Aku tau kok, aku
gak cantik secantik perempuan yang lain. Aku memang gak sempurna dibanding yang
lainnya. Aku bukan tidak bersyukur atas apa yang Tuhan berikan selama ini.
Tetapi aku hanya iri, mengapa aku tidak seperti mereka. Mengapa Tuhan tidak
adil?
Namaku Rahma Gladys Niatra. Aku
berumur 16 tahun, aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Hari - hariku di isi dengan
penuh keceriaan. Bagiku, tak mau aku melewatkan hari yang indah hanya untuk
merenung diam tanpa melakukan sesuatu. Aku cukup di segani banyak temanku.
Mereka bilang aku ramah, baik, dan bijaksana. Banyak teman yang menganggapku
sebagai teman curhat mereka dalam pemecahan masalahnya. Aku memang senang
membantu dan memecahkan jalan keluar jika ada suatu masalah. Bagiku, itu mudah.
Masalah dapat di selesaikan dengan hati yang dingin dan melalui nalar logika.
Banyak kesan dan pesan yang ku dapat
dari berbagai masalah dari teman-teman. Aku menyukai itu. Walaupun aku tidak
berfisik sempurna seperti orang kebanyakan, tapi aku percaya diri dengan
tubuhku yang lebih dari temanku yang lain. Aku tak pernah minder ataupun malu
dengan ini. Menurutku, semua ini adalah ciptaan Tuhan yang harus kita syukuri.
Walaupun di saat-saat tertentu aku minder dengan postur tubuhku ini. Tapi, lingkungan
yang membuatku semangat dan semakin percaya diri. Di usia ku yang menginjak
dewasa, rasa ingin mengetahui cinta pun ku alami. Aku mulai menyukai lawan
jenis yang menarik bagiku. Tipe idealku gak muluk-muluk. Hanya baik, sopan
santun, dan taat agama. Ya.. itulah tipe idaman cowokku. Tapi di jaman sekarang
ini, jarang sekali orang yang seperti itu, apalagi dengan postur tubuhku
begini. Kebanyakan cowok sekarang lebih memilih wanita yang cantik. Itu juga
yang kudapat dari teman cowokku yang curhat kepadaku.
Di sekolah, aku menyukai teman
kelasku. Ia Ferry. Aku memang dekat dengannya. Tak heran teman-teman bahkan
guru-guru pun menganggap kami berpacaran. Sebenarnya aku berharap demikian.
Tapi, sudahlah.. hanya mimpi di siang bolong jika aku bersamanya. Ia keren,
pintar, kreatif dan sangat ramah. Entah sudah berapa episode kami saling
menceritakan kisah kami. Aku senang dapat mengenalnya lebih dekat.
“Ma,
gua mau cerita nih. Gua naksir si Dian. Kira-kira kapan yaa waktu yang tepat
buat ungkapin perasaan gue?” Tanyanya. Pertanyaannya membuatku tak bersemangat
untuk menjawab. Aku yang menyimpan perasaan padanya, tetapi ia lebih memilih
orang lain. Aku rasa aku memang tak cantik, tak sepadan dengan Dian yang begitu
sempurna di mataku. Aku menghembuskan nafas. Mencoba bersabar dengan apa yang
kudengar. Aku pun tak mau membuat ia menunggu lama atas jawabanku.
Aku
menjawab “Ya, terserah loe aja. Liat kondisinya aja dulu.” Berat rasanya
menjawab pertanyaannya.
“Tapi,
kalo dia nolak gue gimana?” Tanyanya.
Pertanyaannya
membuatku gusar. “Hanya orang bodoh yang nolak segala kesempurnaan lo, Fer..”
Kataku dalam hati.
“Gak.
Percaya sama gue. Dian pasti suka juga sama lo..” Aku segera berlalu
meninggalkannya.
***
Hari semakin gelap, menandakan malam
segera menghampiri. Aku yang sedang mengerjakan PR di kejutkan oleh kakakku
dari belakang.
“Hayoo..
ngerjain PR sambil ngelamun. Kenapa lo ?” Tanya Kak Radit.
“Gak
apa-apa kok, Kak.” Balasku.
“Ah,
bohong. Pasti lagi galau. Ciie, ade gue bisa galau.” Ejeknya.
“Iih.
Apaan sih kak. Siapa yang galau. Aku lagi happy juga. Nih......” Kataku sambil
menunjukan senyum paksaan.
“Ah,
terpaksa tuh senyumnya. Gue tau dek, lo lagi galau, si Ferry abis nembak Dian
kan??” Tanyanya membuatku kaget.
”Kok
kakak tau Ferry sama Dian jadian?”
“Tau
lah, mata-mata gue kan banyak. Udah gak usah di pikirin. Sekolah dulu yang
bener, jangan pacaran dulu.” Katanya menasehatiku.
“Ehhmm,
bisa banget lo kak, bilang aku gak boleh pacaran. Lah kakak? Pacarnya aja udah
banyak banget.” Kataku membalikan.
“Ya
elah dek. Gue kan udah gede.” Jawabnya.
“Gede
apaan? Kakak kan kelas 3 SMA, beda 1 tahun doang kelasnya sama aku.‘’
“Yaa,
kan waktu SD lo ikut aksel dek. Kebalap setahun gue. Ya udah sekarang gini.
Terserah deh kalo lo mau pacaran. Tapi.. emang lo punya pacar dek? Temen deket
aja gak ada, ada tapi udah jadian sama orang lain.”ejeknya sambil tertawa
kecil.
Kata-katanya
barusan membuatku semakin terpuruk sedih. Aku tak dapat menjawab pertanyaannya.
“Kenapa
lo dek? Ngambek? Ya elah, gue becanda kok. Katanya sambil mengacak-acak
rambutku.
Aku
masih terdiam. Sesekali aku menjatuhkan air mata.
“Udah,
ga usah di pikirin, gue Cuma becanda. Udah lanjutin belajarnya biar pinter.”
Katanya sambil meninggalkan kamarku.
Kata-katanya
benar membuatku down. Entah apa
maksudnya. Tapi, kusadari memang beginilah keadaanku.
***
Aku bukan tipe orang yang terlalu
larut dalam kesedihan dan renungan. Aku pun telah melupakan kata-kata Kak
Raditya semalam. Sesampai di sekolah, aku bersikap seperti biasanya tanpa ada
rasa sedih ketika tahu bahwa Ferry berpacaran dengan Dian. Aku mulai terbiasa
dengan hal itu. Bagiku, untuk apa aku menangisi orang yang tak memikirkan
perasaanku. Toh, itu hanya membuatku terganggu.
“Rahmaa..”
Panggil seseorang dari belakang. Aku pun menoleh.
“Eh,
Tyas. Kenapa Yas?”
“Ngga,
apa-apa Cuma mau bareng aja. Hehe..”
“Ooh, ya udah yuk..” Ketika aku dan Tyas
sedang menuju kelas. Ada seorang cowok keren dengan motor Ninja merah-nya turun
dari motor.
“Yas,
kak Renaldi keren yaa?” Tanyaku pada Tyas.
“Iya
ya.. Tapi gue heran, kenapa sampai saat ini masih jomblo. Padahal banyak lho yang
naksir sama dia. Termasuk lo..” Balasnya.
Aku
mengagumi kakak kelasku yang begitu tampan. Namanya Kak Renaldi. Ia pemain
basket di sekolahku, pengajar ekskul musik, dan aktif dalam kegiatan agama
pula. Cowok tipe idamanku banget ya Allah... Aku pun tak pernah melewati
pertandingan-pertandingan basketnya. Aku benar-benar mengaguminya. Aku rasa dia
tahu perasaanku padanya. Karena aku sering memperhatikannya, dan teman-temanku
pun sering mengejekku bila dia ada.
“Ciie..
Rahma. Ada kak Renaldi tuh..” ejek Fira.
“Ih,
Fira. Jangan mulai deh.” Balasku. Aku pun sambil meliriknya. Ternyata, dia
tersenyum akibat ejekkan itu. Aku pun hanya bisa membalas senyum padanya.
Hubungan aku dan kak Renaldi semakin dekat, karena kegiatan-kegiatan ekskul
kami yang sama. Rasa yang ada di hatiku pun semakin menjadi-jadi. Aku semakin
mencintai Kak Renaldi. Aku merasa bahwa kak Renaldi pun mempunyai rasa yang
sama padaku, karena perhatiannya padaku selama ini.
***
“Rahma..”
Panggil kak Renaldi padaku.
“Kenapa
kak??” Jawabku.
“Ehm,
aku gak tau mau bilang apa sama kamu. Tapi ini bener-bener murni perasaan aku.
Aku sayang banget sama kamu. Aku juga cinta sama kamu. Ya.. Mungkin ini terlalu
cepat. Tapi aku gak peduli, aku juga yakin kamu suka sama aku. Makanya itu, kamu
mau gak jadi pacar aku?” Tanyanya.
Kejutan
itu bagaikan membuatku lemas, namun aku sangat bahagia. Ucapan itu seakan
ucapan yang tak pernah sebelumnya aku bayangkan. Aku hanya diam seribu bahasa.
“Eh,
si Rahma.. di tanya malah diem. Gimana Rahma?? Aku di terima gak sama kamu?”
Pintanya sedikit merayu.
“Ehgg..
gimana ya kak..” jawabku dengan gugup.
“Kenapa
Ma? Gak di terima ya?
“Ehm,
bukan bukan.. aku..aku.. aku sebenarnya suka juga sama kakak, tapi aku malu..”
“Malu?
Malu kenapa??”
“Kakak
gak malu punya pacar kayak aku?” Tanyaku ragu-ragu.
Renaldi
terdiam.. lalu tersenyum.
“Rahma..
aku menyayangi kamu bukan dari fisik atau yang lain, tapi aku menyayangi kamu
dari hatimu. Kamu mampu membuat orang di sekitarmu tersenyum, termasuk aku..
Gak usahlah kamu pikirin omongan orang lain nanti. Yang ngejalanin kan kita
berdua. Yang merasakan, cuma kita berdua, Ma.”
Aku
terdiam.
“Kak..
kakak yakin??”
“ya
! Sangat yakin. Aku yakin hubungan kita ini pasti sangat spesial.”
“Oke.
Aku terima Kakak..”
“Serius?
Yeeeeeee.... terima kasih Rahma.. Aku janji bakal jadi orang yang sangat
menyayangi kamu.” Katanya kegirangan.
Hari
itu menjadi hari jadian aku dan Kak Renaldi. Aku senang sekali. Kabar ini pun
sampai di telinga Kakakku.
***
Aku
sedang berbaring dikamar sambil mengingat-ingat kejadian tadi siang. Tak pernah
aku sangka, aku akan menjadi perempuan yang sangat beruntung. Tiba-tiba pintu
kamarku terketuk.
“Masuk..”
Kataku. Aku segera duduk menyambut kedatangan seseorang dari luar kamarku.
“Lo
lagi ngapain?” Tanya kak Radit.
“Lagi
happy..”
“Maksudnya?”
“Kakak
belum tau aku jadian sama Kak Renaldy?”
“Hah?
Lo jadian sama Renaldi? Katanya terkejut.
“Iya
kak, emang kenapa??”
“Gak
apa-apa sih.. lo suka sama Renaldi?
“Banget
kak ! malah cinta.”
“Tapi,
gue gak yakin dia punya perasaan yang sama kayak lo Ma..”
“Kenapa
ngomong gitu sih Kak? Kakak gak suka aku jadian sama Renaldi? Mentang-mentang
aku gak punya pacar, sekalinya punya pacar kakak giniin aku..”
“Dek,
gue gak maksud kayak gitu. ”
“Alah,
boong. Kenapa sih Kak, kakak pacaran apa aku pernah ganggu? Nggak kan? Apa
karena Kak Renaldi pacar pertama aku, kakak jadi semaunya. Aku udah dewasa Kak,
aku juga berhak menentukan siapa yang bisa aku jadikan kekasih. Gak usah lah
Kakak ikut-ikutan.”
“Terserah
deh, Ma.. gue Cuma kasih tau, lo bakal nyesel nanti..” bentaknya sambil
membanting pintu kamarku.
***
Hari-hariku
pun terasa indah bersama Kak Renaldi, pulang antar jemput itu selalu dilakukannya.
Tak ada kesan mencurigakan seperti yang Kak Radit katakan padaku. Hingga hubungan
kami pun menginjak 4 bulan. Aku semakin cinta akan kehadirannya di hidupku, entah
mengapa ia kini menyayangiku lebih dari yang dulu..
***
Saat bel pulang sekolah tiba, aku
telah janjian bahwa akan pulang bersama dengan Renaldi menggunakan motorku,
karena motornya di bengkel. Ketika aku menuju ke kelasnya di lantai 2, aku
mendengar percakapan teman-teman Kak Renaldi. Di tempat itu kira-kira ada 5
orang Siswa.
“Eh si Aldi, kok masih betah yah sama si balon
tiup itu?” Kata salah seorang siswa.
“Tau
tuh, taruhannya kan udah berakhir dari 2 bulan yang lalu. Apa jangan-jangan si
Renaldi suka beneran sama si Rahma?” Sahut teman yang lain.
“Kok
mau sih Aldy?”
“Eh,
tapi si Rahma manis kok, pinter juga lagi.”
“Ah,
itu mah lo aja yang naksir”
“Terus,
masalah taruhan gimana tuh? Eh, Zal. Lo udah lunasin taruhannya kan.”
“Sampai
berapa bulan sih?” 2 bulan doang kan?
“Iya
lah.. perjanjian dia jadian sama si Rahma kan Cuma 2 bulan, kalo udah 4 bulan
gini gue gak tanggung jawablah.”
“yoiii....”
Hatiku
bagai tersayat pedang panas mendengar ucapan mereka. Aku hanya menangis
mendengar apa yang mereka nyatakan barusan. Aku segera berlari menuju parkiran
motor, lalu aku pulang. Hari itu bagaikan hari yang menyesakkan dalam hidupku.
Di perjalanan pulang aku berusaha menahan tangis. Sesampai di rumah aku segera
berlari menuju kamarku. Aku meluapkan kesedihanku saat itu. Aku menangis
sejadi-jadinya. Mengapa Kak Renaldi tega menjadikanku bahan taruhan dengan
teman-temannya...
Tiba-tiba
tanda bunyi pesan masuk pun terdengar dari tasku. Aku segera meraih tasku dan
melihat siapa pengirim pesan tsb, lalu membacanya. Ternyata dari Kak Renaldi.
“Rahma..
kamu dimana? Kakak nyariin kamu. Kok motor kamu di parkiran udah gak ada.
Jangan bilang kamu udah pulang..”
Aku
tak membalas pesannya. Aku kembali menangis... ku dengar ketukan pintu dari
luar kamarku. Aku segera bangun dan membukakan pintu. Kak Radit sudah ada di
depan pintu.
“Rahma...
nonton yuk. Film kesukaan kita udah tayang nih..”
“Ngga
ah. Aku lagi males kak..”
“Ntar
dulu, kenapa mata lo? Abis nangis?”
“Gak
apa-apa..”
“Cerita
gak !” Katanya sedikit memaksa.
Kami
duduk di tepi tempat ranjangku. Aku menceritakan pada Kak Radit tentang apa
yang ku alami barusan. Wajah Kak Radit berubah seperti akan memuntahkan amarahnya.
“Kan
gue udah bilang, dia itu gak bener. Sialan banget, liat aja. Lo tunggu sini,
gue mau samperin dia.” Bergegas pergi.
Kak
Radit entah kemana aku tak tahu, aku lebih memilih istirahat dan tertidur
pulas.
***
Kak
Radit menuju rumah Kak Renaldi. Setelah memarkirkan motornya di depan rumah Kak
Renaldi, Kak Radit segera mengetuk pintu rumah Kak Renaldi. Kak Renaldi pun
keluar dari rumahnya.
“Eh,
Radit.. tumben maen ada apaan?”
“Jangan
banyak bacot loe.” Kak Radit memukul Renaldi.
“Apa-apaan
ini?”
“Apa-apaan?
Hah? Pura-pura bego lo? Lo jadiin adek gue bahan taruhan kan! Sialan lo. Emang
dari awal gue udah gak percaya waktu lo jadian sama adek gue, lo sama bejatnya
waktu lo putusin Della seenak jidat lo !”
“Tapi,
gue beneran gak ngerti”
“Ikut
gue, lo..”
Kak Radit dan Renaldi pun menuju ke rumahku.
Sesampai di rumahku, Kak Radit membangunkanku, dan menyuruhku menemui serta
membiarkan aku berbicara dengan Kak Renaldi di halaman belakang. Aku pun
bersiap-siap, dan mengusap mataku agar tak terlihat seperti habis menangis. Aku
pun menemui Kak Renaldi.
“Rahma..”
Sapanya. “Kamu kenapa? Habis nangis? Memandangku.
“Nggak
! Kak, lebih baik hubungan kita, kita cukupkan sampai disini aja..”
“Lho
kenapa?” Tanyanya heran.
“Kenapa?
Kakak masih nanya kenapa? Kakak jadian sama aku karena taruhan uang sama temen-temen
Kakak kan? Hebat banget, Kak..” Kataku sambil menahan tangis.
“Rahma..
mungkin memang sudah waktunya aku harus mengatakan hal yang sebenarnya sama
kamu.”
“Bagus,
kalo gitu apa yang mau kakak bilang? Kakak mau bilang Kakak bahagia dapet uang
itu? Banyak ya Kak uangnya? Terus abis ini aku mau dikemanain? Diputusin?
Ditinggal? Atau digantung?” Kataku ketus.
“Bukan
gitu Ma.. Jujur, awalnya aku memang memperalat kamu sebagai bahan taruhan aku
dan teman-teman. Tapi...” ucapannya terpotong.
“Tapi
apa Kak? Apa ???” aku mulai menangis
“Tapi
aku tak berniat untuk membuatmu sakit hati, kamu tahu hubungan kita sudah annive yang ke 4 bulan, kamu pasti
tahu pertaruhan itu hanya kita menginjak hubungan ke 2 bulan. Aku gak pernah
menggunakan uang itu sepeser pun, aku pun mulai mencintaimu ketika masa taruhan
itu akan berakhir. Makanya aku putuskan agar lebih lama, karena aku mulai
mencintaimu.”
Aku
terdiam mendengar ucapannya.
“Asal
Kamu tahu Rahma, aku tak peduli dengan apa yang orang katakan tentang hubungan
kita yang berawal dari sebuah taruhan. Aku justru bangga, selain aku mendapat
uang taruhan itu, aku juga mendapat cinta kamu. Tapi sejujurnya, aku gak
berniat untuk mempermainkan kamu..” tambahnya.
“Kenapa
harus dengan cara ini sih Kak? Itu sama aja Kakak mempermalukan aku di hadapan
teman-teman Kakak. Kenapa Kakak terima taruhan itu?
“Kakak
menerima taruhan karena kakak bingung, kamu tahu setelah kakak putus dengan
Della? Saat itu aku seakan mati berpisah dengannya, Della menghancurkan
hubungan kami dengan perselingkuhannya, lantas aku pun menjadi serba salah.
Lalu aku putuskan dia, setelah kami putus, untuk menghilangkan rasa cintaku
pada Della, aku menyetujui saran teman-teman untuk mencari penggantinya, dengan
taruhan itu, justru aku mendapatkan kebahagiaan secara istimewa, aku
menemukanmu lebih dari segalanya, itulah alasanku untuk mempertahankan hubungan
kita, Ma..”
Aku
terdiam. Kini tangannya menggenggam erat tanganku.
“Rahma,
percayalah. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kita selalu bersama untuk hari
ini, esok dan selamanya.. Jangan ada ragu untuk kisah kita, Ma. Hubungan ini
hanya kita yang menjalani, bukan mereka.”
“Tapi,
ini bukan bagian taruhan lagi kan, Kak?”
“Nggak..!
Sama sekali nggak. So?”
Aku
tersenyum.
“Terima
kasih lagi Rahma, aku sangat menyayangi kamu.. Nggak akan ada kata taruhan lagi.
Dan jangan ungkit masalah ini lagi, Oke! Udah gak usah nangis, jelek ah .. ”
mengusap air mataku dengan tangannya.
“Oh
iya, uang taruhannya belum aku balikin. Tapi gak usah ya, buat tabungan kita
menikah nanti.” Tambahnya.
Kak
Renaldi mencium keningku, lalu memelukku dengan erat. Kami pun kembali bersama.
Aku berjanji tak akan mengkhianatinya seperti Della yang dulu menduakannya.
Setidaknya aku harus berterima kasih pada teman-teman Kak Renaldi, karena
berkat saran mereka. Kami dapat menjalin sebuah kisah yang aku impikan sejak
dulu.
*TAMAT*
By: fzhuzie@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar