Maghfira
Sabrina Carissa itulah nama lengkapku. Selalu dipanggil Fira. Seorang perempuan
yang akan lulus Ujian Nasional tahun ini dan akan masuk Perguruan Tinggi Negeri
di salah satu kampus ternama di Jakarta. Karena zaman sudah makin canggih,
sampai mendaftar kampus pun kini mulai menggunakan sistem online. Aku sendiri
sudah mendaftar SNMPTN online dan memilih 2 kampus ternama untuk melanjutkan
studiku dan berharap akan diterima disalah satu PTN yang kupilih tersebut.
Setelah
menyelesaikan Ujian Nasional, kami diperbolehkan untuk bebas. Ingin masuk ke
sekolah atau tidak, tidak akan mempengaruhi absen seperti biasanya. Karena aku
ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi, maka tak terbersit pun untuk mencari
pekerjaan. Sedangkan teman-temanku sibuk mencari pekerjaan, baik yang akan
melanjutkan maupun tidak. Aku sendiri sebenarnya ingin, tetapi apa bisa seorang
lulusan SMK Kesehatan bisa mencari pekerjaan diluar dari Kesehatan? Karena, aku
sendiri telah memutuskan untuk meninggalkan dunia kesehatan yang sangat aku
banggakan untuk menjadi seorang Accountant.
Ya, mungkin keputusanku ini membuat sebagian orang terdekatku tidak menyangka.
Tapi, dilihat dari sisi ketertarikan, aku lebih menyukai pekerjaan di kantor.
Oke, tanpa ragu aku tekad bulatkan keinginanku.
***
“Ayah,
kayaknya Fira mau cari pekerjaan deh.”
“Mau
cari kerja apa?” Jawab ayahku sambil membalik korannya.
“Ya,
apa aja. Yang penting ngisi kesenggangan. Daripada bete dirumah. Boleh gak
Yah?”
“Ya,
boleh aja. Tapi ingat, kalau nanti udah mau masuk kuliah, kamu harus Resign. Nanti malah gak bisa fokus sama
kuliah kamu. Terus carinya yang daerah sini aja, kan banyak tuh Market-market
didepan jalan.”
“Ah,
tapi gak mau nyari daerah sini ah. Ntar kalau ketemu sama temen-temen dari SD
sama SMP gimana? Masa anak kesehatan lari jadi kasir market?”
“Kamu
itu.. Fir, dengerin Ayah yah. Cari kerja itu apa aja. Gak boleh membandingkan
yang satu dengan lainnya. Yang penting halal. Lagi pula, kamu cari kerja kan cuma
mengisi waktu kosong kamu kan?”
“Iya
sih Yah, yaudah aku sama Putri besok mau
ke DC marketnya deh. Mau ngelamar.”
“Yang
benar jawabnya kalau ditanya. Jangan tegang. Terus, jangan jauh-jauh, nanti
kalau pulang malam kan bingung siapa yang mau jemput. Kalau Ayah ada dirumah,
kalau nggak?”
“Coba
di izinin punya pacar, pasti ada yang jemput. Hehehe..” Kataku sambil berlalu.
“Belajar
dulu yang bener.” Teriak ayah.
***
Keesokan
harinya, aku, Putri, dan Nayla teman rumahku, datang ke pusat Market yang
berada di daerah Bogor. Kami pergi menuju Market yang sedang membuka lowongan
pekerjaan sebagai kasir dan pramuniaga.
“Permisi Mbak, saya mau tanya.
Disini kalau melamar pekerjaan, boleh gak yang tanpa ijazah, soalnya belum
turun ijazahnya?” Sapaku.
“Boleh kok, dicoba aja dulu. Banyak yang
kemarin melamar tapi baru lulus. Yang penting ada surat keterangan bekerja dari
sekolah.”
“Kalau itu ada Mbak.”
“Ya sudah, besok hari Rabu kalian
datang aja jam 8 pagi.”
“Oh yaudah, makasih ya Mbak.”
***
Hari ini, aku akan memastikan bahwa
aku akan menjadi salah satu pegawai di Market yang sering aku kunjungi itu.
Sebelumnya, aku sudah latihan tanya jawab interview agar tidak canggung dalam
menjawab pertanyaan sang Personalia.
“Selamat Pagi.”
“Pagi.....”
Jawab kami.
“Baik,
terima kasih telah bergabung bersama dengan perusahaan kami. Saya ucapkan
selamat datang kepada calon pekerja di Perusahaan ini.” Sapanya membuka
percakapan.
Bagian
Personalia itu ada tiga orang. Yang satu, berperawakan tinggi dan agak sedikit
gemuk. Yang kedua berperawakan sedang dan agak tua, mungkin senior. Dan yang
ketiga, berperawakan sedang, putih dan sangat enak dipandang. Kuketahui namanya
Wahyu Fajar dari tanda pengenal yang ia kalungkan.
Berbagai
penjelasan Wahyu katakan untuk menjelaskan profil dari perusahaannya. Sesaat
aku perhatikan, ia sepertinya sedang memandang orang dibarisanku, atau
mungkin... Aku? Karena dibelakangku hanya ada cowok, dan didepanku memang
perempuan, tapi aku yakin ia memperhatikan atau sedikit mencuri pandang ke
arahku. Awalnya aku biasa saja. Tapi makin lama makin diperhatikan, ada rasa
penasaranku juga rupanya. Aku juga mencoba melirik ke arahnya, dan benar, dia
memperhatikan aku. Astaga, aku gugup. Aku mencoba duduk dengan tenang sambil
mendengarkan penjelasannya.
Tes
dimulai dengan tes psikotest, menggabungkan beberapa gambar menjadi satu, lalu
diikuti dengan berhitung soal matematika dan penghitungan koran mulai dari
bawah keatas. Ya ampun, harus seribet ini kah untuk mendapat posisi sebagai
kasir? Tapi gak apa-apa sih, ini juga untuk melatihku ketika aku akan bekerja
di Perusahaan besar kelak.
Semua
bagian Personalia melihat cara kerja kami, termasuk Wahyu juga berkeliling
melihat pekerjaanku. Aku sudah mengerti semua instruksinya, tapi Wahyu terlihat
tetap mengajarkanku seakan aku memang tidak mengerti apapun. Lumayan sedikit
terhirup aroma parfumnya yang melekat dihidungku. Masuk ke tahapan body check.
Kali ini, tanpa kuduga, dia yang memintaku untuk terlebih dahulu di cek
olehnya. Oh my God. Hari apa ini???
Sampailah
pengumuman siapa yang lolos seleksi dari psikotest dan body check. Syukur
Alhamdulillah aku, Putri dan Nayla lolos dalam ujian seleksi pertama. Kami pun
disuruh beristirahat, dan kembali pukul setengah 1 siang.
“Alhamdulillah,
akhirnya lolos juga.” Kataku.
“Iya,
seneng banget.” Jawab Putri.
“Ada
seleksi lagi gak ya? Jangan-jangan ntar disaring lagi.” Kata Nayla.
“Ya,
berdoa aja semoga diterima.”
“Amin..”
Masuklah
ke tahap interview. Semua pelamar namanya mulai disebutkan satu persatu untuk
di wawancara oleh personalia. Dari serangkaian tes, aku selalu dihadapkan dan
diuji oleh Wahyu, kalau sampai interview juga sama Wahyu, kayaknya jodoh nih.
Hahaha.
Benar.
Aku di wawancara oleh Wahyu. Wah, ini kebetulan atau memang berjodoh?
“Namanya
siapa Mbak?” Tanyanya.
“Maghfira.”
“Umurnya?”
“18
tahun.”
“Oh
18, kirain masih 15 tahun.”
Aku
tersenyum sekenanya.
“Ada
rencana mau melanjutkan kuliah?” Aku mengangguk. “Mau ambil jurusan apa?”
“InsyaAllah
S1 akuntansi.”
“Ehm..
Sudah mendaftar?”
“Belum.”
“Kalau
tahun ini bersedia tidak kuliah bagaimana?”
“Maaf,
Pak. Jika saya tidak bersedia atau tidak, saya katakan tidak. Tetapi, jika bapak
berkenan mengizinkan saya untuk bekerja sambil kuliah, saya sangat berterima
kasih. Karena saya yakin saya bisa membagi waktu antara kuliah saya deng
pekerjaan saya.”
“Oh
begitu. Terus, ada rencana menikah tahun ini?”
“Nggak.”
“Oh,
bagus.”
Bagus?
Apanya yang bagus? Kan gak mungkin aku nikah tahun ini? Baru lulus SMK? Aneh.
“Bersedia
menanggung Nota Barang Hilang” sambungnya.
“Bersedia.”
“Masalahnya,
saya penanggung jawab NBH lho.”
“Iya.”
“Bersedia
dikontrak? Dan menitipkan ijazah asli disini?”
“Bersedia.”
“Oh,
yaudah terimakasih.” Katanya sambil menjabat tanganku.
Sudah?
Segitu aja interviewnya? Rasanya aku di interview paling singkat dari yang
lain. Aneh. Apa aku salah ngomong ya? Aduh..
“Yang
tidak lolos.. 54, 52, 50, 48, 46...” Kata Personalia.
Pengumuman
lolos seleksi akan diumumkan. Disebutkan beberapa yang tidak lolos. 54? Putri..
Hah? Dia tidak lolos? Aku?
“45,
41, 40, 38, 35, 33, 24, dan 1.”
Tidaaaaaak.
Nomor absen 33 disebutkan. Itu tandanya aku tidak lolos dan pulang dengan
sia-sia? Ya Allah.
“Gimana
Nay? Lulus?”
“Lulus.”
Ya.
Aku memang harus pulang berdua dengan sahabatku Putri. Teman rumah yang aku
ajak, malah dia yang diterima. Mungkin karena ia tidak melanjutkan untuk
kuliah, maka dari itu ia diperkenankan.
Kulirik
Wahyu sejenak, sepertinya ada yang salah. Dia seakan tidak ingin melihatku
untuk terakhir kali bertemu dan lebih menyibukkan diri dengan beberapa file di
mejanya. Aku pulang dengan berat hati. Kecewa mungkin, tapi aku anggap sebagai
suatu pelajaran saja. Mungkin pelamar yang lolos seleksi memang sangat
beruntung, dan lebih membutuhkan pekerjaan itu dibanding aku dan Putri yang
hanya sekadar mencari kesibukkan.
***
Sudah kulupakan peristiwa Rabu
kemarin. Berat memang, tapi aku harus menerimanya. Tak kucoba mencari lagi, dan
memfokuskan diri untuk belajar sedikit mengenai pelajaran Ekonomi Akuntansi.
Walaupun aku masih berharap dapat bertemu Wahyu lagi. Hehehehe.
Besok, adalah hari pengumuman
kelulusan se-Indonesia. Aku berharap dan berdoa, aku dan teman-teman satu
sekolah dapat lulus Ujian Nasional. Kubuka perlahan pengumuman tersebut.
Alhamdulillah, Aku lulus. Dan nilainya? Wow. Sungguh membuatku bergidik terkejut.
Nilai yang cukup memuaskan. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih telah
mendengar doaku selama ini. Dan yang lebih mengejutkan lagi, semua
teman-temanku lulus 100 %. Terima kasih ya Allah..
***
3 bulan kemudian....
Tanpa terasa, besok aku akan
memasuki dunia perkuliahan. Dengan semangat, usaha dan doa, akhirnya aku
diterima di Perguruan Tinggi Swasta yang aku dambakan dan menurut beberapa
penilaian, kampusku adalah kampus swasta terbaik di Indonesia. Walaupun aku
tidak di terima di PTN, aku tetap semangat. Aku sadar, lulusan SMK mungkin di
nomor duakan di banding SMA lain, bahkan SMA negeri. Tapi, aku sangat
bersyukur, negeri maupun swasta, aku pikir sama saja. Sungguh lega rasanya kali
ini aku akan belajar tanpa seragam, tanpa PR. Bebas rasanya. Aku segera menutup
mataku dan berdoa lalu tidur.
***
“Hati-hati ya Fir. Kalau udah
pulang.” Kata Ibu.
Aku segera mencium tangannya. Dan
berpamitan.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
Aku memang masuk di PTS seorang
diri, Putri melanjutkan kuliahnya di salah satu Poltekkes negeri di daerah Jakarta
dengan jurusan D3 Keperawatan. Ya, sesuai memang. Karena sudah mempunyai basic kesehatan di SMK dahulu.
“Aww....”
Kataku saat tertabrak cowok dan telah menjatuhkan beberapa bukuku.
“Sorry..”
membantu mengambilkan buku.
“Sakit
tau..” Kataku. Aku menoleh ke arahnya.
“Ya
maaf. Gak sengaja. Gue buru-buru.”
Kupandangi
wajahnya dalam-dalam. Rasanya aku kenal dengan orang ini. Dia juga mulai
memperhatikanku.
“Oh
kamu..” Kataku mengenalinya.
“Lo..”
Katanya mengenaliku.
“Ih..
Misi..” Aku mencoba pergi, namun ia menahanku.
“Lo
yang waktu ngelamar di perusahaan itu kan?”
“Iya.
Dan lo, adalah orang yang nolak gue mentah-mentah.” Jawabku acuh.
“Oh,
bukannya gitu. Perusahaan itu emang gak izinin karyawannya kuliah sambil
kerja.”
“Emang
pelit.”
“Tapi
tenang aja, gue juga udah Resign
kok.”
“Terus
masalah buat gue?”
“Ya
nggak, cuma ngasih tau kalau emang begitu syaratnya. Yang kuliah gak boleh
kerja disana. Adil dong? Lagi juga gue gak tega lo kerja disana.”
Aku
mendengus kesal mendengar ucapannya.
“Lebih
tega mana sama nolak gue? Kalau emang mau nolak, bisa nolak gue dari awal kan?
Jadi gak buang-buang waktu sampai sore.
“Hei..
lo itu cantik. Ya pasti lolos seleksi awal lah. Udah lah gak usah dibahas.
Lagipula lo gak bakal betah. Tapi lo udah dapet kerja ditempat lain kan?”
“Belom.
Dan gak akan gue cari sampai gue lulus kuliah. Puas lo?”
“Ck!
Banyak kok kerjaan yang lebih banyak menghasilkan uang. Udah lupain yang
kemarin.”
“Lo
ngapain disini?” Tanyaku.
“Ambil
S1 disini.”
“Kemarin
lo SMA dong?”
“Udah
D3. Ya sekarang S1 lah. Gak sangka ketemu lo. jodoh kali ya? Ehm, beberapa
materi, kayaknya bakal sekelas nih.”
“Oh.”
Kataku acuh.
“Oh
doang? Masih marah?”
Aku
terdiam.
“Oke,
gue bisa kasih lo satu pekerjaan. Pekerjaannya gampang, mudah, dan gak capek.
Mau gak?”
“Gak
mau ntar ditolak lagi!”
“Ini
kan gue yang nawarin. Mau nggak?? Gajinya 100 ribu.”
“Hah????
100 ribu? Lo ngeledek gue? Mentang-mentang kemaren nolak gue, sekarang mau
ngasih gaji 100 ribu. Gak mau!”
“200
ribu.”
“Rese
ya lo?”
“300
ribu?”
“Freak!”
“400
ribu”
“Apaan
sih? Nggak!” Aku memutuskan pergi. Wahyu mengejarku. Dan memegang tanganku.
“Oke
terakhir. 500 ribu.”
“NGGAK!
Hello.. zaman sekarang tuh semuanya serba mahal. Seenak jidat hargain 500 ribu.
Gak mau. Gue gak mau ya dihina sama lo, Cuma gara-gara...” Ucapanku terputus.
“Perhari.”
Katanya.
“Hah?”
Aku terkejut mendengarnya.
“500
ribu perhari. Gimana?”
“Kerja apaan 500 ribu perhari?”
“Deal!”
Ia mengayunkan tangan kiriku sebagai bentuk persetujuanku.
“Heh!
Kerjanya apaan?”
Mendekatkan
badanku ke arahnya. “Jadi pacar bohongan gue.”
“Hah?
Tapi..”
“Gak
ada tapi-tapian. Ikut gue. Kita temuin temen lama gue. Dan ingat. Lo harus jadi
pacar bohongan gue. Kalau lo nurut, ada bonus 100 ribu buat lo.” Wahyu
menggandeng tanganku dan membawaku pergi.
Gila.
Cuma itu yang aku bisa katakan. Bertemu Wahyu, orang yang pernah menolakku di
perusahaan market waktu itu, dan sekarang mempekerjakanku dengan gaji 500 ribu
perhari hanya dengan menjadi pacar bohongannya? Wow.
***
“Hei..”
Sapa Wahyu, pada beberapa temannya di taman kampus.
“Siapa
tuh?” Tanya temannya.
“Kenalin,
Fira. Pacar baru gue.”
“Cantik
banget. Hei, gue Rizal..” Katanya mengenalkan diri padaku.
“Fira.”
“Beneran
apa bohongan nih pacarannya?” Tanya Rizal.
“Udah
tobat gue, Sob..” Sahut Wahyu.
“Masa?
Kemarin gue lihat lo sama cewek seksi di Mall.”
“Oh
iya? Ih.. siapa lagi sih?” Kataku. Sambil mencubit pinggang Wahyu, dan bersikap manja ke Wahyu.
“Gue
doain semoga lo berdua langgeng.”
“Amin.....”
Sahut Wahyu.
“Heh,
Sob.. Bispak atau Cebar nih?” Kata temannya yang lain.
“Maksudnya?
Eh dengernya, gue itu cewek baik-baik. Sembarangan!”
“Sst..
sabar.. sabar..” Kata Wahyu. “Asli cewek gue, Sob. Parah lo.”
“Ya
kan dulu lo sukanya sama yang begitu.”
Aku
terkejut mendengarnya.
“Ikut
gue!” aku menarik tangannya. Dan kubawa sedikit jauh dari teman-temannya.
“Apaan
sih?” Kata Wahyu.
“Maksud
teman-teman lo apa? Lo dulu suka cari cewek bispak? Ya ampun Omes banget sih
lo.”
“Udah
lah, gak usah didengerin. Tugas lo cuma jadi pacar bohongan gue. Selesai. Gitu
aja repot.” Katanya sambil duduk di bangku taman.
“Tapi
mereka ngiranya, gue bisa di apa-apain.” Aku duduk disebelahnya.
“Emang
siapa yang mau ngapa-ngapain lo? Hah? Emang gue cowok apaan?”
“Lho
itu tadi, temen lo bilang. Lo suka cari cewek bispak yang seksi-seksi.”
“Iya,
buat jadi pacar bohongan gue. PUAS? Gue juga bukan cowok gampangan kali.”
“Oh..
kirain... Tapi... lo kan lumayan. Kok gak cari pacar beneran aja?”
“Ah,
busuk semuanya. Palsu. Gue belom temuin yang serius.”
“Terus,
lo mau bayar gue pake apa? Kan lo udah gak kerja lagi?”
“Hahaha..
perusahaan mana yang mau nolak gue?”
“Maksud
lo?”
“Dimana
pun, pasti terima gue. Gue kerja di market kemarin, karena ada cewek
cantiknya.”
“Kok
lo bisa pede semua bakal terima lo?”
“Gue
gak kerja pun, duit gue ngalir. Tenang aja. Perusahaan bokap gue banyak.
Makanya lo kerja yang bener. Kalau lo ngelakuin hal yang gue suka, gue kasih 1
poin. 1 poin sama dengan 100 ribu. Tapi, kalau lo nolak permintaan gue,
berkurang juga 100 ribu. fair kan?”
“Masa?”
“Iya.
Mau bukti? Coba lo cium gue..”
“Hah?
Ih, nggak.”
“Berkurang
100 ribu.”
“Ih
kok gitu.”
“Perjanjian?”
“Ya,
kalau lo mintanya yang semacam itu, terus gue tolak, abis doang gaji gue?”
“Cium..”
Menunjukan pipinya.
Aku
menggeleng tegas.
“Tinggal
300 ribu.”
“Ih
curang!”
“Cium..”
“NGGAK!”
“200
ribu.”
“Ih,
abis..”
“Cium...”
Menunjukkan pipinya sambil memejamkan matanya.
Aku
ragu. Namun memberanikan diri menciumnya. Setelah menciumnya, aku pergi
berlari.
“Nah,
gitu dong. Mantap. Hahaha....”
***
“Ih,
gila. Hari pertama udah ketemu cowok kayak gitu. Tapi sebenarnya lumayan
gajinya. Tapi ih.. kalau minta cium lagi, gue tampar mukanya.” Kataku sambil
mengusap bibirku.
Saat
melewati kantin, aku terkejut. Aku melihat sosok cowok yang sepertinya tidak
asing juga. Kutegaskan sekali lagi. Wah, dia kan anaknya dokter yang punya
rumah sakit besar, dan buka klinik didekat rumahku. Dia kuliah disini juga toh?
Aku
mengamatinya dari jauh, aku memang suka meliriknya saat bertemunya di jalan.
Dan suka mengikutinya hingga ia sampai ke rumahnya. Ternyata, kuliah dikampus
ini juga? Wah, senangnya...
Aku
memandangnya dari kejauhan, ia sedang duduk sambil membaca buku dan disamping
tangan kanannya, ada jus jeruk segar favoritku. Wah... Sedang asyik mengamati
orang yang belum kukenal namanya, handphone
ku berbunyi. Terlihat di layar ibu memanggilku.
“Hallo..
Assalamualaikum”
“Waalaikum
salam, Fir. Kamu masih dikampus?”
“Iya
Bu, kenapa?”
“Kalau
nanti kamu pulang, mampir ke rumahnya Bu Anita ya, katanya dia mau nitipin
makanan.”
“Oh
yaudah bu, nanti aku kesana. Assalamualaikum.”
“Waalakum
salam”
Aku
mematikan panggilan. Saat melihat ke arah cowok yang tadi kuperhatikan, dia
kemana? Kok udah hilang? Ck. Setelah
kulihat sekitar, tak terlihat sosok cowok tadi. Akhirnya, aku berbalik badan,
dan...
“Ahhhh..”
Aku terkejut, dibelakangku sudah ada Wahyu.
“Ngapain
lo disini?”
“Gak
tau.” Aku pergi meninggalkan Wahyu.
“Makan
yuk..”
Aku
dan Wahyu menuju kantin dan duduk ditempat cowok tadi tempati.
“Lo
apa?” Tanya Wahyu.
“Siomay.”
Wahyu
memesan siomay untukku. Setelah memesan makanannya, ia kembali dan duduk
berhadapan denganku.
“Kenapa
lo dulu ngelamar di market itu?” Tanya Wahyu.
“Ya..
mau bantu orangtua gue lah. Walaupun orangtua gue masih kasih keperluan gue,
tetep aja gue ngerasa udah saatnya gue harus bantu orangtua. Kalau kemaren gue
diterima, kan sampai sekarang gue bisa cukupi kebutuhan gue sendiri. Lo sih
pelit.”
“Masih
aja dibahas. Kerja lo sekarang tuh lebih enak. Udah nikmatin aja. Jarang-jarang
kan lo kerja sama cowok keren dan ganteng kayak gue.”
“Ih..
Oh iya, kok lo berubah sih sekarang? Dulu lo bijaksana banget sekarang? Urakan
dan nyebelin banget..”
“Kurang
ajar. Gue kasih tau ya, dalam dunia kerja itu, semuanya mesti diatur. Dari
mulai penampilan, cara bicara dan sikap. Ya professional lah.. Tapi walaupun
gue urakan, gue ganteng kan???”
“Ih,
pede banget lo..”
“Buktinya,
lo mau cium gue tadi.”
Tiba-tiba
seorang laki-laki menghampiri kami.
“Permisi.
Ada yang lihat kertas selembar dimeja ini?” Tanyanya.
Aku
menoleh. Ternyata cowok yang tadi duduk ditempat ini. Aku segera mencari yang
ia maksud. Kulihat sekitar, dan terlihat kertas jatuh di dekat kakiku.
“Yang
ini..” Kataku sambil memberikan kertasnya.
“Iya.
Thanks ya.”
Aku
mengangguk. Ia mulai pergi meninggalkan kami. Aku masih tersenyum cara dia
menyapa dan meminta kertasnya. Akhirnya, terdengar juga suaranya, selama ini
aku hanya melihatnya dari kejauhan.
“Heh!
Kenapa senyum-senyum? Lo naksir dia?” Tanya Wahyu.
Aku
mengangguk tersipu.
***
Kelasku
telah berakhir. Aku memutuskan untuk pulang sendiri. Hari ini aku cukup banyak
mengenal teman baru. Tak sulit bagiku mengenal satu sama lain, karena mereka
juga sangat ramah dan bersahabat. Saat melewati parkiran motor. Aku melihat
cowok manis yang sampai saat ini belum kukenal namanya. Aku memberanikan diri
menghampirinya.
“Hai..”
Kataku menyapa.
Ia
menoleh ke arahku. “Hai..”
“Masih
inget gue?”
“Inget
lah, lo kan yang tinggal didekat rumah gue dan selalu ikutin gue dari belakang
kan?”
Oh
my God. Dia tahu. Aku tersipu malu mendengarnya.
“Kok
tahu?”
“Kenapa
sih suka ngikutin?” Tambahnya.
“Penasaran
aja sama lo.” Jawabku ragu.
“Sekadar
penasaran atau suka diam-diam?”
Aku
makin terkejut.
“Ih,
apaan sih.. Cuma iseng doang kok..”
Dia
tersenyum. Uh.. Senyumnya manis banget. Baru pertama kali aku melihatnya
sedekat ini.
“Mau
pulang ya?” Tanyaku.
Dia
mengangguk.
“Boleh
bareng gak? Kan rumah kita dekat tuh..” Kataku.
“Bukannya
lo punya motor ya?”
“Hari
ini lagi dibawa adik gue.”
“Oh.
Motor lo Blade hitam orens kan?”
“Iya,
kok tau.” Kataku dengan ceria.
“Kan
suka ngeliat dari kaca spion.”
Oh
my God. Ternyata dia memperhatikan aku juga.
“Jadi..
gimana boleh bareng gak?” Kataku menegaskan.
“Ayo..”
Katanya sambil bersiap.
“Firaaa...!”
Seseorang berteriak dari kejauhan. Saat aku menoleh, ya ampun. Wahyu! Mau
ngapain lagi sih dia. Ia semakin mendekatiku.
“Ayo
ikut gue!”
“Mau
ngapain lagi?” Kataku ketus.
“Makan.”
“Hah?
Makan? Kayaknya baru tadi kita makan.”
“Ayoooo..”
Katanya sambil menarik tanganku.
“Eh
tunggu. Ehm.. sorry, gue gak jadi pulang bareng sama lo.”
“Oh
yaudah, gak apa-apa. Oh ya, kita belum kenalan. Wildan.” Sambil menjulurkan
tangannya.
“Maghfira.”
Aku mengamit tangannya.
“Wahyu.
Pacarnya Fira.” Kata Wahyu sambil melepaskan tanganku dan menjabat tangan
Wildan.”
“Wildan.”
Katanya. “Oh.. Yaudah, gue pulang ya Fir.” Ia menyalahkan motor Blade hitam putihnya.
“Iya.
Dah.. Hati-hati.” Kataku sambil melambaikan tangan.
“Yaudah
sana cepet pulang, hati-hati..” Wahyu menggandeng tanganku. “Ayo.”
***
“Fira..”
Sapa Inez.
Aku
menoleh. Inez menghampiriku.
“Gue
mau tanya. Kak Wahyu pacar lo?”
“Kenapa
emangnya, Nez?”
“Gue
denger pembicaraan Kak Tiwi, dia itu mantannya Kak Wahyu.”
“Mantan
pacar?” Aku sedikit terkejut. Karena yang aku tahu dia Wahyu belum pernah
pacaran. Mungkin sudah. Gak tau.
“Bukan,
tapi mantan cewek bayarannya Kak Wahyu. Tapi kalau lo nggak kan, Fir?
“Ah?
Nggak kok. Gue sama dia udah kenal lama. Gue juga gak mau lah jadi cewek
begitu.”
“Masalahnya,
Kak Tiwi itu nyari lo, Fir. Dia tuh mau bikin perhitungan sama lo. karena
semenjak lo disini, Kak Wahyu jadi perhatiin lo dan ninggalin Kak Tiwi.”
“Masa?
Gue gak kenal sama Kak Tiwi itu. Kok dia kenal gue?”
“Ya
iyalah Fir, waktu kita di ospek mungkin.”
***
Setelah
kelas selesai, aku menuju kantin, sambil melihat-lihat daerah kampus. Hari ini
aku tak melihat dimana Wahyu. Mungkin tidak masuk kampus. Atau?? Entahlah.
Tapi, lucu juga ketika mengingat dulu kami saling pandang saat aku melamar pekerjaan
di market itu. Sekarang, aku malah menjadi pacar bayarannya. Yang masih aku
tidak habis pikir, dulu dia sangat bijaksana, kenapa sekarang dia urakan dan
terkesan kasar?
“Kelas
lo udah selesai?” Tanya Wildan. Membuyarkan lamunanku. Aku menoleh.
“Eh,
lo. Udah kok, baru aja selesai. Mau makan?” Kataku menyilakan.
“Boleh.
Lo makan apa?” Ia duduk di sampingku.
“Mie
ayam.”
“Enak
gak?”
Aku
mengernyitkan dahi. “Kayaknya lo yang lebih tau deh?”
“Gue
gak pernah makan beginian.”
“Oh
iya? Berarti lo harus coba.”
“Boleh.
Bu, mie ayam satu ya..” Katanya memesan.
“Ya..”
Jawab Ibu penjual mie ayam”
“Lo
anak Ekonomi juga kan?” Kataku membuka pembicaraan.
“Iya.”
“Kenapa
gak jadi dokter kayak bokap lo aja? Kan rumah sakit lo banyak.”
“Ehm..
Gak. Gue gak tertarik. Kayaknya bosen lihat tiap hari kerjaan nyokap sama bokap
samaan. Nah, lo kenapa jadi pindah jurusan ke Ekonomi? Bukannya lo dulu sekolah
di SMK Kesehatan?”
Aku
tersenyum.
“Ya,
kayaknya. Gue lebih tertarik sama bidang ini. Kok lo tau juga? Lo kepo ya??”
Mie
ayam pesanan Wildan datang.
“Makasih
bu.” Kata Wildan.
“Hei,
lo kepoin gue ya?”
“Huh,
panas.” Wildan mengacuhkan pertanyaanku. Ia mulai mengaduk mie ayamnya dan
menuangkan beberapa saus ke mangkuk mie ayamnya.
“Wildan!
Gue dicuekin. Lo kok tau?”
“Emang
gue gak boleh tau siapa orang yang suka ikutin gue dari belakang?”
Aku
tertunduk malu.
“Kenapa
gak langsung kenalan aja coba, ngapain pake ikutin gue terus?” Tambahnya.
Wildan mulai meniup mie ayam yang masih panas, dan memasukkannya ke dalam
mulutnya.
“Malu
kali. Emang gue cewek apaan.” Aku juga menyuap mie ayamku. “Gimana rasanya?”
“Enak
ternyata. Wah, cuma sama lo nih gue nyobain mie ayam.”
“Masa
sih lo gak pernah makan mie ayam?”
“Ya.
Lo tau orangtua gue dua-duanya orang kesehatan. Makanya dilarang makan inilah
itulah. Jadi gue gak pernah nyobain.” Wildan terlihat menyukai makanannya.
“Eh,
lo bener pacaran sama Wahyu?” Sambungnya.
“Ya
begitulah.”
“Maaf
nih, Fir. Pacar beneran atau bohongan?”
“Semacam
bayaran gitu?” Kataku menegaskan. Wildan mengangguk. “Kok mahasiswa disini
kayaknya tahu semua tentang Wahyu suka cari cewek bayaran? Apa dia setenar itu
di kampus ini?”
“Dia
kan pernah ambil D3 juga disini, dan baru kemarin lulus. Dan waktu gue jadi
anak baru disini gue juga baru ngerti dia kayak gitu.”
“Maksudnya?
Suka cari cewek yang mau dibayar, gitu?”
Wildan
mengangguk.
“Lo
gimana? Dibayar juga?”
“Ehm....
ini cuma lo sih yang tahu. Sebenernya iya.”
“Kenapa
lo mau?”
“Ya.
Gini awalnya. Waktu gue ngelamar di market dekat rumah, dia yang jadi bagian
personalianya. Ya waktu itu, dia orangnya tuh bijaksana banget, dan kayaknya
gue suka sama dia. Tapi, gue malah ditolak di market itu. Dan sekarang, gue
malah ketemu sama dia, dan dia nawarin kerjaan kayak gitu ke gue, ya gue
terima. Karena kan cuma jadi pacar bohongan dan gajinya lumayan.”
“Berapa?”
“500
ribu perhari.”
“Apa
lo butuh uang segitu banyak?”
“Ya
nggak sih. Orangtua gue sebenernya masih mampu biayain gue. Tapi kan, kebutuhan
gue semakin banyak. Biaya kuliah gue juga kan lumayan menyiksa. Kalau gue cari
kerja kan lumayan bantuin bokap gue. Seenggaknya, gue gak terlalu menyusahkan
bokap.”
Tiba-tiba
handphone ku berdering. Nomor tak
dikenal memanggilku. Aku mengangkatnya.
“Hallo
Assalamualaikum.. ini siapa?”
“Waalaikum
salam. Ini gue Wahyu. Lo lagi ngapain?”
“Oh.
Wahyu. Gue lagi makan mie ayam.”
“Makan?
Kita kan biasanya makan bareng, kok lo gak ajak gue?”
“Oh
yaudah, ke kantin aja, gue tungguin.”
“Lo
makan sama siapa?”
“Sama
Wildan?”
“Hah?!”
Suaranya yang keras membuatku menjauhkan ponselku dari telingaku. “Sama Wildan?
Berkurang 100 ribu.”
“Ya
emang salah?”
“Ya
salah lah. Sekarang, bawain mie ayam ke kelas gue. SEKARANG!”
“Iya,
setengah jam lagi gue kesana.”
“Setengah
jam? Lo mau biarin gue mati kelaparan?”
“Lebay.
Yaudah iya.”
“Cepet!”
Aku
segera mematikan ponselku.
“Bu,
mie ayam satu dibungkus ya.”
“Wahyu
kenapa?”
“Minta
gue bawain mie ayam ke kelasnya.”
“Tuh
kan, lo jadi disuruh-suruh begitu.”
***
“Sini
gue bawain.” Kata Wildan sambil mengambil mie ayam dari tanganku.”
“Makasih.”
Aku
dan Wildan menuju kelasnya. Tapi, dimana Wahyu? Kok gak ada dia dikelasnya. Aku
segera menelponnya.
“Lo
dimana?” Tanyaku kesal.
“Dikelas
pasca sarjana.”
“Hah?
Paling atas dong?”
“Iya.
Cepetan gue laper.” Wahyu mematikan telponnya.
“Emang
dasar nyebelin.”
“Dia
dimana?” Tanya Wildan.
“Di
kelas pasca sarjana.”
“Yaudah
yuk. Naik lift aja biar cepet.”
Saat
aku menuju lift. Tertera di depan lift. “LIFT RUSAK!” berarti aku harus naik
tangga? Sedangkan kelas pasca sarjana paling berada di paling atas. Ya ampun.
Benar-benar menyebalkan. Aku dan Wildan naik tangga dengan sabar. Saat ditengah
tangga, aku memutuskan untuk beristirahat. Karena kakiku mulai terasa sakit.
“Capek
ya?” Tanya Wildan.
“Capek
banget. kaki gue sakit.”
“Ayo,
pelan-pelan. Mie nya keburu lebar ntar gajinya lo dipotong lho.”
“Ah
bodo ah. Sakit banget.” Sambil melepaskan sepatu wedges ku.
Wildan
segera menunduk dan menyuruhku naik ke atas punggungnya.
“Ayo
naik”
“Hah?
Nggak ah. Gue berat. Nanti jatuh gimana?”
“Tenang
aja gue kuat kok. Ayo..”
Aku
mulai naik ke atas punggungnya, Wildan menggendongku. Dan berusaha menaiki anak
tangga. Dengan berpegangan di pegangan tangga, akhirnya kami sampai di kelas
pasca sarjana. Wildan menuruniku.
“Makasih
ya. tenang aja, kalau gue gajian hari ini. Gue bawa lo ke tukang urut. Nanti
osteoporosis muda lagi..” kataku sambil memakai sepatuku.
“Sok
tau.. ayo.” Ia menggandeng tanganku.
Aku
mengetuk pintu kelas. Sesaat terbuka sedikit, aku melihat kelas itu kosong.
Lalu aku membuka pintu dengan lebar. Terlihat Wahyu sedang memainkan ponselnya
dengan kaki diatas meja.
“Nih..”
Aku meletakkan mie ayam di mejanya. “Nyusahin lo.”
“Kok
lo bawa orang?”
“Lo
gak mikirin gue? Lewatin kelas ini tuh sepi, lift rusak. Kalo gue naik tangga
sendirian, terus ada yang nyulik gue, gimana?”
“Yaudah,
sekarang dia suruh pergi.”
“Hah?
Gila! Kelas ini jauh banget lho. Dia sama gue baru sampe ke atas, udah disuruh
balik. Gak waras lo.”
“Heh!
Sekarang lo cepet keluar. Gue mau makan.” Wahyu menyuruh Wildan pergi.
“Gue
tetep tunggu sini.” Jawab Wildan.
“Mau
ngapain? Mau lihat gue sama dia makan?”
“Makan..
makan aja, gue gak akan minta kok. Lagi pula, siapa yang bakal tau apa yang
terjadi di kelas ini, kalau isinya cuma ada kalian berdua?”
“Yaudah.
Terserah.” Kata Wahyu. “Lo duduk sini.” Wahyu menarik tanganku. Aku
mengikutinya. “Suapin gue dong.”
“Suapin?
Emang lo gak punya tangan?”
“Nolak?”
“Ck!”
Aku mulai membuka bungkus sterofoam dan membuka bungkus plastik sumpitnya.
Dengan membubuhkan saus dan sambalnya, aku mengaduk mie ayamnya. Lalu memutar
mie di sumpitnya.
“Nih..”
Aku memberikan mie, dan Wahyu membuka mulutnya.
“Minumnya
mana?”
“Telen
aja liur lo.” Kataku ketus.
“Beliin
dong.” Pinta Wahyu.
“Gue
punya.” Wildan melemparkan air mineral ke arahku. Dengan sigap aku
menangkapnya.
“Ck
ah. Bukannya pergi aja sanah.” Kata Wahyu, lalu membuka segel air dan
menengguknya. “Lagi dong!”
Aku
menyuapinya kembali.
“Udah
ah kenyang. Gue sekarang ngantuk.”
“Terus?”
Aku menutup kembali bungkus mie.
Wahyu
mendekatkan tubuhnya ke dekatku. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Kulirik
Wildan, sepertinya dia marah melihat Wahyu semaunya padaku.
“Wahyu.
Berat ih..” Aku mengangkat kepalanya.
“Ehmmm...
ngantuk..” Ia menahan kepalanya.
“Wahyu..
Ih...”
“Apa
sih...”
“Wahyu..
gak enak di liatin..”
“Cium...
Muaaah...” Wahyu mencium pipiku. Aku tersentak terkejut. Aku segera menjauh
darinya.
“Wahyu..!”
“Kenapa?
Kita kan pacaran.”
Wildan
menghampiri meja kami, lalu menggebrak meja dengan keras.
“Jangan
mentang-mentang Fira itu pacar lo, lo jadi seenaknya sama dia.”
“Makanya
lo keluar sana. Ganggu aja orang pacaran.”
“Gue
tunggu diluar, Fir. Kalau dia macem-macem teriak aja.” Wildan pergi keluar
kelas. Menyisakan aku yang masih terkejut perlakuan Wahyu.
“Sorry.”
Kata Wahyu sambil mengusap pipiku yang tadi diciumnya.
“Kenapa..
lo cium gue?” Tanyaku ragu.
“Terpaksa.
Lagi pula ini salah lo juga. Siapa suruh bawa dia kesini dan make parfume yang bikin gue jadi betah
nyender di bahu lo. Jadi gue cium kan.” Kata Wahyu sambil pergi meninggalkanku.
***
“Mana
Fira?” Seorang perempuan berambut panjang yang menggunakan kemeja putih dan rok
orens datang ke kelasku. Teman-temanku segera menunjukan aku kepadanya.
Perlahan, ia menghampiriku.“Lo Fira?” Tanyanya. Aku mengangguk. “Ada hubungan
apa lo sama Wahyu?”
“Gue
pacarnya.” Jawabku sekenanya.
“Alah.
Pacar. Pacar bayaran maksudnya? Denger ya anak baru. Lo itu udah ngancurin
hubungan gue sama Wahyu. Pergi jauh-jauh deh lo dari Wahyu. Atau gue yang akan
membuat pergi dari dia.”
“Heh!
Yang ada tuh lo yang ngerusak hubungan gue sama Wahyu. Sebelum gue jadi
Mahasiswi disini, lo kan yang jadi pacar bayarannya Wahyu. Sekarang, gue. Pacar
aslinya Wahyu menentang siapapun yang mencoba menganggu atau merusak hubungan
gue sama Wahyu, kalau lo masih nekat lo bakal berhadapan sama gue!” kataku
menghardik.
“Tau
apa lo anak bawang? Lihat ya, sekali lagi gue lihat lo jalan berdua sama Wahyu.
Abis lo!” Katanya sambil menggebrak mejaku, lalu pergi.
“GUE
TUNGGU!” Kataku berteriak.
***
“Wildan..”
Aku memanggilnya. Ia menoleh.
“Mau
kemana?”
“Mau pulang, gue udah gak ada kelas. Lo?”
“Mau
makan laper.. makan dulu yuk. Gue bawa ini..” Aku menyodorkan tempat makan
berwarna biru muda kepada Wildan.
“Ini
ada Sushi buatan gue. Cobain ya..”
“Di
taman aja yuk.” Aku mengikutinya.
“Wahyu
lucu ya..” Kata Wildan.
“Kenapa?”
“Iya,
dia kayaknya cemburu kalau lihat kita berduaan.”
“Dia
emang begitu. Aneh. Padahal kan kita berdua temenan.” Aku duduk di samping
Wildan. “Ayo dimakan.” Wildan menyuap
sushi buatanku. Dan mengunyahnya perlahan sambil menikmati rasanya. “Gimana
rasanya?”
“Ehm..
enak.. Lo jago masak ya.” Aku tersenyum.
“Fir.
Ikut gue.” Wahyu datang tiba-tiba dan segera menarik tanganku.
“Ih,
lo kayak setan ya, nongol tiba-tiba.”
“Ayo
ikut gue kerumah gue.”
“Hah?
Mau ngapain?” Aku ditariknya, dan mengikutinya. Meninggalkan Wildan yang masih
terheran-heran.
***
“Pokoknya,
lo harus terlihat manis di depan nyokap gue.” Katanya sambil mengemudikan
mobilnya.
Aku
terdiam.
“Tenang
aja.. nanti gaji lo, gue transfer kok ke rekening lo.” Wahyu mengusap rambutku.
“Tadi lo bikin apa?”
“Sushi.”
“Kok
gue gak dikasih? Malah ngasih ke dia?”
“His name is WILDAN! Bukan dia.”
“Yah..
whatever. Lo suka ya sama dia?”
“Iya
gue suka. Masalah buat lo?”
“Ya
masalah lah. Lo kan pacar gue.”
“BOHONGAN!
Kita cuma pacar bohongan. Dan gue cuma pacar bayaran lo.”
“Ada
saatnya nanti juga kita jadi pacar beneran. Tuh rumah gue.”
Apa?
Pacar benaran? Berarti Wahyu ingin mempunyai perasaan yang nyata juga? Dan aku?
Perasaanku seketika berdesir mendengar penyataannya. Aku memang pernah
mengangguminya, dan mungkin kini mulai menyukainya. Tapi Wildan? Aku juga mulai
menyukainya.
***
“Oh..
kamu yang namanya Fira. Pantes setiap hari Wahyu ceritain tentang kamu terus ke
Tante. Ternyata anaknya cantik dan manis.” Tante Nita memujiku.
“Ah,
Tante bisa aja.”
“Ma,
temenin Fira dulu ya. Aku mau mandi dulu. Fir, bentar ya.” Wahyu pergi menuju
kamar mandi.
Aku
hanya membalasnya dengan senyuman.
“Fira,
Tante tuh khawatir sama Wahyu. Dari dulu dia selalu mencari perempuan yang mau
dibayar untuk menjadi pacarnya. Setiap minggu, pasti ada banyak tagihan
rekening. Tante tuh sampai pusing mau bagaimana lagi menghadapi Wahyu. Kadang
satu minggu bisa hilang sepuluh juta. Memang uang tinggal metik terus dijemur,
Tante tuh bingung, Fir.”
“Emang,
udah berapa orang yang Wahyu bayar untuk menjadi pacarnya, Tante?”
“Gak
tau deh, Fir. Banyaklah pokoknya.”
“Kenapa
sih, Tan. Wahyu selalu mencari perempuan untuk dijadikan pacar bohongan? Dia
keren, pintar, kenapa gak cari pacar sungguhan aja?”
“Tante
sebenarnya juga tidak mengerti, Fir. Tapi yang Tante tau di pernah pacaran,
tapi sakit hati karena tahu pacarnya hanya memanfaatkannya saja. Mungkin
semenjak itu ia membuktikan, bahwa semua perempuan itu hanya gila materi. Dan
ia akan terus seperti itu sampai ia menemukan wanita yang memang ia cari sesuai
dengan keinginannya. Maka dari itu, Fir. Tante sangat berharap banyak sama
kamu. Cuma kamu yang mampu membuatnya terus menceritakan kisah kamu sama Tante.
Kamu yang kayaknya Wahyu pilih untuk menjadi tambatan hatinya.” Jelas Tante
Nita.
Sesaat
aku terdiam mendengarnya. Ada rasa menyesal dihatiku menyia-nyiakannya, padahal
ia hanya mencari sosok wanita yang mampu mengisi hatinya dengan tulus tanpa
materi semata.
***
“Fir,
uang dari mana kamu membelikan makanan banyak begini?” Tanya Ibu.
“Aku
ikut lomba kecantikan, Bu. Aku menang, yaudah. Uangnya buat ditabung sama beli
ini deh.” Kataku berbohong. Padahal ini uang gaji pertamaku dari Wahyu.
***
“Kenapa
lo gak berhenti kerja aja sih dari Wahyu, daripada lo terus-terusan
disuruh-suruh?”
“Kalau
ada pekerjaan yang lebih menguntungkan dan semudah ini terus gajinya lebih
besar, gue juga mau, Dan.”
“Yaudah
lo kerja aja sama gue.”
“Kerja?
Kerja apaan?” Tanyaku.
“Jadi
pacar bohongan gue juga.”
“Hah???!
Pacar bohongan?” Tanyaku terkejut.
“Iya,
gue bisa kok gajinya lo diatas Wahyu gaji lo. Wahyu 500 ribu? Gue tambah 300
ribu. Gimana? Tenang aja, sama gue gak susah kok, lo cuma harus temani gue
makan mie ayam, belajar, jalan, udah.”
“Hah?
Serius?”
“Iya.
Gak percaya banget sih. Makanya resign
aja pekerjaan lo jadi pacarnya Wahyu.”
“Tapi
gue gak bisa.”
“Kenapa?”
“Ada
sesuatu hal yang membuat gue gak bisa meninggalkan Wahyu.”
“Oh,
yaudah. Gimana, kalau dari jam 8 sampai jam 12 lo jadi pacar Wahyu dan dari jam
12 sampai jam 5 sore lo jadi pacar bohongan gue?” kata Wildan menyarankan.
“Hah?
Gue digilir?”
***
Setelah
kelas berakhir, aku segera keluar dan mencari Wahyu. Kulihat Wahyu sedang duduk
di taman.
“Lama
banget sih.” Wahyu membentakku.
“Ya
maaf.”
“Ayo
jalan.”
“Kemana?”
“Ya
kemana kek. Kita kan pacaran.”
Aku
liat jam ditanganku, pukul 14.08. berarti waktu aku bersama Wahyu sudah
selesai. Aku melihat Wildan yang sepertinya juga sedang mencariku. Aku
melambaikan tangan padanya dan ia menghampiri kami.
“Sekarang,
kerja gue double. Jam 8 sampai jam 12
siang gue jadi pacar bohongan lo. dan dari jam 12 siang sampai jam 5 sore, gue
jadi pacarnya Wildan.” Kataku menjelaskan pada Wahyu.
“Aturan
dari mana itu. Nggak! Kenapa jadi double
job, gitu? Masih kurang gaji dari gue?”
“Karena
gaji dari lo Cuma 500 ribu, dan dari Wildan 800 ribu. Ya gue ambil double job lah.”
“Hah?
800 ribu?” Aku mengangguk. Wildan tersenyum geli.
“Oke,
gue tambah gaji lo jadi 900 ribu, dan seharian penuh lo jadi pacar gue.”
“Gue
tambah jadi 1 juta, dan biarin Fira seharian sama gue.” Wildan menambahkan.
“1,2
juta.” Sahut Wahyu tak mau kalah.
“1,
8 juta.” Wildan menambahkan.
“2,5
juta.” Wahyu menambahkan.
“Hah?!
Demi seharian sama gue Wahyu rela mengeluarkan uang 2,5 juta?” Kataku dalam
hati.
“3,8
juta. Fira, jadi pacar gue.” Wildan menarikku ke sisinya.
“3,9
juta.” Wahyu menarikku ke sisinya.
“3,950
ribu.” Wildan menarikku.
“4
juta.” Wahyu menarikku juga.
“STOP!
STOOP! Heh. Gue bukan kambing seenaknya ditarik. Biarin gue yang tentukan siapa
yang menjadi pacar bohongan kalian. Gue buka dengan harga 5 juta. Gimana?”
Kataku melerai.
“Hahaha.
Dengan 5 juta perhari. gue bisa kaya mendadak. Ayo siapa yang berani?” Kataku
dalam hati.
“Tuh
buat lo.” Wahyu memberikan aku kepada Wildan. “Kemahalan 5 juta. Gak bisa di
apa-apain aja minta 5 juta.” Kata Wahyu.
“Nggak
ah. Kemahalan. Mending gue buka kios mie ayam.” Kata Wildan ikut-ikutan
memberikanku kepada Wahyu.
“Ih,
nyebelin banget lo berdua. Yaudah.” Aku pergi dengan kesal.
***
“Hemmph..
tolong.. tolong....” Seseorang membekapku dari belakang dan memaksaku masuk ke
dalam mobil. Tangannya yang kekar dan lebar membuatku tak bisa melepaskan sapu
tangan yang baunya sangat menyengat dihidungku. Perlahan pandanganku terlihat
kabur, dan aku mulai tak sadarkan diri.
Beberapa
waktu setelah itu, aku dipaksa membuka mataku dengan suara teriakan perempuan
yang sangat keras ditelingaku. Dengan berat mata, aku membuka mataku perlahan.
Mencoba mengamati sekitar ruangan besar yang pengap, dan terlihat seperti
bangunan tua yang tak terurus. Ketika aku mencoba menggerakkan tangan, tanganku
terasa berat dan seperti terikat tali yang cukup membuat sebagian darah di
daerah tanganku berhenti mengalir.
“Bangun
lo!” Teriak perempuan, yang sepertinya aku mengenalnya. Tiwi. Ia mantan pacar
Wahyu yang pernah mengancamku dulu. Untuk apa dia menyekapku?
“Gue
udah pernah bilang sama lo, jangan pernah lo coba jalani hubungan lo sama
Wahyu. Tapi lo nekat, dan kesabaran gue udah habis ngeliat lo berdua
mesra-mesraan. Sekarang, lo gak akan pernah bertemu Wahyu untuk selamanya.”
Katanya sambil diikuti suara tawanya.
“Apa
lo akan membiarkan gue ditempat ini sendirian? Apa lo gak punya hati?”
“Hati
gue udah mati karena lo yang mematikan perasaan gue. Lo ambil Wahyu dari gue,
lo buat Wahyu melupakan gue. Kenangan gue sama dia. Apa lo ngerasa menang
sekarang? Udah menghancurkan gue, kehidupan gue. Puas lo sekarang?” Bentak
Tiwi.
“Apa
yang lo harapkan dari Wahyu? Hartanya? Begitu maksud lo? Dia cuma minta
ketulusan lo, dia cuma minta perasaan lo yang real tanpa memandang Wahyu dari segala materinya. Apa lo udah
memberikan yang Wahyu minta dari dasar hati lo? sekarang lo minta gue lepasin
Wahyu, itu gak akan mungkin. Gue mencintai Wahyu, gue sayang sama Wahyu, dan
gak akan ada yang bisa merubah perasaan gue sama dia.”
“Tapi
gue lebih cinta sama Wahyu, lebih dari siapapun. Termasuk lo!”
“Mengharapkan
cinta Wahyu kembali untuk sekarang ini, sama aja seperti lo mencari jarum di
tumpukkan jerami. Lo cantik, lo bisa cari Wahyu lain yang bisa lo selingkuhi,
dan lo kuras hartanya.”
“Apa
lo gak sayang sama nyawa lo? Hah? Apa lo siap mati demi Wahyu???”
“Bruuuk!”
Tiwi menendang penutup bom dan seketika bom waktu itu menyalah dan menunjukkan
waktu 5 menit sebelum bom itu akan meledak yang akan menghancurkan gedung ini
termasuk aku yang akan menjadi puing-puing bersama reruntuhan gedung.
“Lo
bercanda kan?” Tanyaku.
“Gue
gak pernah main-main sama tindakan gue, lo yang memilih ini, selamat menuju
kehidupan baru.” Tiwi meninggalkanku seorang diri.
“TIWIIII!!!”
Kataku berteriak sekeras mungkin.
Tak
ada yang dapat aku lakukan sekarang, seluruh tubuhku terikat dengan tali yang
tebal. Aku hanya berpasrah kepada Allah dan menunggu keajaiban datang
menyelamatkanku. Sekilas terbayang wajah orangtuaku dan adik-adikku. Mereka
pasti akan sedih mengetahui aku pergi meninggalkan mereka karena pekerjaanku
yang tak pantas. Sesaat aku menyadari, apa bedanya aku dengan Tiwi yang sangat
mengharapkan uang untuk mencukupi kebutuhannya dengan bekerja menjadi pacar
bayaran oleh Wahyu.
Wahyu,
Wildan. Mereka yang terakhir mengisi hatiku. Tanpa pendekatan yang jelas, tanpa
sebuah komitmen yang pasti, aku menjadi seorang kekasih yang sebenarnya aku
sendiri tidak mengerti mengapa kini aku menjadi gila materi. Ya Allah, jika aku
masih bisa kembali pada kehidupanku, aku saat bersyukur kepada-Mu, dan tak akan
pernah mengulangi pekerjaan ini. Lebih baik aku mencari cinta yang tulus dan
tak menilaiku dengan sebuah harga yang menggiurkan.
Kulihat
waktu yang berjalan di bom tersebut, waktu yang tersisa tinggal 2 menit. Ya
Allah.. tolong aku.
“BRUUUK!”
seorang mendobrak pintu dari luar.
Wahyu!
Syukur Alhamdulillah, Wahyu datang menyelamatkanku.
“Fira.
Lo nggak apa-apa?” Tanyanya sambil memeriksa tubuhku.
“Nggak.
Wahyu.. tolong gue..”
Wahyu
membuka taliku dengan pecahan kaca yang berada di sampingnya, dengan cepat ia
membuka talinya.
“Wahyu,
cepeeeeeet!” Aku melihat waktu tinggal 55 detik lagi.
Tali
pun terlepas, Wahyu segera menggendongku pergi dan keluar dari gedung. Dengan
cepat, Wahyu berlari berusaha keluar dari gedung ini. Dan berlari menjauh
keluar dari gedung. Hanya sekejap mata gedung itu meledak. Meledak sampai
memekikan telinga kami. Wahyu memelukku sambil melindungiku dalam dadanya yang
bidang. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Allah telah mengirimkan
Wahyu untuk menyelamatkanku.
“Makasih
Wahyu...” Aku menatap wajahnya sambil sesekali menitikkan air mata.
Wahyu
mengusap air mataku. “Gue mau kita benar-benar menjadi pasangan. Bukan sekedar
pacar bohongan. Gue sayang sama lo, Fir.”
Perlahan
tapi pasti, Wahyu mendekatkan bibirnya ke bibirku. Wahyu mengecup bibirku, dan
perlahan mataku mulai terpejam merasakan sentuhan lembut dari Wahyu. Cukup lama
kami berciuman. Aku benar lupa diri. Aku benar-benar terbawa suasana. Dari
kejauhan, terlihat Wildan memandangi kami saling berciuman. Wajahnya tampak
kecewa. Dan ia pergi dari tempat kami berdiri.
***
“Apa
kamu bisa jelaskan kenapa Wahyu memberikan uang 5 juta untuk kamu, Fir?” Tanya
Tante Nita dengan suara yang keras.
“Aku
gak tau, Tante. Sumpah aku gak tau.” Aku menangis.
“Apa
artinya kalau kamu bukan cewek bayaran? Hah? Apa bedanya kamu sama
pacar-pacarnya Wahyu yang dulu? Tante sangat berharap sama kamu, Fir. Tapi
Tante salah, kamu dan perempuan lain gak ada bedanya. Kalian sama saja,
sama-sama ingin membuat Wahyu hancur.”
Tante
Nita, terlihat mengeluarkan surat dari tasnya dan melemparkan amplop coklat
tebal dan amplop biru muda ke meja depanku.
“Itu
ada uang 20 juta, kamu bisa ambil. Itu titipan dari Wahyu selama Wahyu pergi
menyusul Papanya di Amerika. Dan saya pastikan, Wahyu tidak akan pulang ke
Jakarta lagi untuk menemui kamu disini.”
Aku
terkejut mendengar ucapan Tante Nita.
“Wahyu
pergi, Tante? Kapan? Kenapa aku gak tau?”
“Tante
yang memang merencanakan kepergiannya, setelah saya selidiki siapa kamu dan
kemana uang Wahyu mengalir, ternyata kamu biang keladinya. Saya benar-benar
kecewa sama kamu. Dan jangan pernah kamu berharap bertemu Wahyu bagaimana pun
caranya.” Tante Nita pergi meninggalkanku di Cafe sendirian. Kuambil dan kubuka
surat berwarna biru muda, warna favoritku yang tadi Tante Nita lemparkan
untukku. Aku membacanya penuh perhatian sambil beberapa kali menitikkan air
mata.
To:
Maghfira Sabrina Carissa.
Fir,
mungkin saat lo baca surat ini, lo akan kehilangan dua orang yang pernah hadir
dihidup lo. Dua orang yang selalu merebut perhatian dari lo. Dua orang yang
selalu mencari cara menjadikan lo kekasih. Dua orang yang selalu membuat
lo bimbang dan merasa terbebani. Saat
ini dua orang tersebut memutuskan untuk meninggalkan lo untuk sementara waktu
atau untuk selamanya. Karena dua orang ini gak mampu memiliki lo seutuhnya. Dua
orang tersebut tidak ingin membuat salah satunya merasa sakit hati hanya karena
tidak bisa mengikhlaskan satu cinta yang sama tumbuh di hati mereka. Dua orang
tersebut juga tidak bisa melihat salah satunya rapuh karena cinta. Dua orang
itu hanya bisa berharap, bahwa Tuhan akan melindungi lo dari segala tangan cowok
nakal yang mau membayar lo sebagai pacar bohongan. Dua orang itu selalu berdoa
untuk lo, agar lo mendapatkan kekasih yang lebih baik dari mereka. Dan dua
orang itu kini sudah pergi ke tempat yang berbeda. Karena sampai kapanpun,
hubungan persaudaraan lebih indah tanpa permusuhan. Take Care, Maghfira..
Dua
Sepupu Sejoli:
Wahyu
dan Wildan.
***
2 tahun kemudian..
“Kak
Fira, Kakak tuh cocok tau sama Kak Vidi. Beruntung banget kakak dapetin artis
terkenal kayak Kak Vidi Aldiano. Kakak jadi bisa ikutan masuk TV.” Kata Rico,
adik ketigaku.
“Iya,
udah keren, ganteng, pinter nyanyi lagi. Udah gitu udah lulus S2 Magister
Ekonomi di usia mudanya. Cocok deh sama Kak Fira yang cantik.” Sahut Lani
adikku perempuanku.
“Sssst..
ntar Ayah denger.” Kataku.
“Yaaa,
asal kamu gak dijadiin Vidi pacar bohongannya dia, Ayah sih setuju aja.” Sahut
Ayah.
“Iya,
nanti kalau di tinggal ke Amerika sama di tinggal ke Yogyakarta lagi gimana?”
Tambah Ibu.
“Ah,
Ibu. Pake diungkit. Biarin aja mereka melanjutkan kuliahnya di tempatnya
masing-masing. Kedua W itu kan harus Move
On.” Kataku sambil mematikan saluran televisi.
TAMAT
By: Fzhuzie@yahoo.com