Pagi ini sangat cerah, aku tidak ingin melewatkan sedetik pun hari yang cerah dan membuatku semangat setiap hari. Aku bergegas mengambil motor matic ku di dalam garasi rumahku. Setelah aku mengeluarkan motorku, aku mengambil kamera kesayanganku untuk mengambil gambar di tempat-tempat yang indah nanti saat aku pergi. Aku juga memakai helm untuk keselamatanku dalam mengendarai motor, setelah itu aku pergi.
            Aku tak tahu kemana aku akan pergi menyusuri hiruk pikuk kota Jakarta, Kota yang jauh berbeda saat aku kecil dan tinggal di tempat ini. Kini, Kota Jakarta telah sesak dengan perumahan, gedung-gedung dan asap dari pabrik serta asap dari berbagai macam kendaraan yang ada di Kota Jakarta. Aku juga memperhatikan jalan-jalan yang ada disana sambil melihat-lihat, suasana apa yang akan ku abadikan di kameraku ini.
            Aku Nayla Karina Risa, biasa di panggil Nayla. Aku masih duduk di bangku SMK Kelas 3. Aku senang memotret keindahan alam di muka bumi ini. Aku pun berniat untuk menjadi seorang PhotoGrapher. Tiba di Taman Bunga daerah Cibubur, aku memarkirkan motorku dan melihat-lihat suasana pemandangan indah di tempat itu. Aku mulai mengambil gambar dengan kamera kesayanganku yang merupakan hadiah ulang tahun dari Papa di usia ke 17 tahun yang lalu.
           Mulai dengan jeprat-jepret objek disana, lihat dan hapus jika gambar tidak sesuai dengan yang ku inginkan. Ketika sedang asyik melihat-lihat gambar di kameraku, Seorang cowok duduk di samping ku dengan santainya.
“Hai, boleh duduk disini kan?”
“Ehg? Iya duduk aja selama bangku taman ini masih jadi tempat umum.”
“Kamu suka foto-foto ya?”
“Iya, kenapa?”
“Gak, Cuma nanya. Pernah kepikiran buat jadi FotoGrafer?”
“Iya. Itu sih cita-cita aku..”
“Oh, ya.. kebetulan aku ngambil jurusan itu.” Aku menoleh ke arahnya.
“Serius? Emang kuliahnya udah semester berapa?”
“Baru semester 2..”
“Belom mahir ah..”
“Eits, siapa bilang.. gak percaya?? Sini kameranya.” Dia mengambil kamera ku, dan langsung memotretku.
“Eh, songong. Main jepret aja.. Bilang dong kalo mau foto, kalo dadakan kayak gini kan jelek jadinya..”
“Oh, jadi mau cantik gitu fotonya?”
“ya iyalah.. ha ha ha..”
“Kita belum kenalan lho, aku Angga. Kamu?”
“Nayla..”
“Namanya bagus. Cantik pula..” Katanya sambil memotretku lagi.
“Ih, apa sih..” Aku mengambil kameraku dari tangannya.
              Singkat cerita, aku berkenalan dengan Angga. Cowok manis yang di Taman tadi. Kami pun sempat bertukar nomer telepon. Angga yang ku ketahui baru berusia 20 tahun, masih menunjukan sikap seperti pada umumnya usiaku.
             Sejak kejadian itu, aku berhubungan baik dengannya. Ia sering menjemputku sepulang sekolah.
 “Nay.. nonton yuk?” Ajak  Angga, saat aku menaiki motornya.
“Kapan?”
“Besok Nay, ya sekarang lah..”
“Oh, hehe.. oke oke.. Nonton apa?”
“Horor berani?” Tantangnya.
“Siapa takut..” Balasku.
            Aku dan Angga menuju bioskop, ia memesan tiket dan membayar tiketku pula. Akhirnya kita masuk ke studio 3 di kursi nomor 4 dari belakang, dan berada di tengah-tengah. Film yang kami tonton memang horor, dengan judul “Darah Kembang Desa”. Sebenarnya aku sedikit ragu, dari judulnya saja sudah menyeramkan dan terkesan dewasa, paling-paling yang di sajikan berisi pemerkosaan dan pembunuhan.
             5 menit kemudian, film di putar. Angga membeli beberapa camilan untuk menemani kami menonton film. Aku duduk di samping kanan Angga. Benar saja, baru saja film di mulai, adegan di film itu sedang memperkosa gadis cantik dengan tanpa belas kasihan lalu di bunuh dan di buang di tepi laut. Sebelum di buang, wajahnya di buat menjadi tak dapat di kenali orang dengan cara mencongkel mata kirinya dan bagian pipi di sayat. Sungguh naas gadis itu. Arwahnya kini bergentayangan mencari pelaku yang telah merusak kehidupannya dan membunuhnya secara tidak manusiawi.
            Aku sempat menutup mataku pada adegan-adegan tertentu, apalagi saat penampakan wajahnya yang sudah hancur. Tanpa sengaja, aku meraih tangan Angga dan memeluknya lalu berusaha menutup mataku. Ketika kami sadar, aku cepat-cepat melepaskan tanganku dari lingkaran tangannya.
“Maaf Ngga..” Kataku sambil membetulkan kakiku yang merapat.
“Gak apa-apa Nay, gue tau loe takut kan?” katanya setengah berbisik.
Aku mengangguk.
“Berarti dugaan gue benar, kalo loe...... PENAKUTTT !!! hahahaha” Ejeknya.
“Ih, dasar loe. Gue gak takut kok, Cuma refleks aja tadi.” Sangkalku.
“Haha, iya iya. Gue tau lu sungguh-sungguh penakut.” Katanya sambil mengacak-acak rambutku.  Aku tersipu malu.
           Setelah film habis, aku dan Angga makan terlebih dahulu. Aku mengenal Angga, walaupun hanya baru beberapa hari, Angga merupakan sosok yang baik, humoris dan perhatian padaku. Setelah makan, aku di antar pulang olehnya.
***
           3 bulan bagiku cukup untuk saling mengenal satu sama lain, aku resmi berpacaran dengannya, aku senang sekali. Aku selalu merasa menjadi perempuan yang paling beruntung, menemukan cinta Angga. Aku pun tak sabar ingin mengenalkan Angga pada kedua orangtuaku dan kakakku.
           Malam minggu, mungkin malam yang panjang menurut kami yang berpacaran. Maka, Angga dengan tegasnya akan menemui kedua orangtuaku. Aku sangat bahagia menanti kehadiran tepat jam 8 malam. Secantik mungkin kubuat diriku agar tidak mengecewakan Angga. Papa dan Mamaku sangat open dalam menerima pacar-pacarku. Mereka tidak mau membuat aku dan Kak Mery menjadi anak yang durhaka hanya karena tidak di restui hubungannya. Lagi pula, selama hubunganku masih dalam batas normal, sah-sah saja.
           Angga memang laki-laki yang konsekuensi dalam menyikapi segala hal, ia tepat datang pukul 8. Aku menyambutnya dengan sukacita. Aku mempersilahkan ia masuk ke dalam rumahku untuk menemui orangtuaku yang telah menantinya.
“Papa..Mama.. ini Angga..” Kataku memulai pembicaraan.
“Malam Om..Tante.. Saya Angga.” Sapa Angga sambil mencium tangan kedua orangtuaku.
“Angga? Anaknya Prabowo Sudirman?
“Lho kok Om tau?”
“Jadi.. kamu  Angga Wijaya Harahap?” Tanya Papaku. Aku mengernyitkan dahi.
“Iya Om.. Saya Angga Wijaya Harahap. Maaf Om, apa sebelumnya kita saling kenal?” Tanya Angga.
“Kamu? Berani kamu datang ke rumah ini? Hah?” Tegas Papa, dengan suara yang tinggi.
“Maaf Om, apa maksudnya.” Tanya Angga heran.
“Kamu masih pura-pura bodoh? Apa kamu tahu, siapa yang telah menggagalkan proyek terbaru perusahaan saya yang telah saya bangun dari nol? Hah? Itu ayahmu ! Ayahmu yang telah mengambil semua harta keluarga saya, hanya untuk menghidupi dan mewariskan hartanya untuk Angga Wijaya Harahap ! dan saya terpaksa mengeluarkan kembali dan memulainya dari nol. Perusahaan saya bangkrut karena ulah Papamu yang biadab itu.” Jelas Papa. Aku, Mama dan Angga hanya terkejut mendengar pengakuan Papa.
“Tapi Om, itu bukan kesalahan saya. Apa saya harus menanggung kesalahan Papa saya?”
“Tapi dia tetap orangtuamu. Apa saya harus berbesan dengan orang yang telah menghancurkan keluarga saya? Dan hampir merebut istri saya hanya karena saya tidak mampu melunasi hutang-hutang di bank? Apa harus saya melakukan itu?”
           Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Papa katakan, mengapa dunia ini begitu sempit. Mengapa harus Angga yang mennggung kesalahan orangtuanya. Dan mengapa harus Angga yang menerima caci maki dari Papa???
“Saya dengan tegas menyatakan MENENTANG HUBUNGAN KALIAN BERDUA !!!!!!” Tegas Papa.
“Papa? Papa ngomong apaan sih. Papa gak seharusnya ngomong begini, aku sayang sama Angga Pa.” Tentangku.
“Apa yang kamu harapkan darinya? Apa? Hanya cinta? Hanya materi? Papa bisa mencarikan kamu yang 1000x lebih baik dari anak perebut segala hal ini.”
“Om, mungkin Papa saya salah. Untuk itu atas nama Papa, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya, dan izinkan saya untuk menjalin hubungan yang baik dengan Nayla, putri Om..” Sahut Angga.
“Tidak ! sekali saya katakan tidak, saya tidak akan menyetujuinya.. Silahkan Anda cari beribu-ribu orang seperti Nayla. Karena saya tidak akan mengizinkan kalian berhubungan.”
“Papaaa.. Papa kenapa begini Pa? Kenapa Papa larang Nayla Pa? Kenapa?? Ini masalah yang sepele Pa, bisa di atasi dengan kepala dingin.” Kataku sambil bersujud pada Papa.
“Sudah Nay, ayo berdiri.  Ayo Nay..” kata Mama membantuku untuk berdiri. Aku pun berdiri.
“Ma, Papa Ma..”
“Nayla. Untuk apa kamu menangisi orang ini? Sudah lupakan orang ini. Anda silahkan tinggalkan rumah ini dan jangan pernah kembali ataupun menghubungi Nayla.”
“Saya akan pergi, namun saya akan kembali membawa Nayla kepangkuan saya. Berarti Om adalah sosok orang yang tidak tahu dimana Om harus meletakan kebencian Om pada orang lain. Terima Kasih, Selamat Malam.. Nay, aku pulang.. aku tidak akan menghubungimu kembali.” Angga pulang.
“Anggaaaaaa.... Papa jahat, Papa gak ngerti rasanya jadi aku.” Aku berlari menuju kamarku.
***
          Aku mulai mendekati ujian percobaan, atau biasa disebut Try Out. Aku masih tetap menanti kabar dari Angga yang Sebulan ini tidak menghubungiku dan tidak tahu dimana keberadaannya. Aku pun tidak di percayai Papa untuk ke sekolah sendirian. Aku selalu di antar jemput oleh sopir pribadi keluarga kami.
         Hari-hari tidak terduga jatuh di hari ini, Angga menemuiku saat aku berada di Kantin Sekolah. Aku senang sekali, aku bahagia bertemu dengan Angga setelah sekian lamanya kami Lost Contact. Aku memeluknya, bahkan tidak ingin melepaskan genggamanku.
“Nayla, maafin aku. Aku belum bisa jadi yang terbaik untuk Nayla.”
“Itu udah lebih dari cukup kok, bersama kamu udah bikin aku senang.”
“Aku ingin kita mengikat cinta kita Nay..” Aku terkejut.
“Apa maksudmu?” Tanyaku tidak mengerti, dan aku melepaskan genggamanku, dan menatapnya.
“Aku ingin kita menikah Nay, agar hubungan kita di restui oleh orangtua kita. Papaku juga tidak menyetujui hubungan kita Nay..” Jelas Angga.
“Tapi, aku masih sekolah Ngga, aku masih ingin meraih cita-citaku. Aku ingin lulus dan kuliah seperti yang aku impikan selama ini..”
“Nay, itu bisa kamu dapatkan ketika kita telah mengikat cinta kita Nay..”
“Tapi dengan cara apa kita menikah? Tanpa wali, tanpa restu orangtua. Mau jadi apa kita nanti??”
“Aku telah memikirkan selama sebulan ini. Aku bisa mengatasinya Nay, berjanjilah padaku agar kita menikah secepatnya.” Tangan Angga menggenggam erat tanganku.
“Angga, kamu serius?”
“ya Nay.. sepulang sekolah nanti, kita harus pergi dari sini. Aku telah membawa uang yang cukup untuk keperluan kita nanti.” Jelasnya.
Aku mengangguk pasrah..
***
         Sepulang sekolah, aku dan Angga pergi tanpa diketahui oleh Pak Tarmin supir pribadiku. Kami pergi menuju Bandung dengan mobil Angga dan tinggal di villa milik Papanya Angga.
“Angga, kita tinggal disini?” Tanyaku di sebuah Villa berukuran sedang.
“Ya Nay, kita tinggal disini sementara waktu.” Jawabnya sambil membersihkan debu di sofa.
“Kamarnya ada berapa?”
“Ada satu. Gak apa-apa kan? Kita juga akan menikah.”
“Tapi..” tanyaku ragu.
“Gak ada yang harus di khawatirkan Nay..” Katanya sambil memelukku dari belakang.
***
          Malam harinya, kami menonton televisi sambil menikmati hidangan yang di masak oleh Angga, malam itu aku benar-benar bimbang, gelisah, takut dan rindu akan Papa dan Mama. Namun, tiada yang lebih berkesan selain bersama dengan Angga.
“Nay, di minum dulu tehnya.”
“Iya..” Jawabku sambil mengambil gelas dan menyeruput teh.
“Nay, tadi koper dimana? Ada baju kemeja aku gak?”
“Ntar dulu, aku liat dulu ya..” aku beranjak dari sofa dan menuju koper di kamar tidur.
            Aku membuka-buka isi tas koper. Saat asyik mencari, tiba-tiba kepalaku menjadi pusing dan pandanganku kunang-kunang. Sempat aku memanggil Angga, dan akhirnya aku jatuh pingsan.
***
            Keesokan harinya, ketika aku terbangun, aku tersadar bahwa aku tidak memakai sehelai benangpun, hanya selimut yang menutupi tubuhku. Aku terkejut bukan kepalang, apa yang terjadi padaku semalam? Aku pun segera memakai kembali pakaianku dan pergi mencari Angga. Kulihat, Angga sedang asyik menonton tv di ruang tengah, sambil minum secangkir teh.
“Angga.. Kamu ngapain aku? Kenapa aku bisa gak pake baju Ngga??”
“Nay, udah bangun?” Ia berdiri menghampiriku.
“Angga, aku serius.”
“Nay, udah lah. Gak usah di permasalahin, aku bakal tanggung jawab, ini maksud dari semua ucapanku. Ini satu-satunya jalan supaya kita di restui.”
“Tapi gak kayak gini Ngga, kamu tuh gak mikir apa? Aku belum lulus UN ngga. “
“Nay, plis.. gak usah di pikirin. Aku akan bertanggung jawab.” Angga memelukku.
“Janji? Angga plis, tepati janji kamu. Aku gak mungkin hidup sendiri menanggung beban ini.”
“Janji.. Aku janji, besok kita cari penghulu, dan kita akan menikah. Aku janji akan selalu melindungimu..”
***
          Tepat pukul 10 pagi, kami menuju tempat untuk meresmikan hubungan kami. Dengan mobil Angga, kami mencari dimana tempatnya. Saat di perjalanan, ada sebuah mobil menyetop mobil yang kami kendarai, pengemudi turun dan membentak kami agar kami juga turun.
“Angga, jangan.. jangan turun Ngga.. Bahaya.” Kataku melarang.
“Nay, aku sudah berjanji akan selalu melindungimu. Percayalah, jika aku tidak kembali kamu boleh membenciku. Tapi, itu tidak akan terjadi. Aku akan kembali untuk Nayla..” Ia mencium keningku dan keluar dari mobil menemui si pengendara.
         Aku yang sudah khawatir, hanya menunggu di dalam mobil dengan perasaan yang gusar dan tidak menentu. Aku takut bagaimana nasib Angga dan aku saat ini. Tuhan, bantu hamba Tuhan..
       Aku mulai panik, saat Pria berkulit hitam itu memukul Angga hingga Angga terjatuh dan bercucuran darah. Aku ingin membantunya, tetapi kaki ini tak mampu melangkah untuk menyelamatkan kekasihku yang sedang tersungkur di kaki pria itu. Sesaat kemudian, Pria itu pergi dan aku tidak melihat kemana Angga. Apa mungkin Angga dibawa oleh pria berkulit hitam dan bertubuh kekar itu? Tuhan, aku panik saat itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Dimana Angga? Bagaimana dengan nasibku?
        30 menit aku tetap berada di dalam mobil tanpa melakukan apapun, selain menangis. Ya, aku menangis. Menangisi apa yang teelah terjadi padaku saat ini. Mengapa aku begitu bodoh meninggalkan keluargaku dan memilih Angga? Sekarang dimana dia, Tuhan? Apa yang harus ku lakukan? Apa aku pulang ke rumah dan menanggung malu ini sendirian? Menanggung caci dan maki dari orangtuaku, terutama Papa.. apa aku harus menanggung hinaan dari orang-orang sekitarku, Tuhan?
         1 jam berlalu.. hingga 3 jam aku menunggu Angga di dalam mobil tanpa mengenal lelah menunggunya, dengan perasaan yang gelisah. Akhirnya kuputuskan, aku pulang ke rumahku dengan membawa mobil Angga, serta menanggung malu ketika benih ini berkembang. Aku tepiskan sejenak rasa yang ada di hati, dan fokus pada perjalananku menuju rumah, walaupun di iringi dengan derasnya air mataku.
***
           Sesampainya aku di depan rumah, aku ragu. Namun, aku beranikan diri.. Satpam yang bertugas menjaga rumahku, segera membukakan pintu pagar dan memberitahukan kepada orang di rumah bahwa aku pulang dengan selamat.
“Naylaa... Kamu kemana Nay? Kamu gak pulang dari kemarin..” Tanya Mama.
“Darimana kamu Nay?” Tanya Papa.
“Aku habis dari rumah teman yang di Bandung, maaf Ma..Pa.. aku gak kasih kabar, karena bener-bener happy, jadi lupa deh..” Kataku berbohong,
“Bukan pergi dengan Angga kan Nay?” Tanya Papa.
“Gak Pa, aku pergi ke rumah Inez temen SMP aku.”
           Aku meneruskan hidupku, tanpa bayang-bayang Angga lagi.
****
           2 bulan kemudian, aku mulai merasakan ada hal aneh yang membuat diriku ada yang tidak beres. Aku mual, muntah dan terasa di ulu hati, seperti ada yang mengganjal. Aku mulai khawatir dengan peristiwa sewaktu aku di Bandung. Apa aku hamil? Mengandung benih dari Angga? Ya Tuhan.. mengapa kau memberi cobaan ini, terlalu banyak.. Apa yang harus ku lakukan Tuhan??
          Tak banyak pikir, aku membeli alat untuk mengetes kehamilan. Dan sudah kuduga, aku hamil dengan tanda dua garis merah di alat tersebut. Aku menyesal atas perbuatanku 2 bulan silam. Aku takut, sedih dan bingung dengan cara apa aku membesarkan calon bayiku nanti tanpa seorang pendamping. Belum lagi hinaan apa yang akan kulalui selama aku mengandung. Aku pun belum mengahadapi UN dan akan mengahadapi Try Out yang pertama.
***
           Kini saat di sekolah, aku lebih banyak diam tanpa beraktivitas seperti yang ku lakukan dulu. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di kelas.
“hai Nayla, boleh duduk gak?” Tegur Andi, memecahkan lamunanku.
“Eh, Andi.. duduk aja.”
“Nay, kok akhir-akhir ini, loe aneh. Diem aja, gak kayak dulu..”
“Ehg? Ngga ah Ndi, gue biasa aja.”
         Tiba-tiba, rasa mual itu datang lagi, aku segera berlari ke arah toilet meninggalkan Andi, yang terheran-heran melihat tingkahku.
         Tuhan.. cukup, hentikan penderitaan ini Tuhan.. Aku lelah. Aku akui, ini kesalahanku, mengapa dulu aku terlalu bodoh untuk melakukannya bersama kekasihku, yang kini ntah dimana. Apa boleh, janin ini tak ada? Apa boleh aku membiarkan janin ini tidak dapat hidup?
***
“Nayla..” panggil Andi saat aku ingin pulang.
“Andi..”
“Pulang bareng yuk?!” Ajaknya.
“Tapi, gue nanti di jemput..”
“Tenang, tadi gue udah ijin kok sama bokap loe.. Yuk?”
         Aku mengangguk. Kami pun masuk ke dalam mobil Andi. Aku percaya Andi telah izin kepada Papa, karena Andi sering main ke rumah dan kami telah bersahabat sejak aku duduk di kelas 1 SMA.
“Nay.. aku perhatiin kamu benar-benar aneh.” Tanyanya saat mengemudi.
“Aneh gimana ya Ndi?”
“ya, aku juga kurang ngerti. Tapi, kamu aneh. Yang sering muntah, makan mangga yang kemarin di bawa Vera. Kamu ngga hamil kan Nay?”
“Ndi, kamu kok ngomong gitu sih?”
“Maaf Nay kalo aku lancang. Maaf banget ya Nay..”
Aku mengangguk.
“Oh iya Nay, kamu belum punya pacar kan?” Katanya mengalihkan pembicaraan.
“Belum.. kenapa?”
“Ya ngga. Nanya aja, kamu kan cantik, baik masa belum punya pacar. Tapi, bukannya dulu kamu deket sama Angga. Angga kemana?”
“Ehg? Ehmm... aku gak tau Ndi. Oh iya, kita langsung pulang atau????” Kataku mengalihkan pembicaraan.
“Kita makan dulu ya Nay..”
            Kami mampir ke restoran jepang, salah satu tempat makan favorit kami. Kami memesan menu yang berbeda agar bisa saling mencicipi. Sebelumnya, aku memesan Sushi kesukaan Papa, untuk kubawa pulang dan ku berikan padanya. Setelah kami makan, kami kembali ke mobil dan menuju ke rumah. Aku yang lupa mengambil pesanan tadi, terpaksa ke dalam restoran, dan Andi menungguku di dalam mobilnya.  Selesai kuambil, aku kembali ke dalam mobil Andi.

“Yuk Ndi.. Udah nih buat Papa..” Kataku. “Andi, kok ngeliat gue gitu banget, ada yang salah?” Tanyaku.
“Nay, kamu bisa jelaskan apa ini??” Katanya sambil menunjukan testpack di tasku yang selama ini kusimpan di dalamnya. Aku terkejut, tak bisa berkata apapun.
“Nay, jawab gue Nay.. Ini apa Nay? Ini punya lo?” Katanya setengah mendesak.
“Ehg, ehg.. itu.. itu..”
“Ini apa? Tespect lo kan? Punya lo kan? Lo hamil Nay? Sama siapa Nay ?? Katanya sambil mengoyakan badanku.
“gua udah mulai curiga waktu lo bertingkah aneh. Sama siapa Nay?” Aku diam. “Siapa Nay?!!!!!” Bentaknya.
“Angga.” Kataku berbisik dan mulai menitikan air mata.
“Angga? Trus sekarang mana Angga Nay? Kenapa bisa lo begini sih Nay?
Aku terisak. “Gue emang bodoh Ndi, Bodoh banget. Angga di culik sewaktu kami di Bandung.”
“Bandung? Ngapain lo di Bandung? Apa waktu, lo pulang bilangnya pergi sama temen SMP?” aku mengangguk.
“Astaga Nay.. lo tuh. Ah , bingung gue sama lo Nay. Trus sekarang harus gimana?” Andi memelukku. Aku hanya menggeleng, meratapi kebodohanku.
***
        Kini aku tak sendiri menjalani kehidupan yang berat ini. Ada Andi yang selalu setia menemaniku di setiap lengkah-langkah ini. Segala rasa ngidamku telah di tuntaskan semuanya oleh Andi, bahkan kebutuhan segala vitaminku terjaga. Andi mampu menjaga rahasia ini sampai ada waktu yang tepat untuk mengatakan hal ini kepada semuanya. Tak pernah terbesit lagi olehku akan menghilangkan janin ini dari rahimku. Aku membiarkan janinku ini hidup di tempat yang paling kokoh dan kelak akan menjadi anak untukku. Walaupun aku telah memikirkannya, bagaimana nanti ketika aku melahirkan tanpa suami? Belum lagi ketika anakku tumbuh besar, ia akan bertanya “Mana ayah?” Tuhan.. bantu aku..
       Usia kehamilanku menginjak 4 bulan dan telah menunjukan betapa bedanya perutku dari biasanya. Aku mulai khawatir bagaimana jika keluarga, teman bahkan guru-guru tahu aku sedang mengandung. Sementara 3 bulan lagi aku harus menempuh UN. Aku masih berusaha menutupi kehamilanku dengan menggunakan baju-baju yang besar dan selalu memakai jaket dengan alasan aku sakit.
***
        Sepandai-pandainya tupai menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. Papa, Mama dan Kak Mery mulai menyadari kejanggalan yang ada. Hari itu aku  pulang bersama Andi. Andi menyempatkan mampir ke rumah.
“Aku pulang..” Kataku menyapa keluarga.
“Nayla..” tegur Papa. “Duduk kamu..”
Aku mulai duduk di samping Mama dan Kak Mery, dan Andi duduk berhadapan denganku.
“Ada ceritakah yang ingin kamu bagi untuk keluarga ini?” Tanya Papa.
“Maksudnya apa Pa?”
“Akhir-akhir ini kamu senang memakai pakaian yang serba besar, dan kak Mery pernah memergoki kamu muntah-muntah. Bisa kamu jelaskan?”
         Aku takut bukan main, aku gugup, bingung dan terasa ingin lari dari tempat yang seketika membuatku panas dingin.
“Nayla.. Jawab Papa.. !” Bentak Papa.
“apa kamu hamil Nay?” Tuduh Kak Mery.
Seisi ruangan seketika menatapku penuh tanya.
“Jawab NAYLA !!!!!” kali ini suara Papa mampu membuat jantung seketika berhenti berdetak.
Aku mulai menangis.
“Dan akhir-akhir ini juga, kamu Andi. Sering menjemput dan mengantar Nayla pulang, justru tak jarang kamu menginap disini?”
“Maaf Om, bukannya lancang. Nayla, ini waktunya.....” Belum selesai Andi berbicara, Papa segera bangun dan memukul Andi.
“Bruuukk.. !”
“Om, apa-apaan ini Om..” Tanya Andi.
“Kamu menghamili anak saya kan? Hah? “bruukkk !”
“Papaaaa, bukan Andi Pa..”  Kataku sambil melerai.
“Alah...” “Prakkk !” tamparan Papa mengenai wajahku, aku pun tersungkur. Mama dan Kak Mery membantuku berdiri.
“Papa, bukan Andi Pa.. Bukan.. !” Kataku kembali melerai.
“Om, maafin......” Kata Andi terpotong “Bruuuuk !” Andi dipukul kembali.
“Papa, cukup Pa.. Bukan Andi Pa.. tapi Angga..” Kataku sambil berteriak.
        Papa terkejut, ia menoleh ke arahku. Selangkah demi langkah, Papa menghampiriku.
“Apa maksud kamu Angga, Hah? Apaa Nayla???? Angga yang menghamilimu? Iya?? Desak Papa.
Aku mengangguk.
“Anak kurang ajar.. “Praaaak !!” “ Tamparan itu melayang kembali ke wajahku.
“Sudah Om.. sudah..”
“Apa kamu? Selama ini saya percaya padamu untuk menjaga Nayla, tapi kenapa kamu biarkan ia bersama Angga. Kenapa Andi??”
“Bukan salah Andi Pa.. salah Nayla..” Kataku.
“Maafkan saya Om, saya tidak bisa menjaga Nayla sepenuh hati saya. Maaf Om.. demi rasa bersalah saya, saya akan menggantikan Angga bertanggung jawab atas kehamilan Nayla.”
Aku terkejut.
“Apa? Apa kamu yakin Andi?” Tanya Mama.
“Iya Tante, saya yakin.” Jawabnya dengan tegas.
***
         Aku bahagia sekali mendengar perkataan Andi semalam, bahkan Papa dan Mama tidak begitu khawatir, walaupun setelah kejadian semalam, Papa masih acuh padaku, karena kesalahanku menancapkan besi panas di hati mereka. Namun, aku tak sabar menunggu Andi untuk menjemputku pagi ini.
         15 menit berlalu, Andi belum menjemputku. Aku khawatir ia terjadi yang tidak-tidak. 35 menit, bahkan satu jam ia tak menjemputku. Aku pun terpaksa tidak bersekolah hari ini.
           Keesokan harinya,  kejadian Andi tidak menjemputku terulang kembali. Aku pun terpaksa di antar supir pribadi dan ke sekolah tanpa Andi.
             Sesampai di sekolah, tak kutemukan batang hidung Andi yang biasa selalu menyapaku. Aku khawatir dengan Andi. Tiba-tiba, seseorang memanggil namaku.
“Nayla..” Terdengar seperti suara berat memanggilku. Aku pun menoleh ke belakang.
“Pak Amar, ada apa Pa?”
“Kamu di panggil Bu Retno di ruangannya.” Jelas Pak Guru.
“Baik Pa” Aku mempercepat langkah kakiku menuju ruangan Bu Retno, kepala sekolahku.
         Perasaanku semakin gusar, di tambah sakit dari perutku.
“Ibu, ibu memanggil saya?” Sapaku, sebelum masuk ke ruangannya.
“Masuklah.. dan silahkan duduk..”
“Nayla, ibu sudah tahu permasalahan yang kamu hadapi sekarang ini. Kamu juga sudah tahu Nayla, dimana peraturan ini berlaku bahwa siswi tidak di perkenankan bersekolah jika hamil.” Katanya. “Kamu pun tahu, bahwa kamu siswi terpandai di sekolah ini. Mengapa kamu menjadi seperti ini Nay?”
Aku menangis. “Maafin Nayla Bu.”
“Maaf? Untuk apa kamu keluarkan kata maaf? Kamu tidak bersalah pada Ibu. Tetapi kamu mempunyai masalah dengan dengan banyak murid yang bersekolah di tempat ini. Orangtua  Mereka khawatir dengan keadaan anaknya yang bersatu sekolah denganmu. Maka dari itu, Ibu dengan berat hati, mengeluarkan kamu dari sekolah ini.”
“Ibu, jangan Bu.. Maafin Nayla Bu, jangan keluarin saya Bu...” Kataku memohon.
“Apa lagi yang harus Ibu lakukan Nayla, apa Ibu mempertahankanmu tetapi murid-murid pindah dari sekolah ini? Apa Ibu juga harus menanggung kehamilan kamu nanti? Kenapa kamu harus melakukannya Nay? Ibu kaget setelah Orangtua Andi menelpon Ibu dan meminta anaknya untuk di pindahkan ke sekolah lain.”
Aku terkejut, Andi pindah? Tuhan, cobaan apa lagi ini Tuhan?
“Besok, orangtua kamu. Harus menemui Ibu. Ini surat pemanggil Orangtuanya.”
“Terima Kasih Bu..” Kataku sambil keluar ruangan.
            Tuhan, apa lagi ini? Mengapa Andi meninggalkanku? Dengan siapa aku nanti Tuhan? Apa lagi setelah ini Tuhan? Kemana perginya Andi?
            Aku kembali ke kelas dengan air mata yang tak berhenti menangis. Aku pun terpaksa meninggalkan sekolah, setiap ruangan demi ruangan, tak henti-hentinya hinaan itu mulai menghampiriku.
“gak nyangka, diem-diem udah tekdung.”
“Makanya kemaren sama gue aja, gue pasti tanggungjawab nih sekarang.”
“Kasian ya Nayla.. mau aja sih di ajakin.”
“Cuma orang yang bodoh ngelakuin hal kayak gitu.”
“rasain lo, makanya punya cowok cakep dikit jangan sombong..”
Aku berteriak “Aaaaah, cukup !!!!!!! Ayo hina lagi hina ! biar kalian puas. Ayo !!!”
“Puas kalian menghina Nayla? Cukup kalian hina, coba kalian pikir, berapa sakit penderitaan yang ia alami? Bukan dia yang menghendaki ini semua.” Tegas Wulan, teman sebangkuku. “Ayo Nay pulang..”
               Tuhan.... aku mohon, hentikan permainan ini. Aku tak sanggup melewatinya. Ini terlalu berat Tuhan. Ampuni aku Tuhan..

***
             Aku pulang dengan menangis dan segera mencari Mama yang berada di halaman belakang.
“Mamaa....” kataku sambil memeluknya.
“Lho Nayla, ada apa? Kenapa udah pulang?”
“Aku di keluarkan dari sekolah Ma..” Isak tangisku histeris.
“Kenapa Nay? Apa mereka sudah tau?”
“Udah Ma, Mamanya Andi yang bilang ke Ibu Retno. Andi pindah sekolah Ma...”
“Tuhan.. Mengapa menjadi seperti ini anakku?”
***
“Apa?! Kamu di keluarkan?” Kata Papa membentak.
“Lihat akibat perbuatanmu. Puas kamu menyiksa keluarga ini? Hah? Ini gara-gara kamu Nayla....... Mau taro dimana muka Papa Nayla? Dimana? “ Praaak !” Papa menamparku.
“Maafin Nayla Pa.. Nayla janji gak akan nyusahin Papa lagi.”
“Sudah Pa.. bagaimana pun Papa marah, memukul Nayla. Gak akan kembali Pa. Sudah Pa.. Kita harusnya sabar Pa, kasih semangat untuk Nayla berjuang hingga melahirkan. Bukannya menjatuhkan Nayla seperti ini.” Tegas Mama.
“Kamu memang bodoh Nayla, sangat Bodoh ! Besok Papa akan menemui guru kamu, dan kamu ini yang terakhir Nayla. Sekali lagi kamu berbuat seperti lagi. Tidak ada kata maaf untukmu, dan namamu Papa hapus dari keluarga ini.” Kata Papa berlalu.
***
“Nayla, Papa harap ini yang terakhir Nay. Semula, ibu kepala sekolah menolakmu kembali ke sekolah. Tapi, karena selama ini kamu menjadi siswi yang baik. Maka ketika UN nanti, kamu di perbolehkan mengikuti UN di sekolah tetapi kamu belajar di rumah.” Jelas Papa.
“artinya, Nayla gak boleh ke sekolah lagi Pa?” Tanyaku.
Papa menggeleng. “Bahkan Tryout pun kamu mengerjakannya di rumah. Salah satu agar kamu tidak tertinggal pelajaran, kamu harus mencari guru privat.”
         “Braaaaak !” Bagai batu menghantam wajah dan hatiku. Aku tidak lagi di perkenankan mengikuti Tryout minggu depan di sekolah, melainkan di rumah. Aku juga, tidak dapat bersekolah lagi. Hanya Ujian Nasional nanti aku di perkenankan mengikutinya di sekolah.
***
         Usia kehamilanku kini menginjak 8 bulan, baru kurasa, rasa capeknya membawa kandungan, susahnya tidur dan panasnya punggung ini. Berat rasanya kujalani kehidupan ini. Tanpa pendamping, tanpa teman, dan tanpa Andi.. Andi, dimana dirimu? Mengapa Andi tega meninggalkanku dan tak menemuiku lagi.
         Walaupun terasa berat kujalani. Tapi, aku mencoba sabar menjalaninya. Mama, Papa dan Kak Mery mulai menjaga kehamilanku. Mama pun rajin mengantarku ke Dokter Kandungan setiap bulannya, dan keadaan janinku baik. Papa sering membawakanku makanan yang baik untuk kehamilanku. Aku masih bersyukur, walaupun keadaanku seperti ini, tapi rasa sayang mereka padaku tidak berkurang. Aku belajar di rumah sesuai dengan pelajaran di sekolah, walaupun jika aku terlalu lama duduk, pegal yang tak terkira sakitnya.
         2 minggu lagi, aku akan mengikuti Ujian Nasional di sekolah. Aku senang, karena aku akan kembali ke sekolah, namun aku malu bertemu teman-teman dengan perut yang sudah membesar ini.
***
“Nayla, pokoknya jangan dengerin kata temen-temen, yang penting kamu bisa mengerjakan UN pertama ini dengan baik dan lancar..” Kata Kak Mery menyemangatiku.
“Oke Kak..”
“Yang benar ya Nay, jangan gugup. Santai aja..” Kata Papa.
“Baik Pa.. Aku berangkat..”
          Di sekolah aku sangat malu bertemu dengan teman-teman yang pernah mengejekku dahulu, tapi ada yang aneh. Mengapa mereka terlihat menyapaku dan tersenyum padaku seakan mereka menyambutku dengan hangat. Aku membalas senyumnya.
“Welcome to our school Naylaaaaa...” Kata Wulan dan Vera.
“Thank you..” Balasku.
“Siap buat berjuang hari ini?” Tanya Vera.
“Siap..” 
          Bel dibagikan soal telah di bunyikan. Aku mengerjakan dengan santai pada mulanya. Namun, beberapa menit kemudian. Aku merasa mual, dan perutku sangat sakit. Aku merintih dalam hati, aku merasakan sakit, sakit yang belum kurasakan sebelumnya. Tuhan..... sebentar saja, sebentar Tuhan hilangkan rasa sakit ini. Aku ingin menyelesaikan tugasku ini.
          Kawan, kalian tahu. Sakitnya melebihi sakit saat aku menstruasi dan sakit maag. Ini sakit yang sungguh-sungguh sakit. Namun aku berusaha mengerjakan walaupun dengan tangisan.
         Bel berbunyi. Aku telah selesai mengerjakan UN hari ini.
***
          Hari ini, hari terakhirku Ujian Nasional. Aku sekuat tenaga menyelesaikan. Walaupun kali ini, lebih sakit dari yang kemarin. Sakit Tuhan, sakit yang tidak tertahankan. Rasanya seperti perutku ini diperas oleh tangan-tangan besar.
“Sabar ya sayang, biarkan aku menyelesaikan Ujian ini..” Kataku sambil mengelus perutku, mencoba bicara dengan janinku.
         Ujian selesai teman.. aku bahagia sekali, walaupun tak pasti dengan jawabanku. Tak ada konsentrasi. Aku disambut oleh Papa, Mama dan Kak Mery di depan kelasku.
***
         2 hari kemudian, ketika aku baru bangun tidur. Tiba-tiba aku mulai merasa mulas dan sakit sekali. Aku berteriak memanggil nama Mama, Papa, dan seisi yang ada di rumah.
“Ah, sakit... Mama.. Papaa...”
“Ada apa non?” Tanya Bibi.
“Sakit Bi.. Sakit.. sakit sekali Bi.. Sakit bi..” Aku pingsan.
         Aku tersadar, aku sadar bahwa kini aku di bawa ke rumah sakit.
“Nayla, kamu akan melahirkan sebentar lagi sayang..” Kata Mama.
“Tapi Ma, aku masih 8 bulan.”
“Kandunganmu stres Nay, ia harus segera di keluarkan. Jika tidak, kamu bisa kehilangan calon anakmu.” Jelas Mama.
“Naylaaaaaaaaaa... Lihat ada siapa yang datang?” Teriak Kak Mery.
“Hai Nayla..” Sapa cowok dari luar pintu.
          Astaga, Andi. Cowok yang berbulan-bulan meninggalkanku sendiri, melewati berbagai rintangan sendiri.
“Andi..” kataku. Andi mendekat ke arahku.
“Iya Nay, ini Andi.. Maafin aku ya Nay, aku menghilang begitu saja. Ceritanya panjang Nay, tapi aku telah bernegosiasi dengan keluarga, bahwa setelah kelahiranmu nanti, aku akan menikahimu. Dan keluargaku menyetujuinya, asal setelah aku Ujian.” Jelasnya.
“Jadi, kamu?”
“Iya Nay, aku akan menikahi Nayla.” Katanya sambil mencium keningku. “Berjuang ya Nay, buat kelahiran kamu nanti. Jangan gugup. Kelak akan jadi anak kita.”
“Andi.. terima kasih..” Kataku.
***
         Aku masuk ke ruangan operasi karena aku terlalu lemah untuk melahirkan secara normal. Aku di caesar. Namun, anakku lahir dengan selamat, anak yang cantik. Aku bahagia sekali.
“Anaknya cantik.. secantik Mamanya.” Kata Andi memuji.
“Ibu, ini anaknya. Sebaiknya di peluk, agar anaknya hangat. Ini Bu..” Kata suster sambil meletakan anakku di atas tubuhku.
“Hai..” Kataku menyapa anakku.
         Sesungguhnya, aku pun belum siap memiliki anak, bahkan aku terlalu kaku untuk menyebut diriku Mama untuknya.
“kok hai sih Nay? Ini kan anak kamu..” Kata Papa.
“Tau nih Nayla, cantik ya pa anaknya..” Kata Mama. Papa mengangguk.
        Tiba-tiba anakku batuk dan sesak nafas, aku panik namun tak bisa membantu mengangkat anakku. Mama segera mengambil anakku dan membalikan tubuhnya dan di gendong Mama.
“Suster.. Suster..”teriak Andi.
           Suster dan dokter datang memeriksa anakku.
“Sus, ambil Inkubator..” Perintah Dokter.
           Anakku di letakkan di Inkubator. Perlahan, batuknya mulai menghilang, namun nafasnya menjadi tidak teratur. Anakku di bawa ke ruang operasi.
            35 menit kemudian. Dokter kembali ruanganku. Dari mimik wajahnya, ada yang tidak beres. Aku khawatir.
“Ibu, sekeluarga di harapkan agar sabar dalam menghadapi cobaan. Anak Ibu Nayla, mengalami sesak nafas, karena air ketuban masuk dan terhirup bayi Ibu. Ia gagal nafas, dan mengehembuskan nafas terakhirnya.” Jelas dokter.
             Tuhan... mengapa kau ambil anakku kini? Apa yang salah denganku Tuhan? Aku bahkan baru memeluknya sebentar. Tuhan, adilkah ini untukku?
“Tidak bisa di selamatkan Dokter?” Tanya Papa panik.
“Tidak Pak, ini yang di khawatirkan jika melahirkan prematur dan melalui caesar.”
“Sabar ya Nay..” Kata Kak Mery. Dan Mama tak henti-hentinya memelukku.
             Tuhan, jika ini yang Kau minta. Ambillah.. sesungguhnya anakku adalah titipan dari- Mu. Mungkin, engkau tak mengizinkanku menjaganya. Tetapi, aku sangat menyayangi anakku, Hanya ia yang setia menemaniku di setiap tempat dan di setiap waktu.
“Nak, maafkan Mama. Mama memang tak pantas menjagamu. Tenang lah kamu disana.”
             Tuhan, izinkan aku memeluknya lagi Tuhan, sekali saja ia tersenyum padaku dan pergi dengan tenangnya. Jaga ia Tuhan.. Lindungi dia Tuhan. Pertemukan kembali kami saat aku menyusulnya pergi menemui-Mu Tuhan...
*TAMAT*
By: Fzhuzie@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar